
GAJAH GANESHA (“SERI OPINI IBG DHARMA PUTRA”)
“Untuk bisa memahami dengan paripurna terkadang diperlukan adanya imajinasi instingtif dan bukan hanya sekedar berbekal pengetahuan teoritis maupun pengalaman emperis, apalagi untuk hal yang sangat besar yang tak berada dalam wilayah kerja serta profesi kita”.
(Oleh IBG Dharma Putra)
SCNEWS.ID-BANJARMASIN. Salah seorang sahabat di WA Group mengirim gambar gajah yang disentuh dan dikelilingi oleh enam manusia. Saya mempersepsikan gambar itu sebagai seekor gajah dengan enam orang buta, seperti cerita yang kisahnya sering saya dengar semasih kecil dulu. Disaat yang sama, di WA Group yang lain, saya membaca kiriman tulisan dari seorang sahabat, tentang lalat dan lebah dari aspek yang sangat berbeda, sangat asymetris, dan out of the box, sebuah pendekatan yang belum terpikirkan sehingga menjadi sangat inspiratif.
Dan kedua kiriman sahabat yang sangat saya kagumi itu, membuat saya teringat pada tulisan saya tentang gajah, yang ternyata tersimpan, sehingga saya bisa membacanya kembali dan selanjutnya memperbaiki agar menjadi tulisan yang lebih gampang dipahami. Untuk memandu jalannya cerita pada tulisan ini, saya menggunakan ingatkan masa kecil saya sewaktu masih duduk di taman kanak kanak, dan dikala mendapat giliran untuk berdeklamasi tentang gajah. Binatang yang besar, matanya sipit dan telingganya lebar.
Gajah bukanlah binatang yang gampang dipahami karena memang langka dan tak sering bisa ditemui. Pertemuan dengan gajah belakangan ini, terasakan agak lebih sering dibandingkan dengan dizaman saya masih kecil, tapi dapat dipastikan bahwa sebagian besar dari pertemuan itu merupakan pertemuan tanpa rasa melalui tayangan televisi.
Dan gajah menjadi tetap misterius bahkan misterinya sampai terbawa kedalam cerita tentang gajah dengan enam orang buta. Sampai sekarangpun keenam orang itu masih berdebat tentang gajah. Sebuah perdebatan tanpa henti karena adanya berbagai kesimpulan berbeda tentang gajah.
Ada yang menyimpulkan bahwa gajah seperti cacing karena cuma bersentuhan dengan belalainya. Ada yang menganggap gajah sebagai makhluk mirip daun, karena cuma menyentuh kupingnya. Ada banyak pendapat sesuai dengan persentuhan yang dilakukannya.
Sebuah kesimpulan salah, bukan hanya karena penyentuhnya adalah orang buta tapi juga karena besarnya ukuran tubuh gajah sehingga tak bisa tersentuh secara keseluruhan pada saat yang bersamaan. Dan pada kondisi seperti itu, ternyata ayah saya, mengidolakan gajah sebagai makhluk favoritnya. Gajah yang paling unik, karena hanya mempunyai satu taring sehingga diberi nama eka danta. Dan gajah itu di Indonesia, lebih populer dengan nama ganesha.
Taringnya satu, sebuah cacat dan ketidak sempurnaan dan cacat itu diterima dengan tersenyum oleh ayah saya karena baginya ketidak sempurnaan itu, menyebabkan sang idola tampak lebih duniawi sehingga mengingatkan para penggemarnya, bahwa yang sempurna cuma satu. Dan itu hanya milik yang maha pencipta. Saya menduga Gajah diidolakan oleh ayahanda karena kemisteriusannya itu, badannya besar, matanya sipit dan telinganya lebar. Tentunya juga karena belalainya yang panjang.
BADAN BESAR
Adalah simbolisasi kharakter pada gajah, baik kharakter moral maupun kharakter kinerja. Makhluk besar perlu memiliki keseimbangan kharakter untuk mempertahankan kebesarannya. Wibawa kemakhlukannya tercipta dari keseimbangan kharakter.
