KEJUJURAN ITU UNTUK SIAPA ?
Oleh : Syaifudin
SCNEWS.ID-BANJARMASIN. Sahabat ! dalam sepekan ini terdapat peritewa yang banyak mendapat perhatian dan sorotan publik, yaitu pembacaan tuntutan pidana terhadap para terdakwa dalam perkara pidana pembunuhan berencana Brigadir J yang bergulir di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, yaitu Ferdy Sambo, Kuat Ma’ruf, Ricky Rizal, Putri Candrawati dan Richard Eliezer. Adapun yang menjadi perbincangan dan komentar Nitizen justeru ketidak puasan atas tuntutan terhadap Richard Eliezer selama 12 tahun, dibandingkan tuntuntan lainnya pidana seumur hidup buat Ferdy Sambo, 8 tahun pidana penjara pada masing-masing Kuat Ma’ruf, Ricky Rizal dan Putri Candrawati. Mengapa ada rasa ketidakpuasan atau ketidakadilan terhadap tuntutan pidana Richard Elizer ini ?
Dari berbagai komentar dari tuntutan 12 tahun pada RE ini, terlihat jelas mengkaitkan dengan statusnya dalam kasus ini disamping sebagai pelaku penyertaan, akan tetapi juga dalam statusnya sebagai “justice collaborator”, yaitu orang yang turut andil mengungkap kejahatan yang ia sendiri adalah bagian dari terjadinya kejahatan itu sendiri, namun ia punya kesadaran untuk memberikan informasi terhadap fakta hukum yang sebenarnya atas kejahatan itu sehingga menjadi terang benderang. Oleh karena itu bisa kita mengerti mayoritas yang berkomentar mengatakan ini tuntutan hukum yang tidak adil, bagi mereka dengan status ini, yang sebenarnya berdasarkan regim perlindungan saksi dan korban, negara harus memberikan “penghargaan” atas dirinya atas perannya dalam mengungkap kejahatan itu.
Dirasa adil atau tidak tuntutan jaksa tersebut saya persilahkan kepada pendapat masing-masing, karena spekulasi dalam kajian ilmu hukum empiris yang “kritis” bisa saja mengungkapkan penyebabnya dan ini hanya diketahui atau berada dalam benak dan kepala jaksa penuntut umum tersebut, apa yang sesungguhnya terjadi dan dipertimbangkan dalam menentukan jumlah masa tuntutannya, dengan catatan secara pribadi saat melihat kasus ini, saya juga berpendapat tuntutan ini kurang adil bagi seorang justice collabarator, dan bahkan akan membawa implikasi luas kedepannya sebagai preseden kurang baik dalam sistem peradilan pidana kita saat menghadirkan seorang dengan justice collabarator.
Terlepas dari perdebatan tersebut, ada sisi lain yang menginspirasi saya untuk menuliskannya, karena untuk mendapatkan status justice collaborator seseorang harus jujur mengungkapkan kasus apa adanya sesuai dengan apa yang dilihat dan dialaminya, dan kejujuran ini menjadi sangat penting posisinya saat berdapatan dengan kejahatan yang sulit diungkap karena adanya rekayasa dan penghilangan barang bukti dengan karakter pelaku orang-orang yang punya kekuasaan (ekonomi dan politik). Kejujurannya akan berhadapan dengan resiko jiwa dan kehidupannya sendiri dimasa akan datang, sementara godaan untuk tidak jujur justeru akan mendapatkan keuntungan secara materi dan kekuasaan tersebut.
Lantas kalau begitu dilematisnya posisi justice collaborator ini, maka umumnya orang memilih diam dan ikut mencari dasar pembenar (pembenaran) terhadap perbuatan jahat yang terjadi, apalagi kalau dia melindungi pelaku yang sebenarnya dalam kejahatan itu, maka ia bisa dipastikan mendapatkan keuntungan dari perlaku diamnya tersebut, baik itu keuntungan bagi dirinya maupun keluarganya hatta sekalipun ia akan dihukum dan menjalani hukuman.
Mengingat pertimbangan-pertimbangan dan resiko seperti itulah, maka munculnya seseorang menjadi justice collaborator dianggap sebagai “pahlawan”, walapun ia sendiri juga pelaku kejahatan. Konsepnya ia dianggap pelaku kejahatan yang menyadari kesalahannya dan menebus kesalahan itu dengan mengungkapkannya secara jujur. Dan lantas kejujuran itu sendiri dimaknainya sebagai apa dan sesungguhnya buat siapa ?
Sahabat ! sifat dasar manusia dalam melakukan tindakan adalah berharap mendapatkan imbalan, oleh karena itu sangat wajar seorang justice collaborator mengharapkan imbalan atas kejujurannya pada negara dalam menegakan hukum, yaitu lewat wakil negara yang menuntut perkaranya (jaksa penuntut umum) sebagaimana yang sudah didapatnya pada proses diberikannya status justice collaborator itu sendiri dalam regim perlindungan saksi dan korban, diberikan sejumlah fasilitas dan perlindungan serta pendampingan mengingat resiko putusan yang penuh resiko tersebut telah diambilnya. Hal inilah bisa saja air mata yang menetes dari RE sebagai pertanda ketidakpuasannya atas tuntutan yang diterimanya dibandingkan pelaku penyertaan lain, namun dalam pendekatan “wisdom” memungkinkan pula ada sisi lain dari air mata tersebut.
Pendekatan wisdom akan melihat ke dalam diri yang paling dalam, yaitu hati dan nuraninya (qalbu), sehingga perilaku jujur sesungguhnya adalah untuk kedamaian dirinya sendiri, karena nuraninya akan terus berontak yang akan membuat hidupnya tidak tenang kalau ia menyembunyikan suatu kejahatan, oleh karena itu berkata jujur adalah pertarungan dalam diri untuk membebaskan diri sebagai pribadi yang “merdeka” dan resiko yang dialaminya adalah diterima sebagai harga yang harus dialaminya dalam proses membebaskan diri dari sifat ketidak jujuran tersebut. Oleh karena itu resiko yang didapatkannya dari berkata jujur dianggap sebagai konsekwwnsi logis untuk dirinya mendapatkan kedamaian hidup.
Sahabat ! secara sosial dalam kehidupan bernegara, kita sangat prihatin akan ketiadaan penghargaan atas kejujuran, akan tetapi secara pribadi kita mengucapkan selamat atas pilihan berkata jujur untuk membebaskan diri dari belenggu kemunafikan.
Salam secangkir kopi seribusatu inspirasi.