“INDONESIA DALAM KEGELAPAN? KRITIK MAHASISWA DAN REFLEKSI HOBBESIAN” (SERI CATATAN HUKUM ROBWNSJAH SJACHRAN)

“INDONESIA DALAM KEGELAPAN? KRITIK MAHASISWA DAN REFLEKSI HOBBESIAN”
Oleh: Robensjah Sjachran
SCNEWS.ID-BANJARMASIN. Dalam catatan kita, unjuk rasa mahasiswa di Indonesia kerap menjadi barometer kondisi sosial-politik. Salah satu slogan dalam unjuk rasa yang muncul baru-baru ini adalah “Indonesia Gelap”, sebuah ekspresi ketidakpuasan terhadap keadaan bangsa. Slogan “Indonesia Gelap” digunakan untuk menyimbolkan ketakutan dan kekhawatiran atas beragam kebijakan penguasa yang gelap dan tidak transparan, sekaligus simbol kontradiksi cita-cita pemerintah terhadap generasi muda. Slogan ini sontak mendapat tanggapan dari para pejabat, termasuk Luhut Binsar Pandjaitan yang dengan tegas menyatakan: “Yang gelap Kau, bukan Indonesia.”
Pernyataan Ketua Dewan Ekonomi Nasional itu merupakan bentuk serangan balik terhadap kritik mahasiswa. Alih-alih merespons substansi kritik dengan data atau argumentasi yang lebih konstruktif, Luhut telah membalikkan tuduhan kepada mahasiswa. Mantan Menko  Bidang Kemaritiman & Investasi Indonesia era Presiden Joko Widodo itu menggunakan strategi “Delegitimasi Kritik” karena menggeser fokus dari isi kritik ke kredibilitas pengkritik,  sehingga kita dapat menangkap pesan implisit: “Bukan negara yang bermasalah, tetapi cara pandang mahasiswa yang salah.” Wah… tentu itu nggak fair !  Dalam politik, ini adalah taktik yang sering digunakan untuk mempertahankan dominasi narasi resmi. Pejabat yang merasa negaranya dikritik keras cenderung menolak kritik tersebut dengan menyalahkan pihak yang menyuarakan ketidakpuasan.
Namun, di balik perdebatan antara mahasiswa dan pejabat, slogan ini mengundang refleksi lebih dalam. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan “kegelapan” ? Apakah ini sekadar sindiran terhadap kondisi ekonomi dan politik, ataukah ada makna yang lebih sebagaimana yang dikemukakan oleh Thomas Hobbes dalam bukunya Leviathan, dengan konsep “The Kingdom of Darkness” ?  
Thomas Hobbes (1588 – 1679) adalah seorang filsuf politik dan pelopor teori kontrak sosial asal Inggris yang mengenyam pendidikan di Universitas Oxford. Hobbes hidup di masa penuh gejolak, termasuk Perang Saudara Inggris (1642–1651), yang sangat mempengaruhi pandangannya tentang perlunya negara yang kuat untuk menghindari kekacauan (anarki). Dalam Leviathan (1651), Thomas Hobbes memperkenalkan konsep “The Kingdom of Darkness” atau Kerajaan Kegelapan sebagai metafora untuk ketidaktahuan dan penyalahgunaan kekuasaan, terutama oleh kelompok yang mengontrol informasi. Berbeda dengan makna religius yang sering dikaitkan dengan neraka atau dunia roh, Hobbes mengartikan “kegelapan” sebagai ketidaktahuan, kebingungan intelektual, dan penyalahgunaan agama serta politik untuk menipu masyarakat.
Menurut Hobbes, kegelapan ini terjadi ketika: Masyarakat dikendalikan oleh ketakutan dan mitos – Ketakutan yang diciptakan oleh otoritas untuk mempertahankan kekuasaan; Informasi yang dimanipulasi oleh elit penguasa – Ketika kebenaran diselewengkan demi kepentingan politik tertentu; dan Lembaga-lembaga sosial gagal mencerdaskan rakyat – Ketika pendidikan dan kebebasan berpikir ditekan agar masyarakat tetap pasif.
Jika ditarik ke konteks Indonesia, slogan “Indonesia Gelap” yang diteriakkan oleh mahasiswa mencerminkan kritik terhadap kondisi yang serupa dengan Kingdom of Darkness-nya Hobbes: kebijakan ekonomi yang dirasa timpang, ketidakjelasan transparansi pemerintah, serta dominasi narasi elit yang berusaha meredam kritik.
Tanggapan Luhut Binsar Pandjaitan terhadap slogan mahasiswa mencerminkan bagaimana pejabat publik sering kali merespons kritik dengan membalikkan tuduhan kepada pengkritik. Ketika mahasiswa menyatakan bahwa “Indonesia Gelap”, mereka mengacu pada krisis kepercayaan terhadap negara, ketidaktransparanan kebijakan, dan ketidakadilan sosial. Namun, dengan respons “Yang Gelap Kau”, ada upaya untuk membalikkan narasi bahwa masalahnya bukan pada negara, melainkan pada mahasiswa itu sendiri yang dianggap tidak memahami realitas atau terlalu pesimis. Jika kita kembali ke pemikiran Hobbes, ini mencerminkan strategi klasik dalam Kingdom of Darkness: menyalahkan pembawa pesan alih-alih mengatasi masalah yang dikritik. Dalam sejarah, kritik terhadap penguasa seringkali direspons dengan delegitimasi pengkritiknya.
Apakah Indonesia benar-benar “gelap”? Dalam konteks Hobbesian, kegelapan bukan sekadar soal ekonomi atau politik, tetapi lebih kepada cara kekuasaan bekerja dalam menciptakan dan mengendalikan narasi publik. Beberapa bentuk Kingdom of Darkness yang bisa kita lihat dalam konteks Indonesia meliputi: Narasi Resmi vs. Realitas Sosial: Pemerintah sering kali menyampaikan optimisme ekonomi, sementara rakyat di lapangan menghadapi realitas yang berbeda. Selain itu, data statistik bisa digunakan untuk membangun kesan kemajuan, tetapi pengalaman sehari-hari masyarakat sering kali bertolak belakang dengan angka-angka tersebut. Reaksi Terhadap Kritik: Kritik dari mahasiswa, akademisi, atau aktivis sering kali dibalas dengan narasi bahwa mereka tidak memahami situasi yang sebenarnya. Ini serupa dengan konsep Kingdom of Darkness di mana pemegang kekuasaan mencoba mengontrol pemahaman masyarakat tentang kebenaran. Penyalahgunaan Informasi: Jika dalam Leviathan, gereja memainkan peran dalam menyebarkan kebingungan, maka di era modern, media dan propaganda politik bisa menjadi instrumen serupa untuk menciptakan versi kebenaran yang menguntungkan pihak tertentu.
Jadi, siapa yang sebenarnya gelap ? Kritik mahasiswa dengan slogan “Indonesia Gelap” adalah refleksi atas kekecewaan terhadap kondisi sosial-politik. Jika melihatnya dari perspektif Hobbes, kegelapan yang mereka maksud bukanlah kegelapan literal, tetapi kegelapan akibat dominasi narasi dan kebingungan intelektual yang diciptakan oleh sistem. Sebaliknya, tanggapan pejabat dengan “Kau yang gelap” justru memperlihatkan bagaimana kritik direspons dengan cara yang memperpanjang Kingdom of Darkness: bukan dengan klarifikasi atau perbaikan kebijakan, tetapi dengan menyalahkan pengkritik. Dalam kondisi ini, pertanyaan yang tersisa adalah: Apakah mahasiswa yang salah memahami situasi, atau justru mereka yang melihat kegelapan yang ingin disembunyikan? Jika kita belajar dari Hobbes, maka mungkin, yang benar-benar gelap adalah mereka yang menolak untuk melihat realitas dan menutupi terang kebenaran dengan kabut narasi, karena kritik terhadap penguasa sering kali dianggap sebagai ancaman terhadap stabilitas.
Sejarah mencatat bahwa ada masa ketika kekuasaan didominasi oleh praktik manipulatif yang menutupi kebenaran demi kepentingan segelintir elite. Salah satu contohnya adalah Saeculum Obscurum (Sekulum Obscurum atau Abad Kegelapan Kepausan, 904–964 M), sebuah periode di mana Gereja Katolik mengalami korupsi besar-besaran, diwarnai oleh campur tangan keluarga aristokrat Roma, praktik nepotisme, dan skandal politik. Kepausan, yang seharusnya menjadi pilar moralitas dan kebijaksanaan, justru menjadi alat kepentingan dinasti-dinasti tertentu. Dalam konteks Hobbesian, kondisi ini mirip dengan “Kingdom of Darkness”, di mana institusi yang seharusnya membawa pencerahan justru menciptakan kegelapan dengan menutupi kebenaran dan mempertahankan kekuasaan melalui kontrol dogmatis.
Fenomena yang terjadi dalam Saeculum Obscurum (Zaman Kegelapan) ini memiliki kesamaan dengan kritik mahasiswa terhadap “Indonesia Gelap”. Mahasiswa berargumen bahwa kegelapan yang mereka maksud bukan hanya masalah ekonomi atau politik, tetapi juga tentang bagaimana informasi dimanipulasi, kritik dibungkam, dan kekuasaan dipertahankan dengan mengontrol narasi—seperti yang terjadi dalam era kepausan gelap di Eropa. Jika Saeculum Obscurum menunjukkan bagaimana gereja mengalami korupsi moral dan politik, maka kritik mahasiswa saat ini menyoroti bagaimana negara, yang seharusnya menjadi pelindung rakyat, justru dikritik karena kurangnya transparansi, ketidakadilan ekonomi, dan respons represif terhadap oposisi. Dalam perspektif Hobbes, ketika penguasa lebih sibuk mempertahankan narasinya daripada menangani ketidakpuasan rakyat, maka yang sesungguhnya terjadi bukanlah pencerahan, melainkan kegelapan yang dikemas dalam retorika stabilitas. Dari paparan fakta sejarah yang diuraikan, “kegelapan” dalam politik bukanlah fenomena baru, melainkan pola berulang dalam sejarah kekuasaan. Ben

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini