IDENTITAS
Entah sejak kapan, identitas disederhanakan dalam bentuk nama. Deretan kata diresmikan secara sipil oleh pemerintah. Dan jika sudah berada dalam lingkaran pergaulan luas, maka hanya dengan melihat identitas ( nama ) orang akan bisa menebak latar belakang suku, ras, agama dan antar golongan.
Oleh : IBG Dharma Putra
SCNEWS.ID-BANJARMASIN. Identitas secara luas dapat dikatakan sebagai pembeda makhluk ciptaan Tuhan, secara lebih khusus, bagi manusia merupakan refleksi diri atau cerminan diri, mengenai asal keluarga, umurnya, jenis kelamin, budaya, etnis serta aspek lain dari proses sosialisasi.
Ayah teman dekat saya, seorang peternak sapi, turun temurun, sejak kecil sudah bergaul dengan ribuan sapi. Beliau bisa membedakan sapi miliknya dengan sapi milik peternak lain, hanya dengan melihat wajah sapi. Menurut beliau, seperti halnya manusia, wajah seekor sapi berbeda dengan wajah sapi lainnya. Perbedaan yang mustahil terlihat oleh mata saya.
Identitas bersifat lahiriah karena menunjukkan keberadaan makhluk, dari aspek lahiriah dan bukan rohaniah. Demikian juga halnya untuk manusia, mungkin karena badan bisa dilihat dan karena jiwa tidak jelas terlihat. Yang terlihat hidup, bernafas, makan, bicara dan berjalan adalah badan manusia. Adanya jiwa baru disadari setelah hidup berakhir, bahwa mati menjemput jika kehilangan jiwa.
Entah sejak kapan, identitas disederhanakan dalam bentuk nama. Deretan kata diresmikan secara sipil oleh pemerintah. Dan jika sudah berada dalam lingkaran pergaulan luas, maka hanya dengan melihat identitas ( nama ) orang akan bisa menebak latar belakang suku, ras, agama dan antar golongan.
Sewaktu sekolah dulu, di Sekolah Menengah Pertama, saya mempunyai dua pasang teman bernama sama, dua sama sama bernama Kartini dan dua lainnya sama sama bernama Badra. Untuk memudahkan sosialisasi maka diputuskan berdasarlan kesepakatan sekolah, mereka bernama Kartini A dan Kartini B serta Badra A dan Badra B.
Bukan tidak mungkin akan disepakati berbeda tergantung dari situasi dan budaya setempat, sehingga tak jarang kita dengar nama nama aneh memasuki telingan kita, Basran Kulibi, Pasek Juling, Ucok Bawel, Misnah Montok, Kurdi Mandul dan yang lain.
Semakin jelas bahwa identitas adalah persepsi dan bukan kenyataan, selain mengambarkan badan yang tidak bersama jiwanya, tetapi juga karena merupakan hanya sekedar nama yang merupakan kesepakan saja. Diadakan untuk memudahkan pengaturan pergaulan sosial dalam hidup manusia.
Sebagai gambaran identitas, nama menjadi sangat penting bagi manusia, bahkan ada pepatah yang berbunyi gajah mati tinggalkan gading, harimau tinggalkan belang, manusia tinggalkan nama. Saking pentingnya, dalam nasehat sering diminta untuk menjaga nama.
Nama itu bisa dalam bentuk doa orang tua, bisa juga merupakan peristiwa istimewa yang terjadi sewaktu kelahiran atau keinginan orang tua untuk anaknya. Berbagai aspek kehidupan bisa disematkan dalam nama itu. Ketut Morning dilahirkan di pagi hari, Pradnya Paramita didoakan orang tuanya agar cantik lahir batin, Nonong karena jidatnya menonjol saking lebarnya, sebagai tanda amat cerdas, Guruh, Mega ataupun Guntur karena lahirnya menjelang dan disaat hujan lebat dengan halilintar yang menyambar dengan suara nyaring.
Pada nama sering ditambahkan gelar yang didapat melalui sekolah maupun proses profesional lain. Dan orang rela membeli mahal untuk mendapatkan gelar itu. Semakin tinggi, semakin cepat, akan semakin mahal. Hal ini menjadi bukti , baik secara langsung atau tidak langsung, bahwa sebagian besar orang, dihargai karena kaya walaupun masih terdapat sedikit orang yang mampu mendapat pengakuan dari kompetensinya.
Sehingga menjadi biasa, dalam sebuah nama terdapat lebih dari satu aspek sosial budaya dan mungkin akan agak rumit jika aspek tersebut barsifat paradoksal ataupun sangat berbeda. Situasi uang umumnya terjadi pada seseorang, yang berada ataupun memasuki lingkungan baru dengan nilai dan pandangan berbeda dari nilai dan budaya sebelumnya.
Untuk yang mengalaminya, disarankan sudah mempersiapkan kebebalan mental, karena semua pertanyaan serta perbenturan akibat dua budaya berbeda,, yang terbaca dalam namanya, harus dihadapi dengan kebebalan khusus. Jika tidak begitu, sebuah potensi krisis akan benar benar menjelma menjadi kegilaan.
Kebebalan mental diawali kecerdasan dalam mengamati dengan cermat terhadap segala kemungkinan yang bisa terjadi karena kondisi multi budaya tersebut dan cara mengatasinya agar bisa selamat dunia akhirat.
Yang tidak bebal akan memilih bersembunyi yaitu menyembunyikan identitas pertamanya jika berhadapan dengan orang yang punya identas sama dengan identitas keduanya dan sebaliknya, akan menyembunyikan identitas keduanya jika sedang berdekatan dengan orang orang yang punya identitas sama dengan identitas pertamanya.
Jiwanya terombang ambing karena ingin tidak ingin terlihat buruk sehingga semua orang bisa menyukainya. Menjelma jadi sesosok makhluk selalu menyenangkan orang lain tanpa peduli akan kesenangan dan kebahagiaannya.
Berujung pada sedih dalam sepinya. Menjadi sedih sendirian, dilautan orang orang bahagia. Penyikapan hidup secara bodoh serta konyol, telah dengan sebenar benarnya dilakukannya.
Untuk menghindarkan kondisi akhir yang amat menyedihkan itu, mental yang bebal dan tidak terlalu peduli kepada persepsi yang dibuat orang lain serta disematkan padanya sangat diperlukan.
Dengan kebebalan itu, dia akan bisa bersikap serta bertindak secara jujur dalam mengikuti kata hatinya. Dan disaat yang sama, berani menanggung risiko dari kejujurannya itu. Dicap sebagai anjingpun akan diterimanya dan dia akan menjadi anjing yang tetap berlalu dalam gonggongan para khafilah.
Dia tak berubah mengikuti kesenangan orang selain untuk melakukan kata hati. Tampillah sesuai kesiapan diri, dalam proses menuju pelaksanaan kewajiban sebagai manusia dan bukan sekedar untuk mencapai keinginan tertentu semata.
Dan kewajiban manusia adalah bersosialisasi, bersahabat, bekerja sama untuk kebaikan bersama. Dengan begitu tidak diperlukan paradok dengan menjelekkan yang lama dan memuji yang baru, karena dia adalah sebuah proses yang berubah semakin baik.
Dia tidak seperti cemooh pepatah, melupakan kawan lama karena mendapat kawan baru. Dia berkawan dengan yang lama dan yang baru, sehingga ketiganya bisa berdialog produktif kritis, yang baru dan yang lama bisa saling memahami.
Risiko dianggap berkhianat pada kondisi lama dan tidak dipercaya mempunyai totalitas pada yang baru, pasti dialami dengan rasa tidak nyaman yang menyertainya. Semua rasa,wajib dinikmati karena perbenturan dialogis yang ingin dibuatnya, akan membuat kemanfaatan yang akan menutupi semua rasa tak nyaman itu.
Mungkin kondisi aman dan nyaman dari dialog antar budaya, harus ditemukan setelah dilalui ketidak nyamanan rasa pada dirinya. Segala curiga, caci serta maki yang diterima karena pilihan menampilkan proses secara jujur, akan tertutup oleh akhir bahagia. Setidaknya dia bisa menganggap dirinya memilih menjadi martir kesepahaman.
Tentunya, semua yang ditulis cuma saran, jika dipilih yang lain, tak akan membuat kecewa karena pilihan bersifat personal dan akibat dari pilihan ditanggung masing masing.
Banjarmasin,
02102021