DAYA SAING DAN DAYA SANDING
“Terminologi “DAYA SANDING” menjadi sangat penting untuk kita internalisaskan nilai-nilainya dalam kehidupan masyarakat kita sekarang ini, karena daya sanding menurut saya tidak saja kemampuan kita merekatkan kohesi sosial setelah bersaing, akan tetapi juga sebagai paradigma dalam proses sosial kehidupan masyarakat kita, sehingga nilai-nilai toleransi dan penghargaan, saling menghormati pada setiap individu dan kelompok masyarakat kita dapat tercipta dan terpelihara”.
(Syaifudin)
SCNEWS.ID-BANJARMASIN. Sahabat secangkir kopi seribu inspirasi, pada saat Sahabat Tjipto Sumadi menyimpulkan diakhir tulisannya tentang Gerat Wall memang Great, terdapat kata-kata yang menarik perhatian saya, yaitu “…perlu dikembangkan bukan hanya daya saing (rivalitas–kontestasi), tetapi juga daya sanding (solidaritas-toleransi)”.
Sahabat ! tertariknya tentang istilah daya saing dan daya sanding tersebut “didrive” oleh kondisi sosial masyarakat kita di era teknologi informasi sekarang ini, ada semacam dua sisi yang bertabrakan antara satu kondisi dengan kondisi lainnya. Kondisi yang satu ditengah percaturan global yang tidak ada lagi “border” antara satu wilayah dengan wilayahnya lainnya di dunia ini, sehingga menjadikan standar hidup, standar ilmu, standar kesehatan, yang ringkasnya standar mutu dan kualitas disegala aspek kehidupan menjadi sangat terbuka disemua negara dan masyarakat dunia. Oleh karena itulah bagaimana “daya saing” kita ditengah kondisi masyarakat yang seperti ini menjadi isue utama, karena secara personal kita relatif mempunyai kualitas yang sejajar atau bahkan lebih, akan tetapi secara kolektif bangsa kita masing digolongkan mempunyai kualitas yang rendah dan bahkan masih berada pada ranking menengah ke bawah dalam berbagai aspek standar kehidupan internasional.
Sahabat ! disisi yang lain, teknologi informasi telah melahirkan berbagaimacam flatform media sosial yang begitu marak, sehingga ruang “maya” media sosial ini menjadi menu keseharian masyarakat kita yang data tahun 2019 saja sudah menunjukan lebih 3 jam perhari menggunakan online dimedia sosial dan telah menduduki rangking 6 di dunia. Dan hingga Januari 2021, Indonesia memiliki pengguna internet sebanyak 202,6 juta jiwa. Mengutip data dari Data Reportal, jumlah tersebut meningkat sebanyak 27 juta atau 16 persen dibandingkan tahun sebelumnya, sementara itu penetrasi internet mencapai 73,7% hingga Januari lalu, yang umumnya digunakan untuk berselancar di media sosial.
Sahabat ! pada sisi besarnya pengguna internet dan atau media sosial yang terjadi inilah pada satu sisi mempunyai dampak positif bagi kemajuan masyarakat dan bangsa kita, karena mudah dan efisiennya pada seluruh aspek kehidupan masyarakat, akan tetapi disisi lain terdapat semacam “culture shock” yang melahirkan perilaku sosial menyimpang akibat ketidaksiapan mental dan masih rendahnya literasi digital.
Sahabat ! akibatnya dapat kita saksikan bersama, bagaimana mudahnya masyarakat kita tertipu oleh penawaran-penawaran di media sosial, terpapar ujaran kebencian yang dinarasikan dengan sumber yang tidak jelas, begitu mudahnya mempercayai gambar, video dan tulisan yang berdedar, begitu ringannya langsung menshare konten-konten yang belum jelas kebenarannya dan seterusnya.
Sahabat ! pada sisi lainnya juga, bagaimana perilaku masyarakat kita yang membuat konten dan postingan berupa opini, gambar dan video yang bersifat “privat” dan seolah-olah melihat ruang yang ada di media sosial itu adalah ruang privat karena akunnya sendiri. Padahal saat ia memposting dimedia sosial tersebut ia sebenarnya berada dalam ruang publik, karena bisa diakses oleh siapa saja.
Sahabat ! berderet contoh dan fakta akan sangat panjang kalau diungkapkan, namun semua itu kita dapat saksikan sendiri bagaimana “rimba belantara media sosial” itu tumbuh menjadi seolah “tak terkendali dan tanpa nilai-nilai yang melingkupinya”, sehingga dibaca dan diamati betul oleh pihak-pihak yang ingin mempropagandakan ideologi, ajaran dan misi tertentu dalam mempengaruhi masyarakat kita. Akibatnya kalau disandingkan dengan norma-norma masyarakat yang selama ini kita yakini dan amalkan, maka akan terjadi benturan nilai yang mengakibatkan adanya “strain social” atau ketegangan sosial yang dalam perpektif konsensus hal tersebut bisa menjadi amunisi dan mengaktifkan ledakan konflik sosial, seperti kerusuhan sosial.
Sahabat ! kondisi dijadikannya media sosial sebagai alat untuk mempengaruhi masyarakat kita itu, kemudian diiukuti oleh tumbuhnya apa yang disebut “industri buzzer”, sebagai suatu industri yang menyediakan jasa untuk mem “blast” atau “mempromosikan” menyebarkan dan mendukung konten itu, akibatnya masyarakat kita menjadi bingung untuk percaya atau tidak dan kemudian meyakini kebenarannya serta ikut membagikannya. Padahal buzzer yang menyebarkan konten dengan tujuan tertentu tersebut, sesungguhnya sebagai pekerjaan yang tidak benar secara normatif.
Sahabat ! dampak yang paling nyata kita lihat bagaimana konten di media sosial yang dibuat untuk tujuan politik memenangkan calon priseden, calon kepala daerah, calon legislatif, yang isinya memakai teori konflik yang seolah-olah calon ini yang paling benar sedangkan calon yang lain tidak benar dalam segala hal, sehingga kebaikan apapun yang sudah dilakukan oleh calon yang satu dianggap dan dicurigai sebagai ketidakbaikan, akibat dalam setiap perhelatan demokrasi yang terjadi polarisasi tajam kelompom “pendukung dan penentang” dengan bahasa yang meninggalkan tradisi kesantunan masyarakat kita.
Sahabat ! dari kondisi inilah maka terminologi “DAYA SANDING” menjadi sangat penting untuk kita internalisaskan nilai-nilainya dalam kehidupan masyarakat kita sekarang ini, karena daya sanding menurut saya tidak saja kemampuan kita merekatkan kohesi sosial setelah bersaing, akan tetapi juga sebagai paradigma dalam proses sosial kehidupan masyarakat kita, sehingga nilai-nilai toleransi dan penghargaan, saling menghormati pada setiap individu dan kelompok masyarakat kita dapat tercipta dan terpelihara.
Sahabat ! terus bagaimana sanding ini kaitannya dengan “daya saing” ? saya hanya ingin mengatakan bahwa bagaimana mungkin kita bisa meningkatkan daya saing kalau daya sanding kita lemah, sehingga banyak hal yang tidak perlu dan tidak produktif telah banyak menyita dan menghabiskan energi kita, sedangkan orang lain dan negara-negara lain semakin fukos pada hal-hal yang produktif untuk meningkatkan daya saingnya. Oleh karena itu ijinkan saya mengajak pada para kolega dan sahabat semua untuk kita memperhatikan dan berkontribusi mengatasi ini dengan sama-sama meningkatkan kegiatan literasi digital pada masyarakat kita.
Salam secangkir kopi seribu inspirasi