BENARKAH ADA PELANGGARAN DOSEN DALAM PENGAJUAN GURU BESAR ATAU JUSTERU DOSEN MENJADI KORBAN ?

BENARKAH ADA PELANGGARAN DOSEN DALAM PENGAJUAN GURU BESAR ATAU JUSTERU DOSEN MENJADI KORBAN ?

Oleh : Syaifudin

SCNEWS.ID-BANJARMASIN. Tiba tiba Nurani saya terhentak mendengar kabar lewat liputan investigasi Salah Satu Majalah Nasional dan lalu kemudian ramai dibicarakan di Media dan Media Sosial tentang “SKANDAL GURU BESAR DI FAKULTAS HUKUM ULM”,  apalagi sejumlah nama yang disebutkan adalah kolega saya yang saya kenal betul track recordnya sangat baik selama bergaul menjadi Dosen di FH ULM. Dengan hati dan fikiran yang tenang kemudian saya mencoba menelusuri ada apa sebenarnya yang terjadi dan dikaitkan pengalaman saya selama menjadi Dosen dari tahun 1999 sampai dengan pensiun tahun 2017.

Sebagaimana diketahui dan dimaklumi Bersama sesuai dengan Undang_undang Guru dan Dosen dan Peraturan dibawahnya, seorang dosen dengan status  PNS atau ASN memiliki jenjang kepangkatan sebagaimana ASN lainnya, dikarenakan untuk menjadi dosen disyaratkan berpendidikan sarjana (S1), maka sesuai aturan ia pertama kali diangkat dalam pangkat golongan IIIa dan kemudian setelah mengumpulkan angka kredit kumulatif 150 dari empat unsur, yaitu  Unsur utama yakni kegiatan Pendidikan (A), melaksanakan Pendidikan (B), Penelitian (C), Pengabdian pada Masyarakat (D). Sedangkan unsur Penunjang (E) terdiri dari kegiatan-kegiatan yang mendukung pelaksanaan tugas pokok dosen, berhak mendapatkan Jabatan Fungsional  Asisten Ahli.

Dari Asisten ahli ini kemudian dosen berhak naik pangkat dari Golongan IIIa sampai dengan Golongan IVE dan jabatan fungsional (jabatan akademik) yang bisa seiring atau bahkan  melompat dari pangkatnya, asalkan dia mampu mengumpulkan angka kumulatif kredit yang disyaratkan, yaitu Lektor (200,300), Lektor Kepala (400, 550, 700), dan Profesor (859, 1050).

Setiap jenjang jabatan akademik dengan angka kredit kumulatif tersebut, terdapat syarat yang sering menjadi kendala untuk dipenuhi, yaitu unsur B. Unsur B ini adalah unsur yang memuat adanya penelitian ilmiah dan atau karya ilmiah yang dimuat di Jurnal ilmiah sesuai dengan bidang keilmuan dosen tersebut.

Disamping itu ada berbagai macam kualifikasi jurnal ilmiah yang menjadi sayat untuk pemuatan karya ilmiah tersebut, khusus untuk guru besar disyaratkan dimuat pada jurnal yang bereputasi internasional. Jurnal yang terindeks  SCOPUS Q1 menjadi syarat utama yang dipenuhi oleh calon Guru Besar, disamping sayat lain, seperti sudah harus bergelar atau selesai menempuh Pendidikan Doctor (S3) selama 3 tahun dan syarat syarat lainnya.

Adapun yang menjadi permasalah utama para Dosen untuk mendapatkan jabatan akademik guru besar tersebut, tidak hanya keberhasilan mengumpulkan angka kredit sebesar minimal 850, akan tetapi syarat adanya karya ilmiah yang dimuat pada Jurnal internasional bereputasi inilah yang kebanyakan menjadi kendalanya. Kendala ini disebabkan oleh terbatasnya jurnal bereputasi internasional yang diterbitkan oleh Perguruan Tinggi di Indonesia, sehingga kondisi ini menjadi factor penghambat untuk mengusul ke jabaran Guru besar tersebut.

Ditengah-tengah kesulitan untuk menerbitkan karya ilmiah pada jurnal yang bereputasi internasional inilah kemudian bermunculan tawaran via email dan postingan website dari luar negeri yang “mengaku” sebagai penerbit jurnal bereputasi internasional tersebut, dan menawarkan untuk bisa menerbitkan karya ilmiah para Dosen.

Sementara disisi lain, dikalangan akademisi sendiri sudah maklum atau dikenal adanya dua jalur dalam upaya penerbitan karya ilmiah pada jurnal yang bereputasi internasional, yaitu yang dikenal jalur “kapal perang” dan jalur “kapal dagang”. Untuk jalur kapal perang, setiap dosen bisa mengirimkan artikelnya dan dimuat oleh Jurnal tersebut dengan tanpa adanya biaya yang dipungut, untuk jalur ini biasanya dapat ditempuh oleh Dosen yang mempunyai kualifikasi keilmuan yang luar biasa dan termasuk mereka yang kuliah di luar negeri atau bahkan jurnal itu sendiri yang meminta tulisan karena reputasi penulisnya dikalangan kolega atau peer group yang sudah sangat terkenal.

Berbeda dengan jalur kapal dagang, dosen bisa mengirimkan artikelnya dan kemudian ada proses perbaikan dari sisi substansi dan bahasanya, serta dibimbing untuk dapat memenuhi kualifikasi yang disyaratkan. Untuk ini pihak pengelola jurnal menentukan tarif atau biaya pemuatan dan jutaan sampai puluhan juta rupiah.

Ditengah tengah kondisi bagi umumnya Dosen Indonesia berada pada kemampuan yang tergolong bukan luar biasa tersebut, merasa sangat dibantu dengan adanya jalur “kapal dagang” ini. Namun demikian ternyata ditengah tengah kondisi adanya jalur kapal perang dan kapal dagang ini muncul tawaran dari JURNAL PREDATOR.

Jurnal predator secara sederhana bisa diartikan sebagai jurnal abal-abal. Jurnal diketahui sebagai suatu majalah yang isinya artikel ilmiah dari satu bidang keilmuan yang sama. Artinya jurnal disini sama seperti penerbit buku, yang membantu penerbitan artikel ke dalam bentuk jurnal.

Jurnal predator pada dasarnya berupa pihak publikasi jurnal yang mengeksploitasi penulis dengan mengenakan biaya publikasi tanpa menyediakan layanan tinjauan sejawat atau editorial yang memadai. Jurnal-jurnal semacam ini sering kali menampilkan klaim palsu mengenai faktor dampak mereka, tidak memiliki dewan editorial yang jelas, menawarkan undangan untuk pemuatan agar mengirimkan naskah yang ujung-ujungan meminta kontribusi dana dari puluhan juta hingga ratusan juta rupiah.

Cara kerja jurnal predator dengan modus yang bermacam macam, ada yang mendompling jurnal  yang memang bereputasi internasional (cloning), ada yang membuat susunan dan legalitas yang palsu, yang ujung-ujungnya jurnal ini akan hilang jejak digitalnya saat kemudian dikonfirmasi. Bagi kita yang kurang memahami seluk beluk “perjurnalan” akan sangat sulit menilai apakah sebuah Jurnal itu memang benar-benar jurnal resmi yang bereputasi internasional atau jurnal yang abal-abal. Saya memandang jurnal predator ini termasuk dalam kejahatan yang beredar di dunia digital sebagaimana bentuk investasi bodong dalam dunia bisnis.

Setelah melihat kondisi objektif dan masa masa transisi penerapan aturan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi RI, Kolega saya di Fakultas Hukum ULM umumnya angka kreditnya sudah mencukupi dari batas minimal 850 untuk menjadi guru besar dan sudah bergelar doctor (S3), hanya menyisakan kekurangan syarat adanya karya ilmiah yang dimuat pada Jurnal Bereputasi Internasional (Scopus Q1), maka adanya tawaran dari Jurnal yang mengaku bereputasi internasional tersebut itulah menjadi tergiur untuk memanfaatkan masa transisi ini mengusulkan menjadi guru besar. Dan ternyata setelah dilantik menjadi guru besar, kemudian baru diketahui jurnal tersebut adalah jurnal predator.

Dari sinilah saya berkesimpulan para kolega saya Dosen di Fakultas Hukum yang diberitaan “skandal” tersebut, bagi saya bukanlah orang yang “jahat” atau melanggar “etika akademik”, akan tetapi  menjadi korban penipuan dalam dunia digital “kejahatan cyber”, yang mestinya harus diberikan perlindungan dan menjadi intropeksi bagi semua pihak baik itu DIKTI maupun Lembaga Pendidikan dan termasuk juga Dosen.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini