ANTARA HARTA DAN CINTA
Oleh: Robensjah Sjachran
SCNEWS.ID-BANJARMASIN. Notaris kok ngurusi “harta” dan “cinta”, bagai lagu dangdut Harta & Cinta yang dinyanyikan Hamdan ATT, sepertinya gak ada relevansinya dengan tugas Notaris; sebentar …….jangan salah paham dulu teman. Harta sebagai obyek dan orang sebagai subyeknya, sangat relevan dengan tugas Notaris. Kedua hal itu terkait dengan harta kekayaan yang dapat dimiliki orang, dan dilingkupi oleh aturan hukum yang oleh orang Belanda dinamakan Vermogensrecht, yaitu regulasi yang mengatur hubungan hukum antara orang dengan harta kekayaan. Telah tigapuluh enam tahun saya sebagai Notaris & PPAT melayani orang dalam hubungannya dengan harta benda. Orang dimaksudkan sebagai orang per orang secara pribadi yang dalam istilah yuridis disebut orang alamiah (naturlijk persoon, natural person), dan badan hukum (rechtspersoon, legal entity) yang merupakan articial person. Hukum memandang badan hukum itu sama dengan manusia alamiah, yang dapat memiliki hak dan kewajiban, dapat memiliki harta kekayaan (assets), dapat dituntut atau menuntut, dapat pula jatuh miskin (failliet, bankrupt).
Suatu ketika datang menemui saya seorang ibu berwajah muram, namun gelang emasnya bergemerincing, kalungnya terlihat berat, cincin beliau serasa menyilaukan mata. Seperti biasa, setelah mempersilakan duduk, saya sapa: “Apa kabar ibu, ada yang bisa ulun bantu ?”. Nggak pake basa basi beliau langsung saja menyatakan: “He eh, aku menamui ikam ni handak minta tolong wan minta jalan keluar masalah anakku”. Nah, kenapa anak pian ?. Si ibu: “Kayak ini nah kesahnya, anakku bini-bini, anak tunggal, menikah lima bulan lalu. Wayah ini hari-hari manangis aja gawiannya. Kurang ajar banar lakinya tu, sakalinya sudah kawin….malah sudah baanak dua, bapadah bujang !”. Lalu, apa masalahnya bu ? Tampak benar si ibu terbawa emosi, geram, dan …….. itu tampak dari suaranya yang bergetar: “Dua bulan imbah nikah, aku ada menukarkan rumah gasan anakku itu, kada ganal pang rumahnya, harganya gin cuma satu setengah M aja”. Harga segitu “cuma” jar sidin …..ckckck. Saya menyela: “Hadang dulu bu…..waktu menukarkan itu pian kah yang tanda tangan atau anak pian ?” Aku manjulung duit ka anak, inya manaruskan ke developer, wan developer anakku ke Notaris meneken akta jual beli jar”, imbuh ibu tadi. Wah, gak salah lagi anak si ibu telah membeli dari pengembang yang bertindak sebagai penjual. Tidak salah lagi, dapat dipastikan sertipikat terdaftar nama si anak, dan dibeli dalam masa pernikahan berlangsung. Menurut Pasal 35 ayat (1) Undang Undang Perkawinan: “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”. Maka, sang mantu, entah waktu tanda tangan akta jual beli itu lagi tidur siang, atau sedang menggandeng wanita lain, tiba-tiba saja bagai mendapat durian runtuh …..bagaimana tidak, ketentuan tadi menyatakan harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Artinya, suami dari anak si ibu ikut memiliki setengah bagian dari harta berupa rumah tadi.
Selang beberapa bulan setelahnya, bertamu ke kantor saya, seorang ibu menggendong anak balita. Mukanya sembab, di beberapa bagian terutama dekat mata terlihat lebam, entah karena terkena benturan dinding atau ……barangkali terkena tamparan. Setelah saya persilakan duduk dan menawarkan segelas air dalam kemasan, tanpa basa basi si ibu, sebut saja namanya Idah, berusia sekitar 30 tahun langsung menumpahkan air mata, menangis sejadinya. Setelah agak tenang saya katakan apa yang bisa saya bantu. Lalu Idah bercerita kalau dia menikah 10 tahun lalu dengan seorang pria, katakanlah namanya Iyan, yang bekerja sebagai sopir truk angkut batubara. Akhir-akhir ini, kata Idah, waktu itu, suaminya sering pulang larut malam, dan sampai rumah dengan muka cemberut. Sementara itu, sudah tiga bulan Idah tidak mendapatkan nafkah lahir dan batin. Karena tidak berdaya di mana anak yang digendongnya masih berumur satu setengah tahun, dan kakaknya baru berusia tiga tahun, membuatnya tidak dapat bekerja mencari penghasilan sekadar untuk dapat bertahan hidup. Untuk menutupi pengeluaran sehari-hari, terpaksa dijualnya kalung kesayangan pemberian ibunya, barang berharga satu-satunya yang dimiliki Idah.
