GAYA HIDUP “MISKIN”
“Gaya hidup miskin sesungguhnya adalah gaya hidup orang yang mampu mengendalikan diri ditengah-tengah keberlimpahan dalam bentuk apapun yang diperoleh dan dianugerahkan oleh Yang Maha Kuasa kepadanya”.
Oleh : Syaifudin
SCNEWS.ID-BANJARMASIN. Sahabat secangkir kopi seribu inspirasi, dengan menulis judul memakai narasi GAYA HIDUP MISKIN tentu dengan penuh kesadaran akan reaksi dan persepsi yang beragam diantara kita, “gaya hidup kok miskin” ?, namun ijinkan saya mempergunakan alur fikir yang insyaallah bisa diikuti oleh pemirsa (pembaca), sehingga dapat memahami apa yang saya maksudkan dengan narasi judul tersebut.
Prakondisi akan saya sampaikan terlebih dahulu bahwa label miskin umumnya digunakan untuk memberi “label” pada strata sosial dibidang ekonomi dengan parameter pendapatan per orang dan atau per rumah tangga, seperti yang dirilis oleh BPS sebagai berikut: “Garis Kemiskinan pada Maret 2021 tercatat sebesar Rp472.525,00/kapita/bulan dengan komposisi Garis Kemiskinan Makanan sebesar Rp349.474,00 (73,96 persen) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan sebesar Rp123.051,00 (26,04 persen). Pada Maret 2021, secara rata-rata rumah tangga miskin di Indonesiamemiliki 4,49 orang anggota rumah tangga. Dengan demikian, besarnya Garis Kemiskinan per rumah tangga miskin secara rata-rata adalah sebesar Rp2.121.637,00/rumah tangga miskin/bulan. (Sumber : www.bps.go.id). Lalu kemudian orang yang berpendapatan di atas itu dan pada batas tertentu disebut “midle class” (baca=kaya) dan “hight class”(baca=kaya) yang dalam istilah populer sekarang disebut “sultan”.
Istilah kemiskinan ini kemudian berkembang kepada berbagai bidang kehidupan, sehingga maknanya tidak lagi bersifat “denotatif” akan tetapi sudah menjadi makna “konotatif” yang umumnya menggambarkan suatu keadaan “kekurangan” sebagai lawan dari “keberlebihan” atau “keberlimpahan”. Seperti orang yang banyak ilmunya disebut “kaya ilmu” dengan label sosial “orang pintar”, sedangkan orang yang kurang ilmunya disebut “miskin ilmu” dengan label sosial “orang bodoh”. Orang yang banyak membaca buku disebut “kaya wawasan” sedangkan yang sedikit membaca buku disebut “miskin wawasan”, dan seterusnya. …..
Sahabat ! coba perhatikan dan renungkan, pada label sosial “miskin” atau “kaya” tersebut ternyata juga menciptakan suatu “tatanan” nilai yang secara relatif membentuk nilai-nilai tersendiri pada “cap” atau “label” miskin yang dijadikan standar perilaku mereka dalam kehidupan sehari-hari. Seperti bagi kita yang miskin harta, maka terdapat perilaku belanja yang sangat terbatas, barang yang dibelipun berupa kebutuhan yang pokok, tidak banyak memperhatikan kualitas apalagi brand, yang penting adalah fungsinya untuk memenuhi kebutuhan pokok tersebut. Artinya secara normal, kita yang miskin akan membuat dan mengikuti tatanan nilai yang bersifat menyesuaikan tingkat pendapatan dengan nilai dan kualitas barang yang dibeli.
Begitu pula dalam “nilai-nilai” memberi dan menerima, maka saat kita memberi kepada seseorang tentu nilainya didasarkan pada prosentasi pendapatan kita, seperti kalau pendapatan sebesar Rp 50.000,- perhari, maka jumlah ini akan kita keluarkan (belanjakan) untuk (a) kebutuhan pokok, (b) kebutuhan lainnya, sehingga kalau kita masih bisa memberi atau berderma Rp 5000,- saja maka jumlahnya mencapai 10% dari pendapatan kita tersebut. Oleh karena itu pula suatu saat kita mendapatkan rejeki uang sebesar Rp 100.000, saja dari seseorang, maka kita menganggapnya adalah jumlah yang sangat besar, sehingga kemudian kita kasihkan lagi kepada keluarga dalam jumlah yang besar pula prosentasinya.
Ironinya kehidupan kita sering bertutur, saat pendapatan kita kecil (katagore miskin), maka prosentasi berderma atau membantu orang lain adalah besar, namun saat pendapatan kita berlimpah, maka prosentasi berderma atau membantu orang ada kecenderungan semakin kecil, karena yang dilihat dan dipertimbangkan adalah jumlahnya, bukan prosentasnya lagi.
Tatanan nilai bagi kita yang miskin dalam menyeimbangkan antara pemasukan dan pengeluaran bersumber pada “akal atau fikiran” logis, sehingga saya menyebutnya sebagai “gaya keseimbangan”. Oleh karena itu gaya hidup orang miskin adalah “gaya keseimbangan”. Dari sinilah kemudian terjadi dinamisasi dan akselerasi pada sisi dua dimensi, yaitu dimensi materi yang konkret dan dimensi “rasa” yang abstrak.
Pada dimensi materi, maka dinamisasi dan akselarasi terjadi sesuai dengan proses jalannya kehidupan secara materi, yaitu pada tingkat tertentu terdapat kemungkinan penambahan dan pengurangan, yang juga diikuti oleh penambahan dan pengurangan “gaya kesimbangannya”. Artinya saat nilai pendapatan dan pengeluaran menjadi relatif dan ditambah lagi dengan semakin berkembangnya jenis-jenis kebutuhan lainnya saat tingkat pendapatan meningkat. Dan saya tegaskan pula bahwa gaya hidup miskin dalam akselari ini bukan kita membatasi dalam memetik rejeki, akan tetap justeru mendorong kita untuk menjadi “berkelimpahan” secara kuantitatif, sehingga akselari kebermanfaatannya juga semakin besar.
Pada dimensi “rasa” yang bersifat abstrak, terdapat nilai yang bersifat “kualititatif” yang disebut dengan kata “cukup”, sehingga derajat “cukup” ini juga bersifat dinamis, walapun demikian ia mempunyai karakter dasar yang bisa membedakan antara “kebutuhan” dengan “keinginan”. Dalam konteks inilah “gaya hidup” orang miskin yang sebutkan di atas, secara kualitatif adalah gaya hidup yang berkecukupan, bukan yang berkeinginan.
Gaya hidup “yang berkecukupan” tersebut sesungguhnya bersifat garis lurus dari suatu kondisi hidup yang “miskin”, sehingga kemudian ia pertahankan terus sampai pada kondisi yang sesungguhnya ada pada kondisi berkelimpahan. Saat gaya hidup berkecukupan ini sudah sampai pada tarap menahan keinginan karena berkemampuan, maka ia disebut orang sebagai “gaya hidup sederhana”.
Sayangnya pula saat berkelimpahan ilmu, wawasan, pengetahuan kita malah pelit untuk membaginya kepada sesama, dan ini berbanding terbalik saat kita belum banyak ilmu dan belum di “angap” apa-apa oleh masyarakat yang kalau diminta berbagi pengalaman, wawasan, pengetahun dan ilmu, kita akan berikan sebanyak yang kita mampu berikan.
Sahabat ! yang kita sebut “gaya hidup miskin”, atau “gaya hidup seimbang” atau “gaya hidup sederhana” ternyata memuat nilai-nilai spritual yang “dahsyat”, karena dengan gaya hidup seperti itu maka kita akan menjadi orang yang mudah bersyukur setiap mendapatkan apapun dan berapapun nilai yang kita capai atau dapatkan dalam hidup. Sebaliknya juga kita sangat mudah bersabar terhadap suatu kondisi yang dianggap orang sebagai masa “sulit”, karena pada dasarnya dengan bisa mencukupi kebutuhan dasar yang pokok saja kita bisa bertahan hidup. Dengan syukur dan sabar itulah kemudian kita menjadi IHKLAS DALAM MENJALANI SEGALA KONDISI APAPUN DALAM KEHIDUPAN. Dan nilai lebih lainnya dari gaya hidup miskin tersebut, kita menjadi pribadi yang suka menolong, berbagi dan berempati dalam kehidupan ini, sehingga kuantitas dan kualitas yang kita “dermakan” berbanding lurus peningkatan keberlimpahan hidup yang kita miliki.
Jadi gaya hidup miskin sesungguhnya adalah gaya hidup orang yang mampu mengendalikan diri ditengah-tengah keberlimpahan.
Salam Secangkir Kopi Seribu Inspirasi.