KESETARAAN YANG SETARA
“…mendengar tinggal tunjuk, sang suami menafsirkannya isterinya menyetujui ia ingin menikah lagi, eh ternyata… tinggal tunjuk benaran”
(Oleh : Syaifudin)
SCNEWS.ID-BANJARMASIN. Sahabat secangkir kopi seribu inspirasi, Kembali saya terinspirasi dari cerita Tuan Guru Fakhruddin Nur (Tuan Guru dari Kuala Tungkal Jambi yang berasal dari keturunan orang Kelua Hulu Sungai Kalimantan Selatan) yang saya ceritakan kembali dengan versi saya tentang dialog suami isteri yang lagi rame sejalan dengan tema pada filem “layangan putus” yang viral dan sukses mendapatkan perhatian pemirsa dan penontonnya.
Diceritakan suatu hari suami mengalami sakit, terbaring ditempat tidur dengan gejala demam-demam menggigil sementara suhu badannya turun naik. Isterinya yang menjaga sang suami menanyakan, sedang sakit apa dan merasakan hal apa “tanya isterinya pada suaminya”, setelah berminggu-minggu tidak ada tanda-tanda kesembuhannya dan dokter yang memeriksa juga belum mengetahui apa penyakitnya sebenrnya dari suami itu.
Tentu kondisi ini isterinya merasa kasihan dengan suaminya tersebut, dan terus menanyakan “sakit apa suamiku”, akhirnya sang suami berkata, “akh ! nanti kamu marah kalau aku mengatakannya”, lho kok aku marah, AKU TIDAK AKAN MARAH DAN WAHAI SUAMIKU TERCINTA DEMI UNTUK KESEMBUHAN SUAMIKU, AKU RELA BERBUAT DAN MENGORBANKAN APAPUN, jawab isterinya.
Sang suami berkata, benar nih tidak akan marah, ya aku janji tidak akan marah, sela isterinya lagi… singkat cerita setelah beberapa kali didesak oleh isterinya, akhirnya sang suami mengutakarakannya juga “penyakitnya” yang menyebabkan ia sakit, “begini isteriku sayang, aku sakit lantaran INGIN MENIKAH LAGI”.
Mendengar apa yang dikatakan suaminya tersebut, sang isteri langsung berucap “MENGAPA KAMU BARU SEKARANG MENYAMPAIKANNYA, KALAU MAU MENIKAH LAGI, SILAHKAN TINGGAL TUNJUK SAJA”, mendengar jawaban isterinya sang suami langsung bangkit dari tempat tidur mengambil celana dan baju untuk berpakaian rapi untuk bergegas pergi mendatangi perempuan idamannya dan akan menunjukan perempuan yang ingin dinikahinya tersebut kepada isterinya.
Eh! suamiku mau kemana, tanya isterinya dan sambil mengambil pisau dapurnya, kan kata kamu saya boleh menikah dan tinggal tunjuk, kata suami, nah itu dia kata isterinya sini aku potong dulu tunjuk kamu (maksudnya jari telunjuk)… Nah janganlah dipotong telunjuk saya, nanti aku sakit sekali dan betambah lagi dengan sakit berdarah kehilangan telunjuk karena dipotong !, kata suaminya. Sang isterinya langsung menimpali, kamu ini gimana sih, kamu itu sakit karena demam atau nanti sakit berdarah darah karena kupotong telunjuk mu, sedangkan aku “hatiku” bukan saja terpotong-potong tapi malah hancur lebur yang sakitnya tak terkira, sembari menunjuk ke dadanya.
Sahabat ! cerita di atas, hanya sekedar cerita bagaimana kemudian membuat sang suami tersadar bahwa keinginannya untuk menikah lagi tersebut adalah membuat isterinya terluka pada hati dan perasannya sebagai isteri yang mau diduakan, yang sakitnya melebihi luka secara fisik.
Dalam kehidupan kita sering bertutur ada ego berdasarkan sudut pandang keinginan atau kepentingan kita saja, tanpa mau melihat dari sisi atau sudut pandang pihak lain, artinya pertimbangan kepentingan saya dan atau aku selalu menjadi rujukan dalam memilih atau mempertimbangkan sesuatu, akibatnya kita “mati” rasa atas dampak dari putusan atau pilihan yang kita lakukan tersebut. Selanjutnya berkembang menjadi egosime “kronis” yang penting kan aku sukses, aku senang, aku top, aku berhasil, aku bisa dan seterusnya, sedangkan tentang orang lain, jadi EGP (emang gue pikirin), kondisi inilah sebagai puncaknya “individualis” yang “berdansa” dengan “ego” pribadi kita.
Sahabat ! entah kita lupa atau memang tabiat pribadi manakala menginginkan sesuatu berdasarkan selera dan kepentingan kita, terkadang abai terhadap perasaan dan kepentingan pihak lain, termasuk pasangan, keluarga dan sahabat kita. Sehingga ada baiknya kita mengingat kembali pepatah bijak orang dahulu “cubitlah diri sendiri dulu sebelum mencubit orang lain”, sebagai nasihat agar kita ber empati dulu pada orang lain sebelum kita melakukan sesuatu kepada orang tersebut.
Cerita yang diolah dari Cerita Tuan Guru di atas menunjukan adanya kesetaraan yang setara untuk menjaga perasaan dn kepentingan dalam kehidupan, termasuk dalam kehidupan rumah tangga dan persahabatan.
Salam secangkir kopi seribu inspirasi.