
DIAM BERGERAK SAMA BAHAGIA
Oleh : IBG Dharma Puta
“Para sufi memaknai diam sebagai bentuk paling tinggi dari kesadaran, diam bukan hampa tetapi utuh dalam harmoni semesta, tidak bergejolak”.
SCNEWS.ID-BANJARMASIN. Pikiran sangat subversif, tiba tiba menyeruak di dalam benak setelah menyadari bahwa segala tindakan selama bertahun tahun hidup, ternyata tak berarti dalam meraih harapan, sebab segala upaya seolah berujung ketiadaan, yang didapat tak sama, bahkan tak terduga serta tak pernah terpikirkan.
Hidup ternyata ditentukan oleh kekuatan maha dahsyat dan bukan sekedar upaya saja, hingga jika saja diketahui sejak awal, bisa membuat tak ingin berbuat apa apa. Bahwa diam akan dapat disimpulkan sebagai upaya yang terbaik dalam mengarungi kehidupan, sebab tidak perlu keluar banyak energi, untuk memperoleh kondisi yang nyatanya akan sama saja.
Pada pemikiran diatas, hidup merupakan siksa, yang harus dilawan dengan diam, sampai pada kematian sebagai puncak capaian tertingginya. Sebuah pandangan yang mirip dengan ideologi eksistensi mistik timur, memandang hidup bukan sebagai anugerah tapi ujian yang harus dilewati dengan kesunyian batin. Hidup ini, hanya untuk mampir minum, sebelum pulang ke rumah abadi
Dengan diam, semesta tak dilawan tapi dilewati, karena kesadaran bahwa alam semesta berisi banyak sandungan, dipenuhi onak maupun duri, sehingga setiap langkah dapat timbulkan perih dan pedih yang ditutupi dengan senyum kepura puraan. Dengan begitu, diam menjadi sebentuk perlawanan paling bermartabat untuk menolak tonil kemunafikan.
Para sufi memaknai diam sebagai bentuk paling tinggi dari kesadaran, diam bukan hampa tetapi utuh dalam harmoni semesta, tidak bergejolak. Keutuhan oleh Carl Jung, seorang filsuf, dilihat sebagai area tak terhancurkan, lingkaran sihir, tempat berkumpulnya semua kepribadian yang terpisah untuk menjadi satu. Keutuhan adalah tempat penebusan, suci dan menyembuhkan.
Diam bukan menyerah melainkan mendengar rahasia hidup, yang berbeda walaupun terlihat sama. Ada yang makan karena lapar, ada yang tidak makan karena tidak ada yang dimakan, ada pula yang menahan lapar demi keyakinan ataupun kecantikan. Serupa tetapi tidak sama.
Dilain sisi, polarisasi keberagaman menyingkap paradoks, bahwa di samping diam, ada gerak, yang diikuti oleh gagal ataupun berhasil. Kedua bentuk ekspresi diri tersebut sah dan dilakukan tergantung pengalaman dan konsep kehidupan, karena yang diperlukan kehidupan tidak hanya keberhasilan akhir tetapi juga proses bahagia.
Bergerak sesuai rencana juga bukan sombong kejumawaan tapi latihan mengenali bahagianya penerimaan. Mencoba memicu empat zat kimia dalam otak, yaitu dopamin, serotonin, oksitosin serta endorfin, yang kemunculannya membuat manusia merasakan kehidupan lebih berwarna ceria.
Dopamin muncul jika ada penghargaan atau di saat merayakan kemenangan. Serotonin hadir di saat tubuh bergerak lembut, termasuk saat bermeditasi. Oksitosin, hormon cinta, tumbuh di pelukan tawa pertemanan ataupun elusan kasih anabul. Endorfin merupakan pereda luka alami, lahir pada saat tidur nyenyak, dari dada terbuka dipenuhi jujur, kebersamaan yang hangat, atau tenangnya aroma lembut minyak wangi.
Hidup pada akhirnya bukan pilihan diam atau bergerak sesuai rencana, tetapi keharusan yang tak dapat dihindari serta wajib diterima dengan hati terbuka dan dijalani dengan sepenuh sadar. Pada kondisi itu, berhasil yang hakiki bukankah hasil semata tapi perjalanan kedewasaan rasa. Sebuah ujung dari kepercayaan yang tumbuh dari kejujuran dan dipelihara oleh keberanian.
Ujung akhir dari pikiran subversif yang merasuk di benak, membawa pada simpulan pikir, bahwa kehidupan tidak harus sempurna sehingga tidak selayaknya hanya diam menunggu mati, tetapi boleh diam ataupun bergerak sesuai rencana, mengikuti proses kesadaran penerimaan hidup sebelum mati, yang diwarnai oleh kemampuan tertawa dengan damai.
Banjarmasin
27102025







