HALO EFFECT: “Aura Positif” (SERI CATATAN TJIPTO SUMADI)

HALO EFFECT: “Aura Positif

“…untuk menjadi orang yang secara obyektif dapat dihargai dan dihormati, seseorang itu haruslah berpenampilan baik (bukan mewah), rapi (bukan harus baru), humoris (bukan sinis), menghibur (bukan mencibir), berkualitas (bukan culas), dan tentu santai (bukan membantai)”.

oleh Tjipto Sumadi*

SCNEWS.ID-JAKARTA. Kesan pertama begitu menggoda, selanjutnya terserah Anda. Begitulah kata sebuah tayangan penawaran produk, agar konsumen terkesan.

Terkadang menjadi pertanyaan bagi banyak orang, apakah penampilan itu penting? Bukankah seseorang tidak boleh hanya dinilai dari penampilannya semata? Don’t judge a book by its cover. Namun demikian, dalam hal memberikan penilaian, seseorang tidak akan mungkin dapat melepaskan diri dari subyektifitas. Sebab subyektifitas merupakan ekspresi dari persepsi awal seseorang yang dipengaruhi oleh fenomena yang dilihatnya. Sedangkan fenomena dapat terbentuk oleh pengaruh Halo pada diri seseorang.

Secara konsepsi kata Halo sering “tersamarkan” dengan kata Hello. Hello adalah kata sapaan yang memiliki makna hai, apa kabar?, atau salam. Sedangkan Halo dapat dimaknai sebagai lingkaran putih di atas kepala yang menaungi seseorang. Diilustrasikan dalam bentuk emogi seperti ini 😇. Dalam pengertian lain, Halo dapat disetarakan dengan Aura. Aura adalah pancaran energi yang ada dan mengelilingi makhluk hidup. Aura merupakan benda intangible (tak nyata) yang berbentuk seperti seberkas cahaya dengan warna halus yang mengelilingi makhluk hidup.

Dapat diilustrasikan sebuah fenomena seperti ini. Pada saat terjadi bencana alam, tentu banyak orang yang ingin memberikan bantuan kepada yang memerlukannya. Salah seorang yang ingin memberikan bantuan tersebut, menyewa 10 buah kendaraan bak terbuka (pick up) yang diisi penuh dengan mie instan, beras, dan keperluan mendesak lainnya yang diperuntukkan bagi para korban. Tentu, bagi orang lain yang melihatnya, fenomena ini mengesankan bahwa, seseorang itu sungguh dermawan, baik hati, dan sangat mulia. Padahal, boleh jadi seseorang itu sedang memberikan sumbangan dengan tujuan tertentu, yang tidak diketahui oleh orang lain. Kesan atau persepsi tentang “kebaikan” orang yang menyumbang itu, dikenal dengan istilah “Halo Effect”.

Jadi, Halo Effect dapat dimaknai sebagai bias kognitif yang muncul seketika terhadap suatu fenomena yang memberikan kesan awal secara positif. Jika tidak ada informasi lain yang dapat mengubah kesan pertama tersebut, maka kesan positif itu akan terus menjadi pandangan subyektif seseorang terhadap pelaku yang ada pada fenomena tersebut.

Dalam konteks ini, David Russell menyatakan bahwa pendapat atau penilaian seseorang terhadap orang lain, sesungguhnya bergantung pada banyak hal, terutama empat komponen. Empat komponen substansial dalam membentuk pandangan atau penilaian tersebut adalah, persepsi, gambaran, ingatan, dan konsep yang utuh terhadap sesuatu yang dinilai. Jika keempat komponen itu komprehensif dan terintegrasi, maka penilaian dapat dinyatakan obyektif. Sebaliknya, jika empat komponen penilaian tersebut ada yang tidak terpenuhi, maka penilaian akan menjadi subyektif.

Dalam perspektif religi, ada konsep yang diajarkan, “lihatlah (dengarlah) pada apa yang diucapkan, bukan pada siapa yang mengatakan(undzur ma qola wa la tandzur man qola). Jadi, dalam memberikan penilaian semata-mata tidak bergantung pada “penampilan” seseorang, akan tetapi lebih diorientasikan pada “substansi dan kualitas” dari ucapan dan perilaku orangnya.

Kalau begitu, maka untuk menjadi orang yang secara obyektif dapat dihargai dan dihormati, seseorang itu haruslah berpenampilan baik (bukan mewah), rapi (bukan harus baru), humoris (bukan sinis), menghibur (bukan mencibir), berkualitas (bukan culas), dan tentu santai (bukan membantai). Semua perilaku itu, perlu dilakukan dengan rasa nyaman bukan karena ingin menjadi idaman, akan tetapi untuk membangun kesan dan menunjukkan siapa diri Anda sesungguhnya. Sehingga Halo Effect tentang diri Anda tidak bias subyektif tetapi justru menjadi faktual obyektif.

Wallahu a’alam bishawab.

*) Mahasiswa Teladan Nasional 1987

*) Dosen Universitas Negeri Jakarta

Terbaru

spot_img

Related Stories

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini