BANJIR, SUBAK DAN PAGERWESI (SERI OPINI IBG DHARMA PUTRA)

BANJIR, SUBAK DAN PAGERWESI
Oleh : IBG Dharma Putra

SCNEWS.ID-BANJARMASIN. Semua orang tahu tentang banjir, lebih sedikit yang tahu tentang Subak dan lebih sedikit lagi yang tahu tentang Pagerwesi, dan tulisan ini mencoba untuk bercerita tentang ketiganya.

Banjir akan terjadi jika karunia Tuhan berupa air, tidak dikelola untuk meningkatkan kegunaannya bagi kehidupan, baik dikala sedikit maupun kala melimpah. Pengelolaan dimaksud adalah untuk menjaga fungsi dari penampungan dan saluran
supaya tidak mengganggu mengalirnya menuju tempat lebih rendah.

Kumpulan air di penampungan dapat digunakan untuk segala keperluan secara proporsional dan penataan saluran disertai pengelolaan sampah agar tak menyumbat saluran, dilakukan supaya air mengalir tenang, bisa dinikmati, tak menjadi banjir yang berpotensi merusak bangunan yang dilewatinya.

Meski pelaksanaannya tidak mudah, tetap ada optimisme bahwa perencanaan dan kerja sama dapat mewujudkan pengelolaan air terbaik dan di Bali, terdapat kearifan lokal yang membantu, dalam bentuk Subak. Subak adalah organisasi petani yang mengatur dan mengelola air irigasi secara bersama-sama, dipimpin oleh seorang pemuka adat yang dinamakan Pekaseh.

Subak membuat sistem pengairan sawah yang diatur melalui kesepakatan bersama secara adil sebagai perwujudan Tri Hita Karana, selarasnya manusia, alam, dan Tuhan. Subak bukan hanya sekadar sistem irigasi, melainkan konsep hidup kehidupan, yang mengatur ekonomi, sosial, dan kepercayaan. Subak merupakan catatan serta bukti sejarah keharmonisan hidup yang wajib dilestarikan.

Dalam Subak terdapat nilai nilai budaya seperti gotong royong, musyawarah mufakat, dan ritual keagamaan yang dilakukan secara rutin untuk menjaga keselarasan. Pengambilan keputusan dalam Subak dilakukan secara demokratis dan transparan melalui musyawarah. Aturan (awig) dibuat untuk mengatur prilaku anggota dalam mematuhi waktu tanam, jenis padi dan sistem pembagian air.

Banjir bisa menjadi pertanda tidak berfungsinya Subak, sekaligus menjadi alarm publik bagi ikut matinya kearifan lokal beserta nilai luhur budaya Bali. Alarm itu berbunyi di Hari Rabu Sakral bagi masyarakat Bali, Hari Raya Pagerwesi, Hari bagi pertobatan serta penebusan dosa.

Banjir bak binatang liar yang mengejar penjahat bernama Lubdaka, persis di malam Pagerwesi, membuatnya berlari naik pohon, tidak bisa tidur semalam suntuk dan terpaksa berdoa tobat dan memohon pertolongan Tuhan. Pertobatan walau terpaksa serta hanya semalaman saja, ternyata diterimaNya dan Lubdaka, penjahat tidak peduli Tuhan, matinya masuk surga.

Banjir adalah pertanda alam yang telah bosan berbisik mesra mengingatkan dan merasa perlu menggantinya dengan teriakan lantang, robek gendang telinga, mencakar jiwa, menancapkan kukunya secara garang pada nurani yang tidur terlelap serta lupa dapa jati dirinya yang hakiki sebagai masyarakat petani yang mandiri serta memperjuangkan daya saing dan tidak hendak menggantinya dengan menjual Bali. Kembali pada wisata budaya, bisnis pariwisatanya untuk Bali, bukan Bali yang dijadikan bisnis pariwisata.

Dalam keprihatinan, menjadi lebih mudah bagi kita untuk mendapatkan kesadaran akan hidup yang hakiki disertai doa supaya para pemimpin mendapat kesadaran yang sama melalui empati dan kecerdasan mata hatinya. Satu kesadaran bahwa banjir, subak dan pagerwesi memanggil Bali dalam satu suara, supaya setiap anggota masyarakat Bali,kembali menyatu dengan alam, dengan para leluhur dan dengan Tuhan.

Banjarmasin
12092025

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini