SCNEWS – “ Justice without might is helpless; might without justice is tyrannical – Hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan; kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman.”.
Kritik sosial “Aku Ading Basit” yang viral di kalangan warga banua ditanggapi oleh pak Syaifudin dengan menurunkan tajuk “Fenomena Ading Basit Jembatan Baru Alalak” di portal online SCNews.id., Senin, 28 September 2021. Beliau mengemukakan fenomena “ading Basit” itu dapat dimaknai dari berbagai sisi, bisa dari sisi simbol kekuasaan, atau dari sisi kekecewaan masyarakat (yang menunggu lama selesainya pembangunan jembatan), bahkan dapat dianggap sebagai faktor pemicu karena permasalahan hidup yang menumpuk dan terakumulasi akibat pendemi Covid-19.
Tulisan ini tidak bermaksud membahas lebih jauh fenomena “ading basit”, akan tetapi hanya sekadar mencoba mengurai perihal hukum yang ditautkan dengan kekuasaan, “Hukum dan Kekuasaan”,dengan harapan kita dapat memahami mengapa petugas portal, dalam tajuk berita itu, memberikan perlakuan yang berbeda antara iring-iringan pengendara moge dan orang yang menyebut nama Basit dengan orang kebanyakan. Kuat dugaan, si Basit adalah “orang kuat” atau “penguasa“.
Kekuatan (force) tidak sama dengan kekuasaan (power). Mungkin seringkali orang yang dipandang kuat sekaligus berkuasa, sehingga gampangnya orang menyamakan pengertian “force” dengan “power”. Secara umum, bisa jadi orang yang berkuasa memiliki kekuatan, entah kuat secara fisik, kuat finansial, atau kuat secara intelektual, sehingga gampangnya disamakan saja antara kekuasaan dengan kekuatan. Padahal tidak selalu demikian. Boleh jadi orang dengan fisik yang lemah, tapi berkuasa, ada kalanya kaum lemah (karena sedikit dalam jumlah) menguasai kaum kuat (karena banyak dalam jumlah). Contohnya, warga keturunan Yahudi di Amerika Serikat hanya 2 % dari total populasi, lemah dalam jumlah, tapi kuat luar biasa dalam perpolitikan di sana.
Kekuasaan, dalam arti sosiologis diartikan sebagai kemampuan seseorang atau sekelompok orang untuk mempengaruhi tingkah laku orang lain agar sesuai dengan keinginannya, meskipun ia harus berhadapan dengan pihak lain yang menentangnya. Kekuasaan umumnya berakar pada wewenang formal (formal authority) yang memberikan kekuasaan dalam bidang tertentu. Kekuasaan berdasarkan wewenang formal berarti bersumber kepada hukum. Aturan hukumlah yang memberikan kewenangan tadi, dan (aturan) hukum pula yang memberi rambu menentukan batas-batas kekuasaan.
Kekuasaan mempunyai arti penting bagi hukum, oleh karena kekuasaan merupakan unsur mutlak dalam masyarakat yang diatur oleh dan berdasarkan hukum. Akan tetapi sebaliknya, hukum juga punya arti penting bagi kekuasaan. Sedemikian pentingnya hubungan hukum dan kekuasaan, dapat digambarkan dari slogan yang dinyatakan Blaise Pascal (1623 – 1662), filsuf dan penemu mesin hitung asal Prancis, “ Justice without might is helpless; might without justice is tyrannical”. Hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan; kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman. Mochtar Kusumaatmadja (1929 – 2021), mantan Menteri Kehakiman dan Menteri Luar Negeri era Presiden Soeharto, memandang hubungan hukum dengan kekuasaaan dalam masyarakat adalah sebagai berikut: “Hukum memerlukan kekuasaan bagi penegakannya. Tanpa kekuasaan, hukum itu tak ubahnya sebagai kaidah sosial lainnya yang berisi anjuran belaka; sebaliknya, kekuasaan itu sendiri ditentukan batas-batasnya oleh hukum”.
Pola hubungan hukum dan kekuasaan dipahami berbeda-beda. Ferdinand Lassalle (1825 – 1864), ahli hukum, filsuf dan sosialis bangsa Jerman mengatakan bahwa “hukum adalah kekuasaan itu sendiri”. Ia menilai konstitusi suatu negara bukanlah UUD tertulis yang hanya merupakan secarik kertas, melainkan hubungan-hubungan kekuasaan yang nyata dalam suatu negara. Maksudnya, UUD adalah aturan hukum yang mendeskripsikan struktur kekuasaan dalam suatu negara. Van Apeldoorn (1886 – 1979), advokat di Belanda, penulis buku Pengantar Ilmu Hukum yang menjadi bacaan wajib sebagian besar mahasiswa Fakultas Hukum, tidak menyangkal bahwa hukum adalah kekuasaan, akan tetapi dikatakannya “kekuasaan tidak identik dengan hukum, tidak selamanya kekuasaan itu hukum”, sebagaimana pepatah Inggris mengatakan “Might is not Right”. Pencuri berkuasa atas barang curian, bukan berarti ia berhak atas barang itu.
Pandangan Lassalle tentang kekuasaan mengarah kepada “kekuasaan fisik”, terbukti dengan dikatakannya dalam pidato viral: “Uber Verfassungswesen” (Berlin, 16 April 1862) bahwa alat kekuasaan yang utama dan menentukan diantara alat-alat kekuasaan adalah “tentara”. Perintah raja agar tentara dengan meriamnya bergerak keluar dari benteng adalah bagian dari pada konstitusi. Akan tetapi, sebagaimana yang telah dikemukakan, Apeldoorn mengkritik bahwa kekuasaan fisik itu bukan anasir yang hakiki dari hukum, apalagi anasir yang esensial. Jadi, kata Apeldoorn lagi, kekuasaan materiil (kekuasaan fisik) bukan bagian dari hukum; kekuasaan yang hakiki adalah kekuasaan yang bersumber dari kekuasaan moral (susila). Kekuasaan kesusilaanlah (moral) yang berkuasa atas suara hati orang, yang mendorong manusia berbuat baik kepada sesamanya, dan menjauhi perbuatan yang buruk.
Hukum dan kekuasaan mempunyai hubungan yang sangat erat, satu dengan lain saling membutuhkan. Oleh karena itu tidak salah kalau dikatakan hukum dan kekuasaan itu bagai mata uang dengan duasisi. Sisi yang satu, hukum memberikan legalitas kepada kekuasaan sehingga memiliki wewenang yang sah; dan pada sisi lain, hukum memberikan arahan, mengawal, dan membatasi pelaksana kekuasaan.
Wujud hubungan antara hukum dan kekuasaan menarik untuk diamati. Secara teoritis diharapkan “kekuasaan tunduk kepada hukum”, yang diistilahkan orang sebagai supremasi hukum (supreme of law), yaitu upaya untuk menempatkan hukum pada posisi prima dengan harapan hukum dapat mengayomi seluruh warga. Supremasi hukum adalah salah satu unsur dar iprinsip “Rule of Law” yang dikenal di masyarakat Anglo-Saxon. Negara harus diperintah oleh hukum dan bukan sekadar keputusan para pejabat secara individual. Kedudukan pejabat maupun akar rumput sama di mata hukum.
Pada praktiknya harapan dapat saja menuai “hukum tunduk kepada kekuasaan”. Hukum menjadi sub ordinasi kekuasaan, bahkan dapat saja hukum menjadi alat kekuasaan, ada supremasi kekuasaan terhadap hukum. Bila harapan dalam kenyataannya menjadi demikian, maka sama saja hukum tak lain dari pada apa yang berfaedah bagi orang yang lebih kuat, yang dalam pandangan Marxisme hukum dibuat tidak untuk melindungi masyarakat, tapi untuk kelompok elit.
Harus kita pahami kembali bahwa hukum dalam bentuknya yang asli bersifat membatasi kekuasaan. Peter Mahmud Marzuki mengatakan hukum berusaha untuk memungkinkan terjadinya keseimbangan dalam hidup bermasyarakat. Oleh karenanya, untuk mencegah terjadinya struktur kekuasaan yang bersifat menindas dikembangkanlah sistem hukum yang menyeimbangkan kekuasaan dengan cara distribusi hak dan privilese di antara individu dan kelompok.
Dalam konteks “Jembatan Basit” privilese hanya dirasakan oleh iring-iringan pengguna motor gede dan orang yang menyebut “aku ading Basit” saja, sementara warga masyarakat yang terganggu cukup lama dalam rangka menjalani rutinitas hariannya (karena terlalu lama penyelesaian proyek pembuatan jembatan) menjadi terusik rasa keadilannya. Pada akhirnya, patut disimak ucapan JimlyAsshiddiqie: “Dalam kehidupan bersama, diidealkan bahwa semua orang mampu membedakan dan bahkan memisahkan mana urusan pribadi dan mana urusan institusi, mana yang merupakan hak dan mana kewajiban sendiri dan orang lain. Setiap orang hanya mengambil hak tidak lebih dari semestinya, dan memberikan kewajiban tidak kurang dari yang seharusnya”. – Bens