Suatu waktu, seperti biasa suaminya pulang dengan wajah masam, cemberut. Ketika Idah menyiapkan minum dan sekadar kudapan, suaminya bilang: “Kalung ikam mana, aku pinjam setumat aja, kena kuganti, aku sudah kada menyupir truk lagi”. Si isteri bilang: “Maaf, kalung sudah kujual untuk nukar baras wan susu anak, nukar token listrik, bayar tagihan banyu, pian sudah tiga bulan kada menafkahi ulun, tepaksa ae kangkalung nangitu ulun jual”. Seketika si Iyan murka, tanpa berkata-kata dihajarnya Idah, ditamparnya mukanya, dijambak rambutnya, dibenturkan kepalanya ke dinding rumah. Masih dalam keadaan kaget dan tak menduga, juga dalam keadaan tak berdaya Idah dibanting suaminya; dan ketika Iyan yang kesetanan mau mencekik isterinya, datang pertolongan tetangga. Warga yang mendengar ribu-ribut segera mendobrak pintu rumah Iyan dan mendapati Idah pingsan, di bibirnya terlihat darah meleleh akibat tamparan.
Idah melanjutkan cerita, rupanya Iyan diberhentikan perusahaan karena kasbon bertumpuk melebihi penghasilan, banyak pengaduan sesama karyawan bahwa Iyan banyak hutang yang tidak pernah dibayar. Hasil “interogasi” Ketua RT setempat, Iyan ternyata kecanduan judi online, dan banyak hutangnya. Kata Idah lebih lanjut: “Ulun sudah kada sanggup, kada tahan lagi berumah tangga wan ka Iyan. Ulun rancak dipukuli, rancak disambati macam-macam, ulun takutan, kadada daya. Untuk itu ulun minta tolong pian pak Notaris, tapi ulun hanya kawa membari ongkos gasan pian sa-ini nah”. Sambil menaruh segumpal uang duapuluh dan limapuluh ribuan di meja, yang sepintas saya taksir tak lebih dari lima ratus ribuan.Tak salah lagi, Idah sudah mengalami KDRT (domestic violence), baik kekerasan secara psikis, dan terakhir mengalami kekerasan fisik, pelakunya terancam hukuman pidana. “Maaf bu Idah, tugas ulun melayani urang yang perlu surat-surat kesepakatan, misalnya kesepakatan jual beli, sewa menyewa, mendirikan badan usaha atau perkumpulan, maulahkan perjanjian harta kekayaan dalam perkawinan, pokoknya ulun hanya baurusan wan urang-urang nang lihum satu wan lainnya, dilanjut wan salaman; kalau tuntut manuntut, gugat manggugat, itu kada tugas ulun, mohon pian memahaminya”.
Menutup pembicaraan, saya katakan: “Masalah pian ditangani oleh penegak hukum (polisi, jaksa, pengadilan), dan untuk semua itu pian bisa minta bantuan penegak hukum lain, yaitu advokat/pengacara”. Tapi bu Idah, saya melanjutkan: “Ulun boleh membari informasi takait tugas-tugas atau lembaga hukum, info soal perundang-undangan, sampai kepada nasihat atau advis yang ada hubungannya wan hukum”. Bu Idah menghela nafas, “Ooh damintu kah, ayu ae mun kaya itu, permisi ae ulun”, sambil beranjak ingin segera keluar dari ruang saya. “Setumat bu Idah, pian kalau ada waktu ulun arahkan ke advokat dulu. Ulun kira pian bisa mengubungi Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum (LKBH) yang secara prinsip untuk pian tidak dipungut biaya, tapi hanya membayar sekadar biaya administrasi. Pian dapat menghubungi LKBH untuk Wanita dan Keluarga (LKHB UWK), atau LKBH Unlam, LKBH STIH Sultan Adam, LKBH Fakultas Syariah UIN Antasari, atau LKBH Uniska MAB, dan lainnya. “Ayuja, ulun siap wayah ini jua ke kantor hukum itu”, ujar Idah. “Di sana kena pian kesahkan apa adanya nangkaya pian kesahkan ke ulun tadi lah”. Lalu …saya pesankan Grab untuk mengantarkan Idah ke salah satu lembaga hukum tadi, dan saya selipkan uang ke tangan ibu malang itu sekadar untuk bayar taksi sembari mendoakan semoga Idah mendapat jalan untuk mengakhiri deritanya, derita karena harta dan cinta. Saya juga berharap, semoga advokat yang atas saran saya didatangi si ibu dengan gelang bergemerincing itu jeli menemukan sisi lemah sang menantu yang licik dan nggak jujur itu. Itulah sekelumit cerita dinamika perjuangan hidup anak manusia yang berhubungan dengan harta dan cinta. Bens – Emeritus Notaris/PPAT