Secara moral, saya menduga gajah mempunyai kharakter yang rendah hati, karena tak ingin merajai walau terbukti paling kuat. Sedangkan secara kinerja, jelas terlihat bahwa gajah mempunyai kharakter pekerja keras. Dari badanya yang besar, tergambarkan kewibawaan gajah sebagai makhluk yang rendah hati, pekerja keras disertai dengan berbagai kombinasi kharakter baik di dalam dirinya.
Dunia akan damai jika yang besar menyayangi dan yang kecil menghormati.
TELINGA LEBAR
Adalah sebuah kemampuan mendengarkan, bukti dari sebuah eksistensi. Mendengarkan adalah olah tindak dari keberadaan, yang selanjutnya jadi pemahaman dan kecerdasan. Mendengarkan adalah kecerdasan di masa depan, karena hanya yang bisa mendengarlah yang bisa bertindak sempurna serta mendatangkan kekangenan yang sangat dalam.
Mendengarkan, mengolah diri untuk menjadi lebih peka dalam mengumpulkan bekal pemikiran kritis, kreatifitas, kemampuan komunikatif dan kepiawaian kolaboratif. Orang yang pintar adalah orang yang bisa mendengarkan serta pandai bertanya dan bukan orang yang sekedar pandai menjawab.
BELALAI PANJANG
Sebuah pertanda adanya kewaspadaan, sebuah ciri kehidupan yang berisikan ilmu pengetahuan. Kewaspadaan hanya timbul pada makhluk yang berpengetahuan. Tapi pengetahuan makhluk akan tenggelam dalam kegelapan yang dipenuhi dengan ketakutan. Kewaspadaan adalah kombinasi sempurna yang menunjukkan adanya ilmu pengetahuan yang membasuh semua bopeng ketakutan pada wajah setiap makhluk hidup.
Kewaspadaan pulalah menjadi pertanda terjadinya proses membaui sikon dengan baik dan selanjutnya melalukan antisipasi. Dan karenanya pada kewaspadaan tersimpan sunyi, sebuah wawasan yang amat luas, kemampuan literasi mulai dari literasi pustaka, teknologi, budaya, lingkungan dan keuangan.
MATA SIPIT
Sebuah pertanda pandangan jauh kedepan, visioner yang bukan sekedar mimpi tetapi telah bangun dari tidurnya dalam bentuk visium.
Visium bukanlah visi separo mimpi yang gampang dibayangkan tapi amat sulit diterangkan. Karena visium bukan hanya dipandang tapi jelas akan dicapai.
Visium membebaskan visi dari jebakan utopis, yang menyebabkan dikerjakan sepi sendiri, tanpa ada yang memahami, hingga tetap berupa mimpi dan berujung gagal dikenyataan diri.
Visium adalah visi yang terbayangkan nyata, masa depan yang terlihat jelas, bak musium yang bisa membuat nyata sejarah masa silam keberadaan makhluk hidup. Bayangan nyata yang terlihat oleh semua sehingga bisa ikut berperan menggapainya.
Begitulah analisis gotak, gatik dan gatuk saya tentang gajah. Yang mengalir spontan karena sebuah kiriman gambar, sebuah kiriman tulisan serta ingatan akan tokoh idola ayah saya. Saya tuliskan untuk sebuah tanda cinta bagi almarhum ayahanda, sekaligus menjadi sebuah pencerahan mandiri untuk diri saya.
Bahwa untuk bisa memahami dengan paripurna terkadang diperlukan imajinasi instingtif dan bukan hanya sekedar berbekal pengetahuan teoritis maupun pengalaman emperis, apalagi untuk hal yang sangat besar yang tak berada dalam wilayah kerja serta profesi kita.
Suatu tempat
04052021






