“KORUPSI SISTEMIK : Dari Kleptokrasi ke Negara Tanpa Hukum” (SERI CATATAN HUKUM ROBENSJAH SJACHRAN)

“Korupsi Sistemik: Dari Kleptokrasi ke Negara Tanpa Hukum”
Oleh: Robensjah Sjachran
SCNEWS.ID-BANJARMASIN. Di negara kita, korupsi bukan lagi sekadar perbuatan individu yang menyalahgunakan kekuasaan untuk keuntungan pribadi, melainkan telah menjadi bagian dari sistem yang menggerogoti sendi-sendi negara. Coba perhatikan deretan panjang kasus mega korupsi berikut: korupsi di PT Timah Rp 300 triliun, korupsi dengan modus mengoplos BBM di PT. Pertamina Patra Niaga (sebagai Subholding Commercial & Trading dari PT Pertamina Persero) Rp 198 triliun, kasus Skandal BLBI Rp 138 triliun, penyerobotan tanah negara oleh PT Duta Palma Group Rp 78 triliun, kasus korupsi PT  Trans Pacific Petrochemical Indonesia (TPPI) Rp 37,8 triliun, kasus  PT Asabri Rp 22,7 triliun, kasus korupsi PT Jiwasraya Rp 16,8 triliun, kasus Izin Ekspor minyak sawit mentah (CPO) Rp 12 triliun, kasus pengadaan pesawat CRJ-1000 & ATR 72-600 Rp 9,37 triliun, korupsi proyek BTS 4G Rp 8 triliun. Belum lagi seperti kasus temuan di rumah Zarof Ricar, makelar kasus mantan pejabat di Mahkamah Agung, yang diduga kumpulan uang suap hampir Rp 1 triliun plus 51 kilogram emas ……. amazing.
Rasanya perbuatan jahat, bejat, dan tidak bermoral serta dapat menghancurkan sendi-sendi kehidupan bangsa dan negara itu tak mungkin hanya perbuatan yang dilakukan oleh satu atau dua orang, tapi telah melibatkan banyak orang, contohnya seperti korupsi kasus pengoplosan (bukan blending) Pertalite dan Pertamax yang berlangsung selama 5 tahun, sejak 2018. Mengapa berlangsung begitu lama ? Apakah ada pembiaran, atau karena banyak pihak yang ikut bermain  ? Apakah negara kita ini sudah dapat disebut sebagai Negara Kleptokrasi ?  Penulis di Kompasiana Beyond Blogging, Khrisna Pabichara, mengatakan  ada sebuah negara yang dipimpin dan dikendalikan oleh pemerintahan maling. Di negara itu, pencuri bisa menjadi bupati. Di negara itu, garong bisa menjadi gubernur. Di negara itu, pencoleng bisa menjadi menteri. Di negara itu, koruptor bisa menjadi elite partai politik. Inilah yang disebut Negeri Kleptokrasi di mana tukang copet dan tukang palak bisa menjadi pejabat.
Di negara yang menganut kleptokrasi, para pejabat tinggi tidak sekadar melakukan korupsi, tetapi menjadikan pencurian kekayaan negara sebagai prinsip utama pemerintahan. Lebih buruk lagi, ketika korupsi semakin mengakar dalam sistem, hukum kehilangan wibawanya dan negara berubah menjadi lawless state, entitas tanpa hukum. Artikel singkat ini akan membahas bagaimana korupsi sistemik berkembang dari kleptokrasi menjadi negara yang kehilangan supremasi hukumnya.
Secara etimologis, kleptokrasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu klepto yang berarti mencuri dan kratos  berarti kekuasaan. Dalam sistem ini, pemimpin dan pejabat tinggi menggunakan kekuasaan mereka bukan untuk kepentingan rakyat, tetapi untuk memperkaya diri dan kelompoknya. Ciri-ciri utama negara kleptokratik antara lain penyalahgunaan anggaran negara, di mana proyek pembangunan sering kali dikorupsi sehingga tidak memberikan manfaat maksimal bagi rakyat; kronisme dan nepotisme, di mana kekayaan dan posisi penting hanya beredar dalam lingkaran elite tertentu; pelemahan lembaga penegak hukum, di mana aparat penegak hukum hanya bekerja untuk melindungi penguasa dan menyerang oposisi; manipulasi kebijakan ekonomi dan politik, yang memungkinkan elite kleptokratik terus berkuasa tanpa ancaman dari rakyat.
