HUKUM DAN PENEGAKAN HUKUM (BAGIAN 1)
Oleh:
Robensjah Sjachran
SCNEWS.ID-BANJARMASIN. “Hukum” adalah salah satu penemuan masyarakat manusia yang canggih, kompleks, dan rumit. Hukum telah merasuk dan meresap dalam segala aspek kehidupan manusia, mulai dari kelahiran anak manusia, besar dan dibesarkan orang tua, kiprahnya dalam segala aktivitas, baik aspek lahir maupun batin, kawin-mawin, beranak pinak hingga ia meninggal dunia, semuanya tak luput dari pantauan dan campur tangan hukum. Hukum telah mengatur hampir seluruh aspek kehidupan kita. Saat sang anak lahir, siapa yang melahirkan, status anak, hubungan yang timbul antara anak dan orang tua, segala aktivitas kehidupannya, termasuk perkawinan, kematian hingga kewarisannya pun semuanya dijangkau dan dilingkupi oleh hukum. Demikian pula hubungan warga masyarakat dengan badan hukum publik terkait hak dan kewajibannya kepada negara, termasuk hubungannya dengan badan hukum privat, baik sebagai pendiri, pengurus, atau pemegang saham dalam suatu badan hukum, selaku Direksi atau anggota Dewan Komisaris, berutang-piutang dengan korporasi, semuanya ditata dan diurusi oleh hukum.
Sayangnya, hukum itu tidak kasat mata, oleh karenanya tidak mungkin orang dapat mengenali hukum dengan indra, sistem fisiologisnya. Hukum bersifat abstrak, karena ia berasal dari sistem konseptual atau sekumpulan pikiran yang kemudian timbul terhadap suatu terminologi ketika sesuatu diberi nama atau pengertian. Karena hukum berasal dari konsep atau gagasan yang merupakan proses mental, maka hukum hanya dapat ditangkap dengan akal yang merupakan bagian dari jiwa (Sanskerta; jiva = benih kehidupan) atau roh yang bersifat immaterial. Hingga kini ratusan pendapat ahli yang mengartikan hukum, dan sudah dapat dipastikan akan terus bertambah sesuai dengan dinamika perkembangan masyarakat. Hal mana seiring pandangan filsuf Jerman Immanuel Kant (1724- 1804): “Noch suche die Juristen eine definition zu ihrem begriffe von recht” (para ahli hukum masih mencari definisi tentang hukum) berbagai pendapat itu tidak akan memuaskan oleh karena tidak ada konsep yang tunggal tentang apa hukum itu. Mochtar Kusumaatmadja memandang hukum sebagai seperangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, dan mencakup lembaga dan proses yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam kenyataan. Hukum sebagai sebuah konsep yang tidak tunggal, oleh mahaguru Soetandyo Wignjosoebroto dipahami bahwa hukum itu terdiri dari tiga (3) konsep, yaitu 1) hukum sebagai asas moralitas; 2) hukum sebagai kaidah positif yang berlaku pada waktu dan tempat tertentu; dan 3) hukum sebagai institusi yang riil dan fungsional dalam hidup bermasyarakat.
Hukum dipahami oleh John Bruggink sebagai “sistem konseptual kaidah-kaidah”, yang olehnya disebut “sistem” karena berkenaan dengan “suatu keseluruhan yang saling berkaitan”, dan sebagai “sistem konseptual” karena hukum adalah gambaran yang merupakan bagian dari rohani manusia. Lebih jauh dikatakannya pula hukum sebagai sistem konseptual itu dapat dibuat tampak secara inderawi (organoleptic) karena menggunakan sarana pernyataan-pernyataan bahasa (language expression; taaluitingen). Dengan demikian, sebenarnya sistem konseptual kaidah hukum itu tidak lain adalah “kesadaran hukum” manusia (human legal awareness). Apa yang dikatakan Bruggink itu tidak lain menunjukkan kepada kita betapa pentingnya peran “bahasa”, yang tanpanya, tak mungkin kita memahaminya. Pada bagian ini tampak hubungan atau keterkaitan antara hukum, pikiran, dan bahasa. Akan tetapi, bahasa di sini “hanya” berfungsi memaparkan sistem konseptual kaidah-kaidah itu, bukan menciptakannya, karena penciptaan sistem konseptual menjadi ranah kehidupan kejiwaan kita. Bahasa hanya me”lahiriah”kan (eksplisit; veruiterlijkt) atau mengekternalisasi ke dalam pernyataan-pernyatan bahasa berupa aturan atau keputusan-keputusan yang dipositifkan oleh otoritas yang kompeten. Mengutip apa yang dikatakan Paul Scholten, kesadaran hukum adalah kesadaran yang ada pada setiap manusia tentang apa hukum itu atau apa seharusnya hukum itu, suatu kategori tertentu dari hidup kejiwaan kita dengan mana kita membedakan antara hukum (recht) dan tidak hukum (onrecht), antara yang seyogyanya dilakukan dan tidak seyogyanya dilakukan. Mahaguru yang lain, Sudikno Mertokusumo, menjelaskan bahwa “kesadaran hukum” pada hakekatnya bukanlah kesadaran akan hukum, tetapi terutama adalah kesadaran akan adanya atau terjadinya “hukum” atau “tidak hukum”. Hukum pada hakikatnya adalah produk kebudayaan, dengan demikian kesadaran hukum sebagai bagian dari kebudayaan merupakan struktur normatif yang oleh Ralph Linton disebut sebagai “design for living” atau “blueprint for behavior” yang memberikan pedoman-pedoman perilaku, termasuk pedoman tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan.
Akhir-akhir ini kita dibanjiri berita, baik melalui media mainstream maupun media sosial online, tentang pelanggaran hukum. Maraknya pencurian dengan kekerasan seperti penjambretan, pembegalan, perampokan, demikian juga pemerkosaan, pelecehan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, perdagangan manusia, tidak hanya menyangkut kuantitas, tapi sudah kepada kualitas karena kejahatan yang tergolong dilakukan oleh orang-orang dalam kelas sosial terbawah (blue collar crime) dilakukan dengan kejam dan tak berperi kemanusiaan. Namun demikian, berita tentang kejahatan yang pelakunya tergolong orang-orang dalam kelas sosial yang tinggi (white collar crime) tak kalah gencarnya, malah intensitasnya terasa lebih masif. Penyuapan, jual beli jabatan, korupsi, jual beli perkara, pencucian uang, penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan sudah seperti berita yang menemani kita minum kopi di pagi atau sore hari. Tidak jarang orang yang diharapkan sebagai role model dan terdepan dalam melaksanakan penegakan hukum, malah pelanggar hukum. Dulu profesi yang dianggap sebagai “wakil tuhan” di muka bumi, ternyata sebagian orang kini menilai tak mulia lagi karena dikotori oleh sejumlah oknum. Ini semua diduga karena kesadaran hukum telah amat sangat merosot. Maka, kini ungkapan rasa kecewa warga masyarakat seperti “tumpul ke atas, tajam ke bawah”, “gara-gara lapor (kepada polisi) hilang ayam, eh setelah lapor malah kambingnya juga ikut hilang”, “keadilan jadi barang sukar, ketika hukum hanya tegak kepada yang bayar”, “keadilan bukan terletak dalam bunyi undang-undang, melainkan dalam hati nurani hakim yang melaksanakannya”, menjadi mengemuka. Semua itu terletak kepada persoalan inti hukum, yaitu “kesadaran hukum” dan “penegakan hukum”, yang keduanya dianggap lemah dan atau merosot. (Bersambung…) BEN