SCNEW.ID-Banjarmasin.”Apa kamu sudah bicara dengan Hendra tadi malam sewaktu acara api unggun itu” tanya Darel pada Santi, “tadi malam memang saya sempat ngobrol dengan Hendra, tapi apa yang dijelaskannya membuat saya sudah mulai mengerti tapi juga masih agak bingung” jawab Santi. “sebenarnya tidak ada yang berubah terhadap perasaannya pada saya, akan tetapi dengan mempertimbangkan berbagai hal dia mengajak saya untuk bersahabat saja”, “ditengah permasalahan yang menimpa keluarganya, ayahnya lagi sakit dan sebentar lagi memasuki masa pensiun, ibunya yang masih belum bisa meninggalkan gaya hidup “metropolitan”, lewat berbagai perkumpulan sosialita mengikuti arisan yang jumlahnya puluhan juta setiap bulannya, perawatan rutin kecantikannya pun juga sangat besar, belum lagi gaya hidup belanja barang-barang branded yang menjadi kegemaran ibunya”. Santi berhenti sebentar dan menarik nafas serta meminum seteguk kopi yang sudah mulai dingin, sementara Darel mendengarkannya dengan penuh perhatian, sesekali ia memandang tajam ke mata Santi dan terkandung mengangguk memberikan respon.
“Gaya hidup ibunya Hendra inilah yang membebani fikiran Ayahnya yang bulan depan sudah memasuki purna tugas, sementara adiknya yang perempuan masih dibangku Sekolah Menengah Atas itu juga ikut-ikutan gaya Ibunya”. “bayangkan kata Hendra menceritakan ke saya, ayah yang sebenarnya kurang suka dengan gaya hidup isteri dan anaknya yang perempuan itu menjadi terbebani fikiran, bagaimana nanti kalau dia sudah pensiun bisa membiayai isteri dan anak perempuannya tersebut”, “dan hal inilah yang menjadi salah satu penyebab ayahnya sakit”.
Sejenak Santi menarik kaos lengan panjangnya untuk mengambil kue, sementara Darel memperhatikannya dengan seksama, bagi Darel yang lahir dari keluarga sederhana, orang tuanya hanya pegawai staf di Kecamatan sementara ibunya tidak bekerja dan hanya mengurusi anak-anak yang berjumlah 5 orang, termasuk Darel anak yang ketiga, adiknya ada dua orang perempuan, dan kakaknya satu laki-laki dan satu perempuan. Adiknya satu orang masih sekolah di bangku SMP dan satu orang lagi duduk di Bangku SMA, sementara Kakaknya yang laki-laki baru bekerja setelah Tamat dari akademi, sedangkan kakaknya yang tertua mengikuti suaminya di daerah lain.
Hidup dengan sangat sederhana, menjadi sosok Darel tumbuh menjadi remaja yang mandiri untuk membantu atau tidak terlalu membebani orang tuanya, hamper semua pekerjaan terbiasa dilakukannya sendiri, dari mencuci pakaian, menimba air sumur, membantu ibunya memasak, dan saat ayahnya mengajak ke sawahpun ia ikut membantu. Setamat Setamat SMP sebenarnya Darel ingin masuk ke Sekolah Menengah Pertanian, karena melihat sosok Pekerja Pertanian Lapangan yang “keren” di kampunya, oleh karena itu ia mendaftar pada dua tempat, yaitu di SPMA (Sekolah Menengah Pertanian Atas) dan di SMA, akan tetapi ternyata saat test masuk dia tidak lulus di SPMA, dan diterima di SMA.
Semasa di SMA inilah Darel sangat rajin belajar, hampir semua waktunya digunakan masuk ke Perpustakaan membaca buku berbagai bidang, dan saat libur dia juga mengunjungi perpustakaan Umum untuk meminjam buku-buku seri petualangan dan buku-buku sastra. Disamping itu ayahnya juga mengoleksi berbagai buku dan Majalah karya Buya Hamka sehingga menambah wawasan pengetahuannya tentang agama (islam), kepandaiannya membuat dan membaca puisi salah satu keterampilan yang membuat berkesempatan tampil di berbagai lomba baca puisi, dan secara perlahan mengasah kepiawaiannya berbicara didepan umum. Dengan sosok berbadan tinggi, kurus, rambut semi kribo, berkacamata baca, ini sering digelari teman-temannya sebagai “profesor”, dikendaraan tuanyapun tertulis stiker “hidup maju berkat ilmu”, yang suatu saat diusili oleh teman-temannya dengan menambah kata “hitam” pada stiker itu, sehingga berbunyi “hidup maju berkat ilmu hitam” yang kemudian menjadi bahan goyonan, namun kelak sejarah mencatat tentang keberhasilan meraih impian dengan prinsip ilmu yang menjadikannya maju tersebut.