Sejumlah negara pernah mengalami pemerintahan kleptokratik, seperti Zaire (sekarang Republik Demokratik Kongo) era Mobutu Sese Seko, Filipina di bawah Ferdinand Marcos,  Nigeria di era Sani Abaca, Ekuador era Abdala Bucaram, Kazakhstan di masa Nursultan Nazarbayev. Di negara-negara ini, korupsi bukan hanya terjadi di birokrasi, tetapi menjadi cara utama negara beroperasi. Kleptokrasi yang tidak dikendalikan cenderung berkembang menjadi negara tanpa hukum. Ini terjadi ketika lembaga antirasuah dilemahkan atau dikendalikan oleh penguasa, sehingga koruptor tidak lagi merasa terancam oleh hukum; aparat hukum berubah menjadi alat pemerasan, di mana polisi, jaksa, dan hakim tidak lagi menegakkan keadilan, tetapi menjual keadilan kepada yang mampu membayar, sehingga marak frasa “wani piro”; manipulasi pemilu dan penghancuran oposisi, sehingga rakyat tidak memiliki mekanisme untuk mengganti pemimpin yang korup; maraknya impunitas bagi pejabat korup, di mana mereka tetap bebas atau mendapat hukuman ringan meskipun terbukti melakukan korupsi besar; ketika hukum tidak lagi berfungsi sebagai alat keadilan, negara kehilangan kapasitasnya untuk menegakkan ketertiban; kemudian  kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan hukum runtuh, yang pada akhirnya dapat memicu kekacauan sosial atau bahkan kehancuran negara.
Korupsi yang telah menjadi sistemik memiliki dampak luas yang menghancurkan:Ketimpangan ekonomi yang ekstrem, karena hanya elite tertentu yang menikmati kekayaan negara; Krisis kepercayaan publik, di mana rakyat tidak lagi percaya pada institusi negara; Kehancuran layanan publik, seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan yang buruk karena dana publik dikorupsi; Investasi dan pertumbuhan ekonomi terganggu, karena investor enggan menanam modal di negara yang hukum dan kebijakannya bisa dibeli oleh segelintir orang; Tumbuhnya radikalisme dan kejahatan, karena rakyat kehilangan harapan terhadap sistem yang ada dan mencari solusi di luar jalur resmi.
Apakah Negara Bisa Keluar dari Kleptokrasi? Sejumlah negara telah berhasil keluar dari jerat kleptokrasi dan membangun kembali sistem hukum yang kuat. Beberapa contoh: Singapura di bawah Lee Kuan Yew menerapkan reformasi birokrasi ketat dan kebijakan antikorupsi yang tanpa kompromi. Georgia setelah Revolusi Mawar melakukan pemecatan massal polisi yang korup dan membangun lembaga penegak hukum yang lebih bersih. Estonia mengadopsi sistem pemerintahan digital untuk mengurangi interaksi tatap muka yang rawan suap. Dari kleptokrasi hingga negara tanpa hukum adalah jalan berbahaya yang bisa menghancurkan sebuah negara dari dalam. Jika korupsi terus dibiarkan merajalela, maka kehancuran institusi negara hanyalah masalah waktu. Reformasi harus dilakukan secara menyeluruh, tidak hanya mengganti individu di pemerintahan, tetapi juga merombak sistem yang memungkinkan kleptokrasi bertahan. Tanpa langkah nyata, kita berisiko kehilangan bukan hanya kesejahteraan, tetapi juga masa depan negara itu sendiri. Untuk itu, diperlukan kepemimpinan yang kuat dan berintegritas, yang tidak tunduk pada tekanan elite korup, ditambah adanya partisipasi masyarakat dalam pengawasan pemerintahan, termasuk kebebasan pers dan media. Mungkinkah presiden kita Prabowo Subianto adalah pemimpin yang kuat dan berintegritas ? Kita tunggu saja sembari berjalannya waktu. Ben

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini