Ada alumni Fakultas Hukum yang pernah menjadi mahasiswa dalam perkuliahan semasa yang bersangkutan kuliah di fakultas Hukum ULM berkomentar yang intinya “heran” dan “menyayangkan” kenapa Bapak (menyebut nama saya) yang dulu menjadi “idolanya” sekarang menjadi “pengacara bayaran” yang mahal, karena telah menjadi Tim Hukum seorang Gubernur (lalu apa benar saya dibayar ?). Dan ada banyak pertanyaan dan komentar negative atau meributkan sekitar beredarnya Peringatan/Teguran yang beredar di media social yang tertera nama saya sebagai Tim Hukum ? (padahal Peringatan/Teguran itu tanpa menyebutkan surat kuasa, tanpa tanda tangan, tanpa nomor dan tanpa cap kantor hukum). Banyak pula Wartawan, alumni dan pihak-pihak lain yang saya tidak kenal juga menanyakan kepada saya dan menginginkan klarifikasi saya terhadap hal tersebut. Semua komentar dan pertanyaan itu sementara saya jawab “bahwa kita focus dulu ikut membantu masyarakat yang terkena musibah Banjir (karena rumah dan kantor saya juga terkena banjir sehingga merasakan bagaimana “rasanya” terkena banjir tersebut), berhenti menyebarkan hoax, fitnah, menista dan pencemaran nama baik di suasana prihatin ini. Nanti setelah musibah banjir ini berlalu, saya akan klarifikasi secara tuntas apa-apa yang mereka permasalahkan tersebut.
Oleh : Syaifudin*
SCNEWS.ID-Banjarmasin. Dari kondisi pengantar di atas itulah renungan ini bermula dan melayangkan fikiran saya ke masa saat saya masih aktif mengajar di Fakultas Hukum ULM dan banyak bertemu masyarakat. Seperti pada suatu saat ketika nimbrung di warung Kopi dekat rumah saya yang pada saat itu kelihatannya rame para tetangga dan para ojek yang nongkrong di pangkalannya yang menjadi satu kesatuan dengan warung kopi tersebut. Tentu suasana di warung kopi ini tamabah ramai dikarenakan canda gurau mereka sambil bermain catur.
Dari gaduhnya pembicaraan mereka sambil minum kopi dan bermain catur tersebut, salah seorang dari mereka menatap ke-saya yang baru datang dan langsung mengajukan pertanyaan, pak (menyebut nama saya) apakah bapa tahu KUHP, sejenak saya terkejut atas peryanyaan yang tidak saya duga ini, tapi tentu saya akan jawab, mungkin dibenak saya mereka tahu profesiku sebagai Dosen di Fakultas Hukum. Tanpa berfikir lagi saya langsung jawab, ya tahulah pak, KUHP itu kan adalah Kitab Undang Undang Hukum Pidana yang menjadi sumber utama dari hukum pidana di negara kita bahkan kata saya, KUHP itu sudah semacam “kitab sucinya” mahasiswa bagian pidana yang sedang belajar di fakultas hukum.
Mendengar jawaban saya itu kok mereka malah tersenyum dan langsung menjawab, “bapa salah” yang benar adalah KUHP itu artinya “kasih uang habis perkara”, geerr…. diikuti tawa mereka sambil bermain catur, dan tidak berhenti disitu saja langsung mereka nanya lagi, bapa tau ngak jargon perjuangan para pengacara kita (advokat), takut terkecoh lagi saya langsung nanya, apa kata saya, langsung juga dia jawab Jargon perjuangan mereka adalah “maju tak gentar membela yang bayar” geer…. lagi mereka pada ketawa semua, saya pun hanya tersenyum kecil.
Ternyata serangan mereka kepada saya tidak sampai disitu, ada sejumlah kata-kata yang merupakan konsep hukum yang diplesetkan, seperti UUD, dikatakan mereka sebagai istilah kepanjangan dari “ujung ujungnya duit” dan seterusnya.
Kembali saya larut dengan canda gurau dengan mereka sambil mengamati permainan catur ala kampung yang mereka mainkan, dimana yang mengamati (penonton) seolah-olah lebih pintar bermain caturnya dari pada para pemainnya itu sendiri dan sekembalinya saya ke rumah sayapun termenung atas pertanyaan yang kelihatan gurauan diatas.
Dari pengantar dan cerita diatas membawa saya kepada perenungan yang mengispirasi menulis tulisan ini, dalam berbagai kesempatan dan mungkin para pembaca juga, kalau mendengar kata kata “hukum”, kita akan mengernyitkan dahi kita sebagai pertanda ketidaksukaan kita terahadap kata “hukum” tersebut. Hal ini barangkali bisa dimengerti karena pandangan atau persepsi orang terhadap hukum sangat ditentukan bagaimana pengalamannya bersentuhan dengan hukum, baik pengalaman pribadi ataupun juga pengalaman keluarga, sahabat atau bisa juga karena melihat atau membaca di media yang memperlihatkan bagaimana para profesional hukum atau penegak hukum menerapkan hukum, yang mereka lihat dan perhatikan sebagai “sesuatu tidak mengenakan atau menderitakan kehidupan mereka yang bersentuhan dengan hukum tersebut”.
Dalam suatu kesempatan, saya berdiskusi dengan kolega tentang sebuah kasus yang diputus oleh hakim dengan kasus yang sama tetapi kenapa putusan hakim itu sangat berbeda antara yang satu dengan lainnya, padahal kalau ditelusuri tentang profile hakim yang memutus perkara tersebut, àdalah sama sama alumni pada suatu perguruan tinggi, dan bahkan masuknya di perguruan tinggi itu satu angkatan. Dengan demikian saya berfikir berarti hakim tersebut telah menerima ilmu hukum yang sama dari proses belajar mengajarnya yang sama, dengan dosen yang sama, dengan materi kuliah yang sama, tetapi kenapa pemikiran hukum dan perilaku hukum mereka kok berbeda ? Dari pemikiran yang seperti ini saya sudah mulai melihat kepada masalah ada apa dengan pendidikan hukum yang mereka terima dan ada apa setelah mereka lulus kuliah ?
Suatu ketika saya juga pernah mendengar dari seorang petinggi negeri ini dalam suatu forum pertemuan hukum nasional (beliau berada dari disiplin ilmu kedokteran), mengatakan bahwa kalau ada dua orang sarjana hukum berdebat, pasti sangat ramai dan akan menghasilkan banyak kesimpulan, yang gambarannya bahwa orang orang dibidang hukum tersebut tidak pernah akur, tidak pernah sepaham dan setiap alur berfikir hukumnya selalu menghasilkan perbedaan pendapat. Petinggi inipun kemudian melanjutkan penuturannya menyoroti dunia hukum, katanya, setiap tahun banyak (puluhan ribu) sarjana hukum dihasilkan, ribuan magister hukum dicetak, bahkan puluhan atau ratusan doktor hukum telah dihasilkan oleh perguruan tinggi di Indonesia, tapi katanya, mengapa kehidupan hukum di indonesia tidak membaik bahkan cenderung carut marut.
Dari sini saya tersadarkan tentang suatu fakta, bukankan para sarjana hukum tersebut, profesional hukum tersebut telah lahir dari proses pendidikan hukum di fakultas hukum atau sekolah tinggi hukum ? Lalu kenapa hasil cetakan sekolah hukum tersebut telah menghasilkan para sarjana atau profesional hukum seperti gambarannya yang saya kemukakan di atas, suatu gambaran dimana citra hukum berada dalam suatu titik yang tidak disenangi oleh masyarakat atau bahkan dibenci oleh masyarakat. Ataukah ada hal yang terjadi dalam hidupnya setelah jadi alumni ? Cuman ironinya, saya katakan sambil berkelekar dihadapan mahasiswa hukum, kenapa justeru setiap tahun banyak generasi muda memasuki atau studi di Fakultas hukum… (bersambung).
SALAM WISDOM SRITUAL…
*Alumni Mawadan87, Founder Juris Solution, Dewan Redaksi Dutatv dutatv.com, Dewan Redaksi scnews.id, Pendiri Yayasan Banua Media Utama, Pengajar Luar Biasa di Pascasarjana UIN Antasari.