“KEJAHATAN” PROFESI ?
“Keputusan berbuat yang sesuai dengan standar-standar profesi tersebut secara personal menjadi keputusan pribadi para pengembang profesi dan menjadi pilihan bebas apabila kita sendiri dalam menjalankan profesi secara mandiri dan inipun sangat rumit untuk menjalankannya. Terlebih akan menjadi rumit lagi kalau dalam mengemban profesi tersebut kita berada dalam saru naungan institusi yang menerapkan berbagai kebijakan untuk menjamin eksistensi, visi dan misi institusinya, terlebih kalau intitusi itu bersifat institusi bisnis atau paling tidak dikelola berdasarkan prinsip bisnis”.
(Syaifudin*)
SCNEWS.ID-BANJARMASIN. Sahabat secangkir kopi seribu inspirasi ! Pisau analisa krimonologi selalu bisa membedah siapapun, profesi apapun, masyarakat apapun, dalam kondisi apapun dan bahkan membedah diri kita sendiri, profesi kita sendiri, sahabat kita sendiri dan masyarakat kita sendiri, oleh karena itu tidak perlu “marah” dari hasil bedahannya tersebut, tapi justeru kita jadikan introspeksi dan renungan untuk perbaikan kehidupan dalam kita mengemban profesi.
Sahabat ! begitu juga yang disebut “kejahatan” dalam kajian kriminologi mempunyai cakupan yang sangat luas perpektifnya, dari perspektif hukum yang terbatas pada perbuatan yang buruk yang sudah dikriminalisasi dalam undang-undang, dari persfektif sosiologis yang jahat tidaknya perbuatan dilihat dari tatanan nilai social yang ada dalam masyarakat yang bersumber pada moral dan etika, dari perspektif psikologis yang memandang kejahatan sebagai suatu perilaku menyimpang, sampai pada perspektif spiritual yang mengkualifikasi setiap perbuatan dosa pada dasarnya adalah kejahatan.
Sahabat ! oleh karena sedemikian luasnya cakupan kejahatan itu, maka kita bisa memaknai pun dalam berbagai posisi kita, baik itu secara pribadi maupun secara social. Dan ijinkan kali inidalam membahas kejahatan profesi saya memaknainya menggunakan pendekatan “wisdom” sehingga lebih melihatnya sebagai sosok pribadi ke dalam pribadi kita manusia.
Sahabat ! dalam profesi itu terkandung didalamnya “keahlian” yang menjadikannya factor pembeda dari yang kita sebut pekerjaan, terkandung pula “sifat mulia” yang melekat pada keahlian kita itu, sehingga menjadikannya “pelayanan” sebagai sifat utama dan menjadikan “uang” bukan sebagai tujuan, melainkan hanya sebuah konsekwensi, dari pelayanan yang kita berikan itu.
Sahabat ! relativisme “keahlian” dan “standar pelayanan” menjadi perdebatan untuk kita mengukur apakah telah “pantas” secara hukum, moral, etika dan spiritual pelayanan yang kita berikan kepada masyarakat (klien atau pasien atau costumer), oleh karena itulah pada masing-masing bidang profesi membuat “standar” subtansi dari kandungan profesi tersebut, apakah itu yang bernama etika profesi atau berupa standar pelayanan, yang dijadikan rujukan bagi masyarakat untuk menilainya.
Sahabat ! putusan berbuat yang sesuai dengan standar-standar tersebut secara personal menjadi keputusan pribadi kita para pengembang profesi dan menjadi pilihan bebas apabila kita menjalankan profesi secara mandiri. Masalahnya akan menjadi rumit kalau dalam mengemban profesi tersebut kita berada dalam saru naungan institusi yang menerapkan berbagai kebijakan untuk menjamin eksistensi, visi dan misi institusinya, terlebih kalau intitusi itu bersifat institusi bisnis atau paling tidak dikelola berdasarkan prinsip bisnis.
Sahabat! Barangkali sudah menjadi rahasia umum di kalangan profesi tertentu (seperti kedokteran), kita wajib menjalankan roda pelayanan untuk menjalankan argo rumah sakit yang biaya investasinya besar pada peralatan-peralatan unit pelayanan tertentu, atau dalam profrsi hukum kita mesti menerapkan standar jasa yang tinggi untuk membiayai roda kantor hukum kita padahal kita tahu secara keilmuan kita sesungguhnya masalah yang kita pecahkan adalah masalah yang “biasa” saja, atau bahkan kita memasukan cost yang tidak perlu tapi dianggap penting untuk memuluskan urusan kita, dan seterusnya. Dan tentu belum kita berbicara terhadap pengemban profesi yang sengaja ditujukan untuk mendapatkan keuntungan semata.
Sahabat ! berangkat dari permasalahan inilah, jahat tidaknya kita dalam mengemban profesi akan dikembalikan kepada diri kita masing-masing, oleh karena itu “self control” menjaga kemuliaan profesi adalah “akar” yang menjadi tugas kita bersama secara pribadi, sedangkan persoalan tanggungjawab hukum lebih kepada aspek luar atau “batang dan ranting” dari permasalah profesi dalam kerangka memberi pelajaran dengan pendekatan “sanksi” kepada pengemban profesi yang lalai atau bahkan sengaja merusak nilai-nilai profesinya tersebut.
Salam secangkir kopi seribu inspirasi.
*Catatan Ringkas pada Webinar yang diselenggarakan oleh IKA Unair Kal-Sel dan BENs Institut pada hari Sabtu 7 Agustus 2021. (Syaifudin adalah Host dan Penulis Serial Secangkir Kopi Seribu Inspirasi).