BENARKAH KACANG LUPA PADA KULITNYA ?

 BENARKAH KACANG LUPA PADA KULITNYA ?

Perhatikan juga apa yang terjadi dalam kehidupan kita bertutur, ada saatnya orang yang kita bantu untuk tidak lagi menerima bantuan kita, dan bahkan anak kita sekalipun yang selama hidupnya kita  lahirkan dan besarkan sampai pada batas tertentu ia menjalani hidupnya sendiri dan lepas dari kita. Dan bagaimana mungkin kita berharap ia selamanya dengan kita atau bahkan kalaupun itu terjadi maka sesungguhnya kita telah mengekang kemandirian anak kita tersebut sebagai pribadi yang merdeka.

(Syaifudin*)

DUTATV.COM – SCNEWS.ID – Banjarmasi. Sahabat Secangkir Kopi Seribu Inspirasi, Saya punya keyakinan semua kita sudah sangat familiar dengan uangkapan peribahasa “jangan seperti kacang lupa akan kulitnya”, untuk menggambarkan adanya “orang yang tidak berterimakasih kepada orang yang menolong hidupnya”. Sayapun meyakini ungkapan peribahasa itu dari kecil sampai saya menulis renungan ini, dan tulisan inipun terpantik dari inspirasi tulisan IBG Dharma Putra yang bercerita tentang bebek, yang sering kita persepsikan sebagai binatang yang tidak punya pendirian dan suka mengekor, padahal umumnya binatang lain juga berperilaku sama dengan bebek termasuk juga manusia.

Sahabat ! tidak banyak saya menemukan orang membahas masalah kacang dalam perspektif inspiratif, salah satu yang temukan adanya tulisan dari seorang jurnalis Timur Tengah Fahd Amir Ahmadi yang membahas “teori kacang” dan setelah saya baca buku ini membahas tentang “bagaimana kita menghargai hal-hal yang dianggap kecil dalam kehidupan, yang sesungguhnya bernilai besar dalam membawa kesuksesan hidup”. Dan sayapun pernah membahasnya dengan versi kopi, yaitu “makna sebiji kopi” yang terinspirasi dari cerita Abah Guru Zuhdi saat membahas makna sebutir nasi, yang walaupun hanya sebiji, akan tetapi ia mengalami proses Panjang sehingga akhirnya sampai ke meja kita yang telah banyak melibatkan banyak orang dan campur tangan Yang Maha Kuasa.

Sahabat !  saya memperhatikan dengan seksama kacang yang saya beli sebagai makanan ringan di hari lebaran ini, setelah saya kupas kulitnya maka akan terlihat biji kacangnya dan pada biji kacang tersebut juga terdapat kulit tipis yang membalutnya, oleh karena itu dapat saya simpulkan terdapat dua lapis kulit kacang, yaitu kulit luar yang tebal dan kulit dalam yang tipis.  Perhatikanlah saat kita memakan kacang tersebut, kita membuka kulit luarnya yang tebal tersebut dan mengambil bijinya kacangnya yang terkadang masih menempel kulit tipisnya dan ada juga yang kulit tipisnya sudah terkelupas saat kita membuka kulit tebalnya.

Sahabat ! artinya pada proses memakan kacang untuk merasakan kenikmatan rasanya, kita mengupas atau membuka kulitnya dan hanya mengambil biji kacangnya, oleh karena itu nasib sang kulit akan kita buang ke tempat sampah. Lantas bagaimana mungkin kita dapat mengatakan kacang melupakan kulitnya, karena kulitnya sendiri telah kita buka dan kita yang melepaskan, oleh karena itu siapakah sesungguhnya yang memisahkan kacang dengan kulitnya tersebut ? Nah ! dengan kejadian ini kok “bisa-bisanya kita menyimpulkan” kacang telah melupakan kulitnya.

Sahabat ! saat saya tinggal saat usia sekolah Menengan Pertama di daerah Pengaron Kabupaten Banjar, kami mempunyai kebun cengkeh dan disela sela tanaman cengkeh kami menanam kacang, dan yang kami tanam memang bijinya yang sudah dipisahkan dengan kulitnya, artinya proses pengupasan yang memisahkan antara kacang dan kulitnya juga dilakukan oleh kita, bukan oleh kacang itu sendiri.  Namun terdapat gejala yang menarik saat ada beberapa sisa kacang yang kami panen yang masih tertanam dalam tanah, dan suatu saat muncul putik kecambahnya dari kacang tersebut yang secara pelan-pelan telah melepaskan ia dari kulitnya secara alami.

Sahabat ! ingatan saya pada jenis pengelupasan alami ini juga meneruskan renungan, bahwa kacang memisahkan diri dengan kulitnya justeru untuk menumbuhkan generasi baru tumbuhan kacang tersebut.  Oleh karena itu secara alami proses melepaskan diri dari kulit (baca : induk) nya sebenarnya suatu proses yang alami yang terjadi pada tanaman dan hewan ciptaan Yang Maha Kuasa, termasuk kita manusia.

Sahabat ! lihat saja bagaimana telur pecah untuk melahirkan anak ayam, kenapa kita tidak menyebutkannya “anak ayam lupa kulitnya ?”, karena justeru dari lepasnya ia dari kulit telur itu adalah pertanda dimulainya kehidupan baru bagi  sang anak ayam.  Begitu seterusnya anak ayam tersebut selalu mengiringi induknya yang menjaga dan sampai batas waktu tertentu anak ayam itu justeru dilepas induknya untuk hidup mandiri.  Dan perhatikanlah semua proses itu pada binatang-binatang lainnya yang menunjukan adanya batas waktu ia melepaskan anaknya, baik dengan sendirinya maupun dengan paksaan.

Sahabat !  Perhatikan juga apa yang terjadi dalam kehidupan kita bertutur, ada saatnya orang yang kita bantu untuk tidak lagi menerima bantuan kita, dan bahkan anak kita sekalipun yang selama hidupnya kita  lahirkan dan besarkan sampai pada batas tertentu ia menjalani hidupnya sendiri dan lepas dari kita. Dan bagaimana mungkin kita berharap ia selamanya dengan kita atau bahkan kalaupun itu terjadi maka sesungguhnya kita telah mengekang kemandirian anak kita tersebut sebagai pribadi yang merdeka.

Sahabat ! dengan melihat kondisi yang objektif seperti itu, maka adalah wajar “kacang itu telah lepas dari kulitnya”, lantas apakah sang kulit kacang masih berharap jasanya diingat oleh kacang itu ? kalau hal ini ada pada fikiran kulit kacang, maka sesugguhnya ia ada pamrih selama membungkus kacang tersebut, yang dalam Bahasa kita ada ketidak ikhlasan dalam melindungi dan mengasuh kacang tersebut.

Sahabat ! lantas bagaimana dengan kita semua, apakah kita berharap juga akan adanya balasan dari orang-orang yang pernah kita bantu dan atau juga mengharap balasan dari anak-anak kita setelah ia dewasa dan lepas dari kita? Kalau hal ini yang kita harapkan atau menjadi tujuan kita membantu sesama termasuk dalam memelihara anak kita, maka kita termasuk orang yang tidak ikhlas dalam membantu dan membesarkan anak-anak kita.

Sahabat ! saya tidak bermaksud mengajak kita dalam posisi orang yang telah menerima bantuan lalu melupakan jasa baik orang tersebut, terlebih terhadap orang tua yang melahirkan dan memelihara kita. Justeru pada posisi orang yang telah dibantu itulah kita mesti mengingat dan membalas budi baiknya sebagai pertanda kita orang yang tahu berterimakasih. Seperti pantun yang dikemukakan oleh Buya Hamka “Pisang emas bawa berlayar, masak sebiji di dalam peti, hutang emas dapat dibayar, utang budi terbawa mati”.

Sahabat ! akhirnya saya bisa katakan bahwa “tidak masalah bagi kita kalau kacang melupakan kulitnya, tapi kacang mesti selalu ingat akan jasa kulitnya”, karena dengan keihklasan melepaskan kacang, maka kita berhasil menjalankan misi kehidupan yang diamanahkan oleh Illahi.

Salam Secangkir Kopi Seribu Inspirasi.

*Penulis & Host Secangkir Kopi Seribu Inspirasi

Terbaru

spot_img

Related Stories

1 KOMENTAR

  1. Mungkin Bapak salah jika mengartikan bahwa kacang lupa akan kulitnya adalah seseorang yang melupakan jasa orang orang yang sudah membantunya. Kacang lupa akan kulitnya adalah seseorang yang lupa akan asal usulnya dan itu tidak ada kaitannya dengan balas budi atau hutang budi.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini