HARI RAYA (SERI OPINI IBG DHARMA PUTRA)

HARI RAYA

“Hari raya adalah hari bahagia bagi semua manusia, bahkan bagi semua kehidupan nyata yang mengisi dunia”
Oleh : IBG Dharma Putra

SCNEWS.ID-BANJARMASIN. Melihat kumpulan anak bermain gembira, memakai baju baru, dengan bermacam makanan di tangan serta mulutnya, kantong pakaiannya dipenuhi mainan, bahkan uang dalam jumlah yang tidak seperti biasa, adalah pemandangan lumrah dan bernuansa bahagia disetiap hari besar tertentu. Perasaan mesra dan keharuan bernuansa nostalgia ke masa gembira berkumpul keluarga, terasa mengelus relung hati terdalam. Itulah cara anak anak menikmati hari raya sampai akhirnya menjadi dewasa dengan ingatan yang tetap bahagia tanpa perlu pernik pernik baju baru dan makanan berlebihan lagi. Hari raya akan sangat nyaman dinikmati dikesederhanaan diri , sambil menyaksikan kegembiraan para bocah dengan cara yang tetap sama.

Orang dewasa merayakan hari harinya, secara lebih mandiri dan tidak terlalu membutuhkan pengakuan orang lain. Mereka tidak merasa perlu untuk menuntut penghargaan terhadap hari mereka, karena penghargaan tidak perlu diminta, apalagi dituntut, karena akan datang sendiri, bahkan sudah ada didalam hidupnya jika kehidupannya itu berjalan baik dan benar. Meminta dihargai terkadang bisa terpeleset kedalam paradok membinggungkan, seolah berteriak menantang pemilik modal dan para kapitalis dengan tindakan mendukungnya. Bersorak riang gembira disaat perayaan hari tertentu dengan luapan kegempitaan, sering sering menjadi tanda ketidak sadaran kokektif akan adanya otak kapitalis bermulut populis.

Kapital diproduksi dari kegempitaan hari raya, melalui konsumsi berlebihan dibandingkan hari biasanya, bahkan dihari raya yang selayaknya Produksi kapital, tidak berlanjut, tak menyatu, bahkan melupakan pendistribusian kapital itu, bagi masyarakat, dapat berakibat melebarnya kesenjangan, yang pada akhirnya membuat masyarakat semakin jauh dari kebahagiaan yang didambakannya. Hari raya yang seperti itu, digempitakan dan kehilangan makna, akan sangat mudah disentuh, bahkan ditunggangi oleh kepentingan bisnis. Sehingga tidak lagi mengherankan jika kebutuhan bahan pokok akan meningkat di bulan ramadhan, atau ada banyak orang yang darang berramai ramai ke bali untuk menyaksikan hari nyepi.

Sampai saat itupun, mereka masih berteriak, entah karena alfa atau malah karena pesanan pengumpul kapital. Masyarakat yang terjebak dalam lingkaran setan kebodohan kemiskinan, memang paling gampang direkayasa, apalagi jika menggunakan simbol simbol suku, agama, ras dan antar golongan. Mereka bisa menjadi lupa akan hakekat kehidupan dan menikmati luapan emosi dari fanatisme pengelompokan yang sesat. Lebih memprihatinkan lagi, jika kealfaan itu, tidak diikuti dengan kesepakatan penyadaran moderasi secara sistimatik, terstruktur dan masif tetapi dibiarkan bahkan dipolitisasi, demi kepentingan jangka pendek untuk merebut kuasa. Masyarakat dijelmakan menjadi sekumpulan orang yang tidak hanya bodoh dan miskin tetapi juga selalu tertimpa kesialan. Menggeser situasi ini, kearah yang berbeda berseberangan, memerlukan manusia setengah dewa.

Menunggu manusia setengah dewa adalah bentuk lain dari ketidak mampuan diri untuk berubah menuju kondisi ideal. Kondisi yang hendak dituju bersama, tentunya penempatan hari, khususnya hari besar ditempatnya yang sebenar benarnya. Hakekat sebuah hari raya adalah momentum, yang wajib dimanfaatkan untuk sebuah proses, menjadi semakin baik dan bukan hanya untuk berpesta semata. Di hari raya, kesuksesan lahir dan batin, ditandai dan diperingati dalam suasana kegembiraan, bahkan bahagia. Suasana damai yang tidak kehilangan empatinya terhadap masyarakat lebih miskin. Hari raya berona kebersamaan, dengan toleransi yang sangat kental sehingga dipenuhi oleh romantisme kekeluargaan yang semakin akrab. Hari raya adalah kegembiraan bernuansa terpadunya religi dan spiritualitas, sehingga berpotensi menjelmakan manusia beruntung yaitu manusia semakin baik dalam kebenaran, yang hari ini lebih baik dari kemarin dan besok akan lebih baik dari hari ini.

Tidak salah, memunculkan ekspresi gembira untuk perasaan suka di hari raya, tetapi akan lebih baik, jika rasa yang telah terekspresikan, dilengkapi dengan empati untuk masyarakat, khususnya yang terdekat dan kebetulan tidak sedang berhari raya. Langkah cerdas didalam meramu rasa, ekspresi dan empati, membuat terjadinya komunikasi dan kolaborasi harmonis untuk menjaga keberagaman sebagai bangsa. Momentum berhari raya, dijadikan salah satu kesempatan untuk mempererat silaturahmi antar anak bangsa, sekaligus dijadikan arena pelatihan agar secara personal, semua anak bangsa, dapat menyatukan rasa beragama, rasa berbangsa dan kemanusiaan, dalam satu tarikan nafas saja.

Hari raya adalah hari bahagia bagi semua manusia, bahkan bagi semua kehidupan nyata yang mengisi dunia.

Banjarmasin
27082022

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini