BLUE FIRE (SERI OPINI IBG DHARMA PUTRA)

BLUE FIRE

Dalam setiap potensi perubahan akibat sebuah keputusan, ada baiknya menjauhi pengelolaan dengan kekuasaan yang berorientasi pada capaian target saja tetapi lebih memilih pengelolaan perubahan berstrategi budaya terkombinasi penggunaan kenyataan emperik akal sehat.
Oleh : IBG Dharma Putra

SCNEWS.ID-BANJARMASIN. Namanya kawah ijen, berada di Provinsi Jawa Timur tapi jauh dari kota manapun di Propinsi Itu. Ada beberapa kota yang ada didekatnya, seperti Banyuwangi, Jember, Bondowoso, tapi untuk mencapai pinggiran terdekat kawah, dari kota kota tersebut, diperlukan waktu berjam jam. Selanjutnya, untuk mencapai kawah dan lebih jauh lagi, untuk melihat api kawah, harus ditempuh dengan berjalan kaki, dijalan terjal berbatu, dengan risiko besar dan tentu saja sangat melelahkan.

Kondisi jalan dan waktu tempuh yang serumit dan selama itu, masih saja diminati sehingga masih ada saja orang kesana, untuk melihat api belerang, sebuah fenomena nyala api biru, yang dipopulerkan dengan nama, blue fire. Terasa sangat lucu, karena sebenar benarnya, nyala api biru, juga bisa dilihat di dapur, disaat menyalakan kompor elpiji. Saya sering tertawa sendiri memikirkan pendakian, lebih tepatnya perjalanan menaik dan menuruni kawah ijen, yang dilakukan teman teman saya. Saya hanya berani tertawa sendiri saja, karena mereka pasti akan marah jika ditertawakan, mereka serius dan tidak melawak.

Kegiatan unik yang belum bisa saya pahami maksudnya, sekedar untuk memuaskan rasa keingin tahuan, penaklukan atau maksud yang lainnya. Tetapi sangat mungkin, akan mulai bisa saya pahami karena di saat sekarang, akan agak susah untuk melihat nyala api biru, di dapur, karena naiknya harga gas elpiji. Bahkan ada wacana, yang konon sudah mulai dikerjakan oleh pemerintah, untuk memakai sumber energi lain bagi rumah tangga, yaitu dengan menganti kompor dari kompor gas menjadi kompor listrik.

Fenomena nyala api biru, memang sebenar benarnya, akan susah ditemukan, jika niat baik pemerintah tersebut sudah diterapkan secara tuntas. Mencari nyala api biru di dapur akan sama rumitnya seperti susahnya mendaki ke kawah ijen, jika semua kompor gas telah tergantikan oleh kompor listrik. Sebuah suasana ironis sarkastik dan tidak ada lucunya sama sekali.

Menyikapi situasi tersebut, saya mendengar salah seorang kawan saya nyeletuk, bahwa itu berarti, kembali ke zaman purba dan kawan lainnya menimpali, dengan celetukan langka, bahwa akan kembali makan bulgur. Langka karena saya sendiri, tidak terlalu tahu tentang bulgur, apalagi generasi saat ini. Bulgur itu, adalah makanan sumbangan bule amerika sewaktu zaman paceklik diawal kemerdekaan. Bulgur adalah sejenis gandum utuh yang retak, direbus dan dikeringkan dulu, sebelum dikemas. Mudah dimasak dengan durasi amat singkat, seperti mie instan saat ini.

Yang jelas, jika semua kompor sudah tuntas tergantikan dan semuanya menjadi kompor listrik, dunia akan terbalik untuk saya, karena mereka yang saya ketawain, berjauh jauh dan bercapek capek dengan menantang risiko, hanya untuk melihat nyala api biru ke kawah ijen, akan balik mentertawakan saya, yang hanya bisa melonggo karena tak lagi bisa menikmati nyala api biru di dapur rumah saya, bahkan tak akan ada nyala lagi. Uang habis untuk beli token listrik tapi tak ada nyala yang terlihat. Tentunya sambil berdoa agar sumber listrik dimasa depan adalah matahari dan perusahaan yang mengelola listrik untuk masyarakat, menjadi semakin amanah saja.

Bayangkan jika sumber listrik alternatif yang termurah tak kunjung dipakai dan pengelolaan listrik tak kunjung membaik, sedangkan semua kompor gas telah berganti kompor listrik, maka masyarakat akan sangat menderita karenanya. Penderitaan terjadi, bukan hanya karena himpitan tarif dan pelayanan yang terkesan seadanya, tapi juga karena nyala api yang hilang, bukan hanya nyala api biru,tapi semua nyala api, akan lebih sering hilang dari rumah dan terutama dari dapurnya. Hilangnya nyala dimasa lalu hanya berakibat gelap gulita semata, tetapi di masa kompor listrik, akan bertambah akibatnya dengan kelaparan. Kelaparan bisa membutakan hati, meredupkan nyala di benak, sehingga tak lagi bisa berpikir panjang. Bara dihati akan berkobar menjadi emosi yang amok menuntut tanggung jawab pemimpinnya.

Keunikan kegiatan melihat fenomena nyala api biru, berubah menjadi bukan sekedar kelucuan semata di pikiran saya tetapi kegiatan serius yang selayaknya memberi inspirasi bagi para pemimpin untuk lebih berhati hati didalam pengambilan keputusan bagi masyarakat, terutama jika putusan itu, menyangkut dapur masyarakatnya. Dapur yang tak menyala akan berakibat sangat fatal. Dalam setiap potensi perubahan akibat sebuah keputusan, ada baiknya menjauhi pengelolaan dengan kekuasaan yang berorientasi pada capaian target saja tetapi lebih memilih pengelolaan perubahan berstrategi budaya terkombinasi penggunaan kenyataan emperik akal sehat.

Semoga para penentu kebijakan di negeri ini, dalam keadaan sehat wal afiat sehingga bisa mengabdikan dirinya secara amanah kepada masyarakatnya.

Banjarmasin
27092022

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini