MASA JABATAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN
HASIL PEMILU TAHUN 2020
Oleh :
Dr.H.Syaifudin.,SH.,MH.
Pengantar
Terdapat tiga putusan Mahkamah Konstitusi terhadap gugatan yang terkait dengan Gugatan Pengujian Undang Undang (PUU) terhadap Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur Bupati dan Walikota Menjadi Undang_Undang, yaitu :
- Putusan Perkara Nomor : 62/PUU-XXI/2023
- Putusan Perkara Nomor : 143/PUU-XXI/2023
- Putusan Perkara Nomor : 27/PUU-XXI/2024
Dari tiga putusan ini menjadi perhatian kami dan kolega untuk membahas dan mendiskusikannya terhada kondisi objektif masa jabatan Gubernur Kalimantan Selatan, diantara kolega tersebut dari akademisi hukum Dr.Muhammad Effendy, SH,MH., dan Prof. Ichsan Anwary, SH.,MH., dari advokat Rivaldi, SH, MH., dan Rekan dan dari Pengamat Pemerintahan Drs. Apriansyah, M.Si.
Politik Hukum Pemilihan Umum Kepala Daerah
Sebagaimana diketahui dengan merevisi Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, maka dilaksanakan Pemilukada pada tahun 2004, tahun 2009 dan tahun 2014.
Dari tiga kali pelaksanaan Pemilukada tersebut ditemukan adanya keadaan atau fakta sebagai berikut :
- Terdapat Penyelenggaraan Pemilukada di berbagai daerah Tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota terjadi secara beruntun dalam jeda waktu yang relative singkat, sehingga dapat mengganggu penyelenggaraan pemerintahan secara nasional;
- Masyarakat sebagai pemilih telah disibukan oleh kegiatan Pemilukada dengan berbagai tahapannya;
- Terdapat adanya jadwal Pemilukada yang berdekatan dan/atau bahkan bersamaan dengan Pemilu Nasional (Pileg dan Pilpres), sehingga terjadi adanya penjadwalan ulang;
Dengan adanya keadaan atau kondisi-kondisi tersebut, maka pelaksanaan Pemilukada diangga tidak kondusif, sehingga memunculkan adanya keinginan untuk melakukan penataan ulang penyelenggaraan Pemilukada tersebut. Dari sinilah kemudian muncul gagasan membuat desain Pemilu dalam dua kegiatan, yaitu Pemilu Nasional untuk Pemilihan Legislatif (PILEG) dan Pemilihan Presiden (PILPRES) dan Pemilu Nasional yang berbasis Lokal untuk pemilihan Kepala Daerah (PEMILUKADA).
Desain Pemilukada Serentak
Desain Pemilukada secara serentak nasional kemudian ditentukan dan dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Umum Kepala Daerah. Dalam desain ini format Pemilukada dilakukan secara bergelombang dengan mempertimbangkan masa berakhirnya periodesasi Kepala Daerah yang saling berdekatan untuk disatukan pelaksanaannya, dan bagi Kepala Daerah yang habis masa jabatannya tapi belum terpilih Kepala Daerah baru, jabatannya diisi dengan menunjuk Pejabat Kepala Daerah. Adapun format desainnya dibagi dalam berbagai gelombang, yaitu:
- Gelombang I untuk periode Tahun 2015 s/d 2020
- Gelombang II untuk periode Tahun 2017 s/d 2022
- Gelombang III untuk periode Tahun 2018 s/d 2023
- Gelombang IV untuk periode Tahun 2020 s/d 2024.
Korelasi Gelombang atau Periodesasi dengan Masa Jabatan Kepala Daerah
Pasal 60 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, masa jabatan kepala daerah adalah selama 5 (lima) tahun, terhitung sejak pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.
Masa jabatan 5 tahun ini kalau dipadankan dengan gelombang periode Pemilukada tersebut, maka untuk gelombang I dan Gelombang II tidak mengalami permasalahan, karena masa jabatan Kepala Daerah telah mencapai masa 5 tahun, namun saat dipadankan dengan gelombang III muncul permasalahan, karena fakta hukum menunjukan adanya Pelantikan yang berbeda pada setiap masing-masing Kepala Daerah, sehingga masa akhir jabatan Desember tahun 2023 yang diatur dalam pasal 201 ayat (5) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 belum terpenuhi 5 tahun.
Dari kondisi inilah beberapa Kepala Daerah yang terdiri dari Wakil Gubernur Jawa Timur, Gubernur Maluku, Wakil Walikota Bogor, Walikota Gorontalo, Walikota Padang, Walikota Tarakan mengajukan PUU(Pengujian Undang-Undang) ke Mahkamah Konstitusi dalam perkara terdaftar Nomor 143/PUU-XXI/2023, yang kemudian diputuskan oleh MK sebagai berikut :
“Mahkamah menyatakan mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian. Mahkamah juga menyatakan Pasal 201 ayat (5) Pilkada yang semula menyatakan, “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023”, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan dan pelantikan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023 dan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan Tahun 2018 yang pelantikannya dilakukan tahun 2019 memegang jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan sepanjang tidak melewati 1 (satu) bulan sebelum diselenggarakannya pemungutan suara serentak secara nasional tahun 2024”.
Dari Putusan ini MK telah memberikan jalan keluar yang membuat terpenuhinya masa Jabatan selama 5 tahun bagi Kepala Daerah yang melaksanakan Pemilukada Gelombang III ini, sehingga hak konstitusional Kepala Daerah hasil Pemilukada tahun 2018 menjadi terpenuhi.
Bagaimana pemadanan masa jabatan 5 tahun ini dengan pelaksanaan Pemilukada Tahun 2020 ? terhadap masalah ini Pasal 201 ayat (7) Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 menyebutkan “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2020 menjabat sampai dengan tahun 2024”, artinya secara periodesasi ditentukan selama 4 tahun, dan dalam fakta hukum hasil Pemilikada Tahun 2020 tersebut Pelantikan Kepala Daerahnya tidak semuanya bisa dilaksanakan secara serentak, karena adanya gugatan ke MK dan dilanjutkan dengan Pemungutan Suara Ulang (PSU), sehingga terdapat keragaman lamanya masa jabatan kepala daerah sampai dengan Desember 2024 sebagaimana yang ditentukan Undang-Undang.
Terhadap permasalahan ini, 11 Kepala Daerah mengajukan gugatan Pengujian Undang-Undang (PUU) ke MK, yaitu Gubernur Jambi, Gubernur Sumatera Barat, Bupati Kabupaten Pesisir Barat, Bupati Malaka, Bupati Kebumen, Bupati Malang, Bupati Nunukan, Bupati Rokan Hulu, Walikota Makassar, Walikota Bontang, Walikota Bukittinggi, Perkara Nomor 27/PUU-XXII/2024.
MK kemudian dalam Putusan Perkara Nomor 27/PUU-XXII/2024 memutuskan :
Menyatakan Pasal 201 ayat (7) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5898) yang semula berbunyi, “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2020 menjabat sampai dengan tahun 2024” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2020 menjabat sampai dengan dilantiknya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan serentak secara nasional tahun 2024 sepanjang tidak melewati 5 (lima) tahun masa jabatan”.
Dari Putusan MK ini, maka kondisi objektif masa jabatan Kepala Daerah pada periode IV ini menimbulkan berbagai permasalahan, yaitu :
- Masa jabatan Kepala Daerah kurang dari 5 tahun, karena ditentukan periode 2020 sampai dengan 2024;
- Terdapat fakta hukum adanya pelantikan yang tidak serentak, yang disebabkan oleh adanya Penyelesaian sengketa di MK;
- Terdapat ketidakpastian hukum saat Pelantikan Kepala Daerah hasil Pemilukada tahun 2024 yang dikaitkan dengan masa jabatan Kepala Daerah sebelumya;
- Kata-kata dalam Putusan MK “sepanjang tidak melewati 5 (lima) tahun masa jabatan” pada diktum “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2020 menjabat sampai dengan dilantiknya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan serentak secara nasional tahun 2024”, mestinya juga harus dimaknai jaminan terpenuhinya masa jabatan 5 tahunbagi Kepala Daerah hasil pemilihan tahun 2020.
Masa Jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Kalimantan Selatan
Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur Kalimantan Selatan dalam model format penyelenggaraan pemilukada termasuk dalam penyelenggaraan Pemilu gelombang IV, sehingga masa jabatannya menurut Undang-Undang harus berakhir pada tanggal 31 Desember 2024, dan sebagaimana diungkapkan di atas masa berakhirnya oleh MK kemudian ditentukan pada sampai dilantiknya Kepala Daerah hasil Pemilukada tahun 2024 ini.
Untuk masalah masa jabatan Gubernur Kalimantan Selatan Sahbirin Noor (dan Wakil Gubernur H.Muhidin) telah ditemukan fakta hukum sebagai berikut :
- Bahwa berdasarkan KEPRES Nomor 105/P TAHUN 2021 Pelantikan Gubernur & Wakil dilaksanakan pada tanggal 24 Agustus 2021, yang disebabkan oleh adanya 2 kali PSU;
- Bahwa sampai dengan jadwal pemilu serentak Nopember 2024,dan akhir jabatan Desember 2024, maka efektif masa jabatan hanya selama 2 tahun 4 bulan atau 26 bulan;
- Bahwa untuk mencapai masa jabatan selama 4 tahun (48 bulan) sesuai amanah Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016, maka Pelantikan Gubernur hasil Pemilu 2024 harus dilakukan pada 24 Agustus 2025;
- Bahwa untuk memenuhi hak konstitusional masa jabatan selama 5 tahun, maka pelantikan Gubernur Baru hasil pemilihan umum serentak harus dilakukan pada tanggal 24 Agustus 2026.
Penyelesaian Masalah Masa Jabatan Gubernur Kalimantan Selatan
Secara umum penentuan dan penyatuan Pemilu Serentak Nasional dengan Pemilukada ternyata masih menimbulkan masalah hukum yang disebabkan oleh tidak terperhitungkannya adanya waktu Sengketa dan Perselisihandan Pemilu yang bergulir di MK, akibatnya masa pelantikan Kepala Daerah tidak dapat dilakukan secara serentak, melainkan tergantung pada waktu selesainya penyelesaian keputusan MK atas sengketa Pemilu yang diajukan.
Secara konseptual untuk menyatukan atau menyeragamkan waktu penatikan dengan penyelenggaraan Pemilukada, harus diadakan waktu “interval” antara pelaksanaan Pemilukada dengan akhir masa jabatan Kepala Daerah, seperti interval waktu berjarak 1 tahun sebelum masa jabatan berakhir, sehingga untuk penyelenggaraan Pemilu Serentak tahun 2024 adalah dimaksudkan untuk mengganti Kepala Daerah yang masa Jabatannya berakhir Desember 2025, sehingga ada batas waktu 12 bulan untuk antisipasi adanya perselisihan atau sengketa Pemilukada di MK. Begitu seterusnya, untuk pergantian Kepala Daerah dalam Pemilu Serentak Tahun 2029, adalah dimaksudkan untuk mengganti masa jabatan Kepala Daerah untuk Desember 2030.
Dengan adanya interval ini, maka masalah keseragaman Waktu pelantikan dapat diwujudkan, tanpa adanya merugikan hak konstitusional Kepala Daerah selama 5 tahun masa jabatan sebagaimana amanah Konstitusi dan Undang-Undang. Prinsip adanya interval waktu penyelenggaraan Pemilukada ini juga yang dapat menjadi solusi penyelesaian permasalahan ketidakseragaman waktu pelantikan yang dikarenakan kemungkinan adanya sengketa Pemilukada di MK.
Dari fakta dan dasar pemikiran tersebut, maka untuk menyelesaikan masalah hukum masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Kalimantan Selatan, dapat diajukan gugatan PUU ke MK dalam rangka memperjuangkan hak konstitusional Gubernur terpilih dan hak konstitusional masyarakat pemilih untuk masa Jabatan 5 tahun dan kesetaraan keadilan terhadap Pemilukada gelombang I, II, III dan IV, sebagaimana eksistensinya sudah diakui oleh MK, maka untuk ini kepada MK dapat dimohonkan :
Memenuhi hak konstitusional masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur selama 5 tahun, dengan cara mengundur Pemilukada Provinsi Kalimantan Selatan ke Pemilu Serentak Tahun 2029, yang berarti saat berakhirnya masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur pada tanggal 24 Agustus 2026, akan diisi dengan penunjukan Pejabat Gubernur dari tanggal 24 Agustus 2026 sampai dilantiknya Kepala Daerah hasil Pemilu Serentak Tahun 2029;
Atau :
Memenuhi hak konstitusional masa Jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur selama 5 tahun, dengan cara tetap memasukan Provinsi Kalimantan Selatan ke Pemilu Serentak Tahun 2024, akan tetapi Kepala Daerah (Gubernur dan Wakil Gubernur) terpilih hasil Pemilukada Tahun 2024 ini nanti akan dilakukan pelantikannya pada tanggal 24 Agustus 2026;
Atau paling tidak :
Memenuhi amanat Undang-Undang Pilkada dalam desain periodesasi golongan ke IV penyelenggaraan Pemilukada, yaitu selama 4 tahun (2020 sd 2024), sebagaimana diatur dalam Pasal 201 ayat 7 UU 10/2016 Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2020 menjabat sampai dengan tahun 2024 jo Putusan MK Nomor 27/PUU-XXI/2024, maka hal ini berarti saat Pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur (Kepala Daerah) Kalimantan Selatan terpilih nantinya, akan dilakukan pada tanggal 24 Agustus 2025.