DIALOG
“Ada saat demokrasi menjadi aristrokrasi dan monarchi sebelum kembali lagi kepada demokrasi”
“Mengajak seluruh masyarakat untuk ikut memiliki dan bukan sekedar ikut menikmati, adalah salah satu misi yang wajib diemban oleh semua pemimpin”
Oleh: IBG Dharma Putra
SCNEWS.ID-BALI. Harus ada cara untuk berdialog didunia yang semakin banyak berdebat, dunia yang terasa dipenuhi oleh mulut mulut tak bertelingga. Tak banyak yang ingin mendengar apalagi punya kemauan dan kemampuan mendengar cerita berbeda. Mereka hanya mendengar tentang yang ingin didengarnya.
Mulut tak bertelingga menjadi semakin pandir karena tak berisi hati sehingga bicaranya yang dipenuhi keakuan, seolah berhak memonopoli kebenaran, diucapkan tanpa perasaan hormat serta penghargaan pada sesama. Dan ujung dari semuanya adalah hilangnya rasa nyaman pada kehidupan bersama.
Perdebatan secara umum, berisi kedangkalan bahkan kelemahan logika, karena orang yang bicara lebih diperhatian dibandingkan dengan isi pembicaraannya. Dan isi pembicaraan diisi serta didasari dengan data tak bermutu yang sengaja ataupun secara spontan dikumpulkan.
Data tidak jelas serta terutama tidak lengkap dipakai untuk membuat kesimpulan. Ketidak lengkapan data yang paling sering terjadi adalah para pembela hanya mengumpulkan data pendukung sehingga berkesimpulan “bena dan baikr”, dilain sisi para penyerang hanya mengumpulkan data menyerang sehingga berkesimpulan “salah dan buruk”.
Terjadilah perdebatan salah dan benar yang sangat tidak logis serta penuh bohong karena tidak jarang, tulisan pembelaan atau penyerangan berisi data yang tidak benar, baik isi maupun waktunya. Data lama yang sedikitpun tidak ada hubungannya dengan peristiwa yang terjadi, ditampilkan kembali untuk memperkuat kesimpulan.
Jadilah ibarat para “malaikat” yang berseteru dengan para “setan” disepanjang hidupnya serta tidak pernah ada kesadaran akan keberadaannya sebagai sesama manusia yang mempunyai sifat sosial dengan berbagai aspeknya, baik yang bersifat kesendirian maupun bersifat berkelompok.
Semuanya tahu, bahwa ada data berbeda dari dari data yang menjadi dasar simpulannya, yang perlu dibaca tetapi disaat yang sama, semuanya juga, tidak mau tahu sehingga perdebatan berlanjut semakin seru. Sebuah kondisi serba tidak jelas, karena sebenarnya tahu tapi sekaligus tidak mau tahu, walaupun pangkalnya agak jelas serta ujungnya bisa diduga dan diketahui.
Dan situasi semakin runyam karena sunyinya tokoh perubahan di hirarki kedua setelah sang panutan. Seorang tokoh yang bisa menterjemahkan kemauan panutan kepada para pendukung dengan jernih dipenuhi kedamaian hati agar tak ada salah paham yang bisa mengotori proses pencarian hasil.
Dari sinilah, timbul secercah harapan dan sinar terang dalam upaya memecahkan perdebatan tak kunjung selesai ini. Diperlukan banyak tokoh perubahan untuk membuat sebuah bangsa menjadi seperti dicita citakan oleh para pendirinya.
Tokoh perubahan dengan pemahaman kreatif produktif terhadap kesepakatan berbangsa dan tidak tertarik pada kegenitan popularitas sehingga tidak terpeleset serta memlesetkan dirinya pada situasi perdebatan tanpa ujung. Setiap panutan bertanggung jawab dalam menyediakan tokon perubahan.
Setiap panutan tak boleh membiarkan sebuah perubahan liar tanpa penjelas bahwa panutan yang diberikannya merupakan konsep terbaik sekaligus memberikan panduan tentang cara bersepakat pada Panca Sila. Penjelasan itulah yang dilakukan oleh para tokoh perubahan, yang dibentuk secara sengaja melalui sistem pendidikan berjenjang.
Tokoh perubahan merupakan tangan kanan sang panutan, orang yang bertindak sebagai katalis, pemicu terjadinya sebuah perubahan dan dengan demikian tokoh tersebut harus kompeten, konsisten, kredibel, dapat dipercaya dan bersikap penuh simpati dan empati pada bangsanya.
Dua kata yang paling dekat dengan tokoh perubahan adalah berilmu pengetahuan dan tumbuh dari salah satu anggota komunitas. Layaknya orang berpengetahuan dan terpercaya maka seorang tokoh perubahan selayaknya rajin membaca, tidak melupakan bersilaturahmi, jujur, mempunyai kecerdasan komunikasi, bisa mengkristalisasi konsep dan rendah hati.
Pilihannya cuma begitu, karena cuma ada dua pilihan dalam mengatasinya. Pilihan kedua adalah membiarkan sejarah menuliskannya secara alami bahwa alam demokrasi tidak bersifat abadi tapi bersifat sikliktik berulang pada lingkar alamiahnya. Ada saat demokrasi menjadi aristrokrasi dan monarchi sebelum kembali lagi kepada demokrasi.
Apapun pilihannya pengendalian demokrasi di masa datang tidak mengandalkan pemimpin dengan kewibawaan tradisional tapi lebih ditentukan komunikasi egaliter milineal dengan kesetaraan. Wibawa apalagi yang dibuat buat berwibawa akan mendapat teriakan, “ke laut saja”, dari anggota generasi milineal.
Mereka selayaknya untuk mulai diajak memiliki masa depannya dan bukan sekedar menikmati masa kini, apalagi disertai dengan berbagai konsekuensi yang harus ditanggungnya nanti. Mengajak seluruh masyarakat untuk ikut memiliki dan bukan sekedar ikut menikmati, adalah salah satu misi yang wajib diemban oleh semua pemimpin. Memiliki bukan hanya menikmati, apalagi jika yang diajak menikmati hanya kroninya saja.
Pilihan mengendalikan agar tetap berada di alam demokrasi atau membiarkan berubah secara alamiah dengan pengendalian transisional supaya perubahannya tidak rusuh dan memakan banyak korban ataupun membiarkannya tanpa kendali sebagai perwujudan pasrah kepada seleksi alamiah, sebenarnya berada di tangan masyarakat.
Saya tak berani membayangkan, penyelesaian kreatif palsu hasil penyeragaman, penjajahan serta jebakan balai pendidikan dan pelatihan pegawai. Penyelesaian penuh poster maupun baliho promosi yang terasa formal ritual dalam bentuk pekan dialog nasional serta berbagai agenda kosong makna. Dan dipekan dialog itu, rakyat jelata tetap dibiarkan berdebat saling caci.
Bali Barat
17102021