SCNEWS – Apa yang diingat saat menyebutkan merek NOKIA ??
Selain pernah menjadi pegangan paling bergengsi hampir sebagian besar masyarakat dunia termasuk di Indonesia, perubahan-perubahan bisnisnya menarik untuk diikuti dan dijadikan sebagai pelajaran dalam memahami perubahan pasar.
Nokia berawal dari merek sepatu dan berubah menjadi ponsel dengan pendekatan “human touch” dan “connecting people”. Saat diluncurkan bentuknya jauh lebih fashionable daripada merek lain yang ada saat itu, seperti : Motorola atau Ericsson. Nokia cukup agresif dalam mengeluarkan inovasi produk, dan selalu disambut antusias oleh pasar dunia. Ini menjadikan Nokia percaya diri dan berfokus hanya pada inovasi internal, karena yakin apapun inovasi yang diluncurkan, selalu diterima pasar dengan baik.
Keberhasilan Nokia, ada andil dukungan negara atau pemerintah Finlandia, dimana menyiapkan peraturan yang mendukung untuk tumbuhnya industri / bisnis ini. Selain itu juga membangun berbagai kluster pendukung, industri-industri pelengkap sehingga bisa menciptakan lapangan kerja yang produktif dan kreatif. Jadi Nokia berkembang dan melesat membawa industri pendukungnya juga berkembang dengan baik. Dampaknya dirasakan oleh negara, ketika pemasaran sudah mendunia. Seperti yang telah diketahui jika Nokia pernah dan sempat menjadi raja untuk produsen ponsel terbaik selama 14 tahun dengan berbagai terobosan mulai dari ponsel yang tahan banting, tahan lama dan desainnya selalu unik. Namun perkembangan era teknologi yang sangat pesat, dan pesaing yang terus berinovasi, memunculkan teknologi-teknologi yang lebih canggih.
Problem mulai dirasakan ketika Nokia abai terhadap perkembangan di luar, dan hanya berfokus pada pengembangan internal, terlalu percaya diri dengan penguasaan pasar yang besar, maka perlahan mereka harus menerima kenyataan pahit, pasar yang mulai meninggalkan Nokia. Raksasa ponsel yang berkuasa lebih dari satu dekade itu harus menyerah menghadapi Apple dan juga Android yang mampu menggerus pasar dengan inovasinya.
Akhirnya di tahun 2013, kabar mengejutkan pun muncul dimana Nokia ternyata telah dibeli oleh perusahaan teknologi terbesar lainnya yaitu Microsoft. Microsoft mengakusisi divisi handset Nokia dengan nilai 7,2 miliar dollar AS. Ternyata para investor bereaksi negatif atas akuisisi ini, karena keduanya, baik Microsoft maupun Nokia, sama-sama sedang berada dalam kondisi drop terkait perubahan pasar. Pada saat itu penjualan PC dunia sedang drop, sehingga Microsoft perlu beralih ke bisnis mobile devices dengan mengakuisisi Nokia, yang berada dalam kesulitan pasar juga, dianggap bukan keputusan yang tepat. Karena industrinya sendiri tengah berubah. Global market share –nya mengerucut, tinggal 15 persen.
Ketika kesulitan terjadi, eksekutif Nokia melakukan hal serupa seperti perusahaan-perusahaan lainnya yaitu mengutak-atik keunggulan brand-nya. Bekerja sama dengan Microsoft, berinovasi menggunakan software windows phone. Tetapi solusi ini ternyata keliru. Brand Microsoft tak mampu membuat Nokia lebih baik. Pasar telah beralih ke Android dan Nokia terlambat menanggapinya. Bagi sebagian besar analis, akuisisi ini juga tak mampu menjadikan Microsoft seperti Apple yg telah terlanjur memiliki loyalis dalam kategori mobile devices.
Catatan penting dari kemunduran / kebangkrutan Nokia, sales drop bukanlah melulu akibat marketing yang salah, melainkan ada sesuatu telah berubah terkait pasar, sehingga brand yang kuat pun bisa mati kalau hanya menjalankan marketing strategy saja. Analisis Industri Kebanyakan hanya menyerap ilmu marketing dari tokoh-tokoh lama yang mengedepankan pentingnya mengeksploitasi keunggulan-keunggulan dan keunikan-keunikan diri. Sementara kondisi perubahan pasar di era saat ini, berubah dengan begitu cepat dan menuntut kita memahami analisis industri model Five-forces.
Perubahan pasar yang begitu cepat, bahkan penuh kejutan, membuat industri harus memperkuat ‘competitive advantage’ – keunggulan kompetitif dengan hal-hal strategis di dalam brand itu. Di awal abad 21, business landscape telah berubah total. Analisis industri yang dulu dilakukan dalam masing-masing industri telah berubah. Para pelaku perubahan tak lagi bermain dalam area yang sama, sehingga persaingan sudah berubah menjadi antar industri, bahkan antar business model.
Dalam buku Cracking Zone karya Rhenald Kasali, diperkenalkan kategori baru dalam industri yang disebut sebagai Cracker, yang artinya orang-orang yang memperbaharui industri. Jika wabah “crackership” sudah melebar kemana-mana, “competitive advantages” jelas menjadi persoalan baru dan marketing tidak bisa lagi berjalan sendiri. Bahkan brand yang kuat pun bisa saja tiba-tiba beralih menjadi brand yang bermasalah. Apalagi jika eksekutif puncaknya sudah terlalu dimanjakan oleh berbagai fasilitas yang membuat mereka merasa nyaman. Mereka akan sangat mudah digoyang para pemain baru yang tiba-tiba merampok keunggulan mereka. Itulah yang tengah terjadi di hampir semua industri dan melahirkan teori transient dalam analisis industri baru.
DHY
*Dari berbagai sumber