Hidup dilingkungan sederhana, kental dengan nilai-nilai agama inilah yang menjadikan sosok Darel berbeda jauh dengan Hendra, terlebih saat ia bertemu dan bersahabat dengan Hendra saat kuliah di Perguruan Tinggi, ada semacam “parodi hidup” dari dua kepribadian yang berbeda tapi terdapat symbiosis “mutualisme” secara pribadi dan kegiatannya. Bagi Darel, Hendra sesungguhnya sosok ideal anak zaman, dari keluarga kaya, fasilitas hidup lengkap, buku apa saja yang diminta dosen langsung dibelinya, alat music seperti gitar dan organ terpajang di kamarnya, belajar music, belajar dansa dan uang receh berhamburan. Dengan fasilitas yang serba lengkap tersebut, Hendra juga termasuk yang cerdas belajarnya, IPK nya selalu di atas 3,5, sangat dermawan dengan teman, sehingga sering mentraktir teman-temannya makan, jadilah ia anak gaul yang banyak disenangi oleh banyak Mahasiswa dan Mahasiswi.
Begitu juga bagi Hendra, Darel adalah sahabat yang baik dan teman berdiskusi yang nyambung, khususnya mengenai pelajaran, sering Hendra menanyakan berbagai hal tentang materi yang dosen berikan, dan untuk ini memang catatan kuliah Darel tersusun rapi, karena sesampai dirumah atau sehabis kuliah, Darel selalu mengolahnya Kembali dengan melengkapinya substansi pada literatur yang dianjurkan dosen. Inilah symbiosis anak gaul dengan anak “kampung” yang sama-sama cerdas.
Namun demikian terdapat perilaku Hendra yang sering dikritik oleh Darel, yaitu sifatnya yang ambisius dan ingin selalu tercapai sempurna apa-apa yang diinginkannya, salah satu sisi sifat ini baik, karena kalau dia belajar sesuatu akan total dan tuntas, akan tetapi kelemahannya “tugasnya” hampir selalu last minute dikumpul, terus merasa “kurang”, sehingga banyak tugas-tugas kuliahnya yang terbengkalai, bukan karena tidak dikerjakan, tapi hasil kerjaan yang dianggapnya belum baik. Apalagi dalam urusan “cewek”, kalau dia sudah tertarik dan mau “nembak”, maka dia berusaha keras dengan berbagai cara untuk mendapatkannya, dan setelah “cewek” itu didapatkannya, terkadang hanya dijadikan “symbol” kepiawaiannya yang kemudian secara perlahan dia sendiri bosan terhadap “cewek” itu.
Begitulah saat Hendra pertama kali melihat dan tertarik kepada Santi, ada semacam perasaan ragu antara mendukung atau tidak mendukung hubungannya itu, karena Santi adalah sahabatnya sejak SMA sama-sama satu Sekolah, orang tuanya terkenal taat beragama, kepribadian yang baik dan tipe serius, tapi enak sebagai teman diskusi, walaupun agak pendiam, santi terkenal “galak” kalau ada yang usil terhadapnya. Jarang ada anak laki-laki yang berani datang ke rumahnya, karena di isuekan ayahnya “galak”, sehingga suatu Ketika Darel mau membuktikan rumor yang beredar itu dengan menamu kerumahnya, ternyata yang didapati darel adalah norma menamu yang wajib diikuti, yaitu Wajib ada Muhrim yang menemani saat di kamar tamu, dan saat Darel datang ini ternyata ayahnya yang menjadi muhrimnya, tapi ini hal ini bagi Darel tidak ada masalah, karena ia tahun ayahnya Santi adalah salah seorang Tokoh Organisasi Keagamaan, dan saat itu justeri terjadi obrolan segi tiga tentang “karya tulisan” Buya Hamka. Adanya muhrim inilah yang barangkali kenapa banyak teman pria Santi tidak berani dating menamu, karena merasa “canggung” kalau dihadapi oleh orang tuanya atau saudaranya.
Setelah memakan kue dan Kembali menyeruput kopi, Santi melanjutkan ceritanya “rupanya ada semacam ketakutan masa depan” yang menghinggapi perasaan Hendra”, ayah sakit, ibu dan adiknya dengan gaya hidup “konsumerisme”, apakah bisa kehidupan dengan segala fasilitas yang ada sekarang dipertahankan”. “Masalahnya, tidak sampai disitu saja”, kata Santi, tiba tiba datanglah sahabat yang masih ada hubungan keluarga dengan Ibunya memperkenalkan seorang anak gadis, dengan tipe hampir sama dengan kehidupan Hendra, sebagai anak zaman dan anak gaul dengan kecantikan polesan yang mengesankan dan gaya berpakaian seksi, sehingga akan membuat magnet perhatian bagi kaum “cowok” kalau berpapasan atau berkumpul dengannya.”
“Parahnya lagi”, kata Santi “antara ibu Hendra dan Ibu anak gadis ini membuat kesepakatan tanpa diketahui oleh Hendra dan ayahnya, yaitu “menjodohkan anaknya” tersebut”, Santi terdiam, matanya menerawang kearah pegunungan yang sudah mulai ramai orang berdatangan, satu-satu orang diperhatikannya yang seolah-olah menghitung orang yang datang, tanpa disadarinya lagi keberadaan Darel didepannya yang tetap setia memperhatikannya, begitu pula Paman Dino juga sesekali melihat kepada mereka, siang semakin siang, udara berubah sedikit panas, yang seolah ikut membakar perasaan Santi. ….. (bersambung).