
GELAR
Oleh : IBG Dharma Putra
“Agar manusia tidak terjerumus dalam jebakan gelar palsu, langkah pertama yang seharusnya dikakukan adalah menanamkan kesadaran diri bahwa proses jauh lebih berharga dibandingkan hasil yang dipaksakan. Institusi pendidikan wajib menjaga martabat serta menegakkan standar akademik tanpa kompromi, menutup celah yang memungkinkan praktik jual beli gelar dan secara tegas menegakkan sanksi bagi pelaku maupun pemanfaat gelar palsu”
SCNEWS.ID-BANJARMASIN. Di dunia pendidikan, sebuah gelar selayaknya lahir dari semangat perjuangan, ketekunan dan penguasaan ilmu pengetahuan sehingga tidak hanya menjadi embel embel di depan atau di belakang nama tetapi tidak bermakna disertai kepalsuan. Gelar adalah puncak prestasi ilmiah, predikat untuk keahlian, kepintaran yang sejati, bahkan bukan sekedar untuk menyembunyikan kebodohan.
Gelar adalah pertanda kematangan proses dan dapat berarti bahwa saat proses diabaikan, dan gelar hanya menjadi hasil yang dikejar tanpa isi, maka yang tersisa hanyalah kehampaan yang dibungkus kegemerlapan semu. Dengan begitu, berarti gelar akademik adalah prestasi, didapat secara jujur hingga menjadi simbol perjalanan panjang yang berakar nilai integritas.
Gelar akademik seharusnya sekaligus menjadi sebuah pertanda kejujuran masih menjadi arah dan cahaya yang menuntun manusia agar tetap setia pada proses, tak tergoda oleh jalan pintas yang penuh kepalsuan. Dengan begitu gelar tak dipuja dan dikejar hanya demi mempermudah mencari nafkah, memenuhi syarat administratif untuk memperoleh pangkat, sesuai aturan yang dibuat pemerintah.
Di hadapan masyarakat, gelar yang hakiki itu, dapat berubah menjadi sangat pragmatis serta dapat menjelma menjadi lambang gengsi serta simbol derajat sosial karena dimimpikan dapat memberi rasa aman bagi mereka yang merasa rapuh identitasnya, seakan akan gelarnya akan mampu menaikkan harga diri, menutup celah keraguan masyarakat terhadap keberadaannya.
Dasar pemikiran konyol itu, membuat kekeliruan yang semakin dalam dan meraih gelar dijadikan jalan pintas untuk mengaktualisasikan diri, tonil kepalsuan paradoks yang bisa dipastikan akan berujung hilangnya makna kehidupan. Rendah diri tak pernah tertutupi oleh aktualisasi palsu karena keduanya yang hakiki, berposisi berjarak bahkan berseberangan.
Kepalsuan hanya melahirkan bayang bayang dengan kegelisahan yang mengintai. Nafkah yang didapat dengan topangan kertas ijasah tanpa ilmu akan timbulkan was was, rasa aman akan menjauh, kasih sayang kehilangan makna, harga diri yang tampak megah hanyalah ilusi fatamorgana dan aktualisasi dipusingkan sebab berputar putar di lingkaran kebohongan. Hirarki kebutuhan buntu tak terpenuhi, hidup menjadi tak berarti.
Hidup dalam kepalsuan berarti hidup dipenuhi ancaman disertai rasa ketakutan oleh adanya kemungkinan terbongkar, membuat tiap langkah terasa goyah, relasi sosial bertopeng, dan ujung akhir, hanyalah rasa hampa dalam hiruk pikuk pesta kehormatan palsu. Kebisingan yang tidak mungkin dinikmati, bahkan menjerumus dalam frustrasi berkepanjangan.
Ketika kebohongan akan kepalsuan dibiarkan berlipat ganda, ia menuntut kompensasi yang lebih besar, bohong yang semakin membesar, kegilaan yang makin dalam. Palsu itu, walaupun tampak berkilau di permukaan, tetapi membuat batin merasakan sunyi, terjepit rasa ketakutan, dikepung oleh ketidakpastian yang tak berujung dan akhirnya hanya tersedia derita, semakin menjauh dari bahagia.
Agar manusia tidak terjerumus dalam jebakan gelar palsu, langkah pertama yang seharusnya dikakukan adalah menanamkan kesadaran diri bahwa proses jauh lebih berharga dibandingkan hasil yang dipaksakan. Institusi pendidikan wajib menjaga martabat serta menegakkan standar akademik tanpa kompromi, menutup celah yang memungkinkan praktik jual beli gelar dan secara tegas menegakkan sanksi bagi pelaku maupun pemanfaat gelar palsu.
Jika terlanjur terjebak hendaknya berani kembali ke jalan yang benar, mengakui semua kekeliruan dan menanggalkan kepalsuan, diikuti menapaki ulang jalan panjang yang mungkin melelahkan tetapi penuh makna. Hanya dengan keberanian menghadapi kebenaran, gelar akan kembali menemukan arti substansinya sebagai tanda cendekia yang bermanfaat serta bukan sekadar lambang kosong yang menghantui pemiliknya.
Banjarmasin
04102025