KUASA DALAM HUKUM (SERI ARTIKEL HUKUM ROBENSJAH SJACHRAN)

KUASA DALAM HUKUM

Oleh: Robensjah Sjachran

SCNEWS.ID-BANJARMASIN. Artikel ini tidak bermaksud mengulang “kekuasaan” yang pernah saya tulis dalam judul “Dialektika Hukum Dan Kekuasaan” (https://scnews.id/dialektika-hukum-dan-kekuasaan-seri-catatan-dr-robensjah-sjachran-sh-mh/) atau pun “Hukum Dan Penguasa” pada portal web SCNews (https://scnews.id/hukum-dan-bangsa-seri-renungan-inspiratif-robensjah-sjachran/) yang kajian praktisnya cenderung berbasis Hukum Administrasi. Kuasa di sini berfokus kepada akar kata “Kuasa” (Bld: Volmacht) yang dikenal dalam Hukum Privat (Perdata) .

KBBI mengartikan  banyak istilah “kuasa”, namun pengertian paling tepat untuk “kuasa” dalam objek tulisan ini diartikan sebagai wewenang atas sesuatu atau untuk menentukan (memerintah, mewakili, mengurus, dan sebagainya) sesuatu. Sementara itu, pengartian dalam praktik keseharian adalah begini: “A memberi kuasa kepada B untuk (melakukan perbuatan hukum) membeli buku misalnya, berarti A memberikan kewenangan kepada B untuk bertransaksi dengan penjual buku atas nama A. Akibat hukum yang dilakukan B atas kuasa A bukan tanggung jawab B, melainkan menjadi tanggung jawab A. Kalau dinalar secara normal, B yang melakukan perbuatan hukumlah yang bertanggung jawab, bukan A. Demikian pula, banyak orang yang tidak menyadari ketika bertransaksi dengan pramuniaga gerai makanan-minuman sebenarnya berhadapan dengan si kuasa yang mewakili prinsipalnya. Contoh lain ketika kita membeli bahan bakar di SPBU, bersantap atau sekadar ngopi bareng sohib di cafe, kedai atau resto yang berhadapan dengan pramusaji. Di sinilah uniknya lembaga hukum kuasa; seseorang melakukan perbuatan hukum, akan tetapi anehnya bukan dia yang menerima akibat hukumnya, melainkan orang yang diwakilinya, yaitu si pemilik SPBU, juragan resto atau kedai kopi.

Manusia sebagai makhluk sosial (homo homini socius) sebagian besar hidupnya melibatkan interaksi tak terhingga dengan manusia lainnya. Seseorang mulai bangun tidur lalu beraktifitas untuk bekerja, kuliah, singgah ke SPBU beli bahan bakar, sebelumnya mampir ke warung beli secangkir kopi dan sepotong roti, hingga sampai di tempat kerja atau kampus lalu memparkir kendaraan, disambut sekuriti, pinjam catatan atau buku dari teman kerja atau perpustakaan; pulang kantor mampir ke perusahaan jasa kurir mengirim paket. Demikian juga ibu-ibu yang akan berangkat ke pasar atau supermarket, sebelumnya menerima uang belanja dari suami, naik taksi, atau gojek, membeli beras, minyak goreng dan kebutuhan dapur lainnya; pulangnya naik becak, sebelum sampai rumah mampir ke panti jompo menyerahkan beberapa kilogram beras donasi rutin bulanan suaminya, semuanya adalah interaksi berupa perbuatan sebagai suatu fakta. Aksi dan reaksi dilakukan manusia yang satu terhadap lainnya dapat terjadi dalam fakta biasa dan dapat pula sebagai sebuah fakta hukum. Fakta hukum adalah fakta yang diatur oleh hukum. Fakta yang terjadi karena adanya interaksi di antara warga masyarakat, dan apabila kemudian dikualifikasi oleh hukum sebagai suatu peristiwa atau tindakan/perbuatan hukum, maka kelanjutannya adalah menimbulkan akibat hukum bagi mereka, dan itu artinya berkonsekuensi akan menggerakkan hukum. Hukum itu tadinya diam, akan tetapi ketika ada perbuatan atau tindakan hukum, yang kemudian berakibat hukum, maka akibat hukum itu menggerakkan hukum; hukum bukan lagi “benda mati” yang bersemayam dalam kitab.

“Kuasa” termasuk sebagai sebuah fakta hukum, yang apabila seseorang memberikan kuasa kepada orang lain untuk mewakilinya, dan di dalam kuasa itu meliputi kewenangan untuk melakukan sesuatu, maka ketika si penerima kuasa melaksanakan kuasa tadi, itu tergolong suatu perbuatan hukum.  Dalam kehidupan sehari-hari, lembaga hukum “kuasa” ini memiliki peran yang sangat penting. Tak terbayangkan bagaimana jadinya manakala kegiatan bisnis  masa kini tidak mengenal lembaga kuasa ini. Coba perhatikan, kita menabung di bank, meminta fasilitas KPR atau KPM kepada lembaga keuangan/pembiayaan, mentransfer sejumlah dana, tak sadar kita sebenarnya berhadapan dengan wakil atau kuasa dari pihak yang bertanggung jawab penuh atas transaksi yang kita lakukan dengan petugas itu, bahkan kuasa itu terjadi berlapis-lapis. Anda bertransaksi dengan BCA misalnya, itu adalah sebuah badan hukum, suatu artificial person. Jadi anda sebenarnya berhadapan dengan “manusia buatan”. Si artificial person sebagai pihak yang diwakili oleh Direksi, yaitu sebuah organ bentukan regulasi yang berwenang bertindak untuk dan atas nama badan hukum, yang pada gilirannya organ tadi diwakili pula oleh manusia sungguhan bergelar Direktur Utama/Direktur yang berwenang mewakili manusia buatan tadi. Oleh karena BCA membuka cabang di banyak kota, maka Direksi yang diwakili sang Direktur  mengangkat banyak pula Pemimpin atau Kepala Cabang yang notabene adalah kuasa dari Direksi; dan pada gilirannya Kepala Cabang yang memegang kuasa dari Direksi, dan diberikan kewenangan-kewenangan tertentu yang disebut secara rinci dalam surat kuasa (power of attorney), mengangkat petugas-petugas yang kita kenal sebagai frontliner, teller, customer service hingga tenaga casual seperti office boy bahkan security. Inilah yang saya sebut kuasa itu dalam organisasi kerja terjadi berlapis-lapis.

Nah….bayangkan andai kita hidup di masa Romawi kuno yang tidak mengenal adanya perwakilan langsung. Hukum perwakilan mereka kala itu menganut prinsip “Alteri stipulari nemo potest”, tidak seorang pun dapat menjanjikan apa pun atas nama orang lain; atau “No one can stipulate for another”, tidak ada yang bisa menetapkan untuk yang lain. Atau kalau bahasanya kita putar arahnya menjadi demikian: “orang yang melakukan suatu perbuatan hanya dapat menimbulkan hak untuk dirinya sendiri”. Orang-orang Romawi kala itu memiliki prinsip bagai pepatah yang kita kenal, “ barangsiapa yang menanam, maka dia akan menuai” (dalam bahasa Arab: man yazra’ yahsud). Artinya, di zaman Romawi kuno orang-orang meyakini sifat perbuatan hukum tidaklah dapat dipisahkan, yang dalam literatur berbahasa Belanda umumnya disebut ondeelbaar karakter van de rechtshandeling. Maksudnya, dalam perbuatan hukum yang menimbulkan Sebab – Akibat, di mana perbuatan (dari orang, dalam hal ini oleh si wakil / si kuasa) sebagai suatu sebab, maka sebagai akibat dari perbuatannya, yaitu hak dan kewajibannya, jatuh kepada orang yang mewakili itu sendiri, tidak kepada orang yang diwakili (orang yang menyuruh). Sehingga apabila orang ingin memperoleh hak dengan perantaraan orang lain, maka si wakil harus terlebih dahulu secara pribadi menjadi subjek dari     perbuatan hukumnya dan seluruh akibatnya hanya dia sendiri yang memperolehnya, baru kemudian mengalihkannya kepada orang yang berkeinginan memperolehnya itu, jadi ada dua step fakta hukum. Sejarah mencatat, hukum yang kita kenal sekarang berasal dari hukum Romawi Kuno. Karena kedigjayaan bangsa Romawi, hampir seluruh daratan Eropa, Afrika Utara, dan sebagian Timur Tengah dijajahnya,  Imperium sine fine, “kekaisaran tanpa ujung” yang kemudian mempengaruhi pembentukan hukum Prancis, dan karena dahulu Belanda dijajah Prancis, maka juga mempengaruhi   hukum Belanda. Berbeda dengan sistem hukum modern kita sekarang, di mana terkait perihal kuasa ini diakui adanya pemisahan Sebab – Akibat pada suatu perbuatan hukum. Si Kuasa atau si Wakil yang berbuat, akan tetapi hak dan kewajiban atas perbuatannya tidak berakibat hukum kepada dirinya, melainkan berakibat kepada orang yang memberi kuasa atau orang yang diwakilinya.

Pada dasarnya Kuasa (Volmacht) adalah bagian dari Perwakilan (Vertegenwoor-diging). Dalam teori, tautan antara kuasa dengan perwakilan penting untuk dipahami guna menjawab: “Siapa yang dalam perwakilan menurut hukum melakukan perbuatannya ?” Si Wakil ataukah orang yang diwakili ? Atau keduanya ? Hartono Soerjopratiknjo, Notaris terkenal di masanya, menyebut Perwakilan (Vertegenwoordiging) adalah pelaksanaan suatu tindakan hukum oleh seseorang untuk kepentingan atau atas nama orang lain. Dalam kesempatan lain J. Satrio, emeritus notaris & penulis produktif, mengemukakan Perwakilan adalah lembaga hukum yang memungkinkan orang bertindak untuk orang lain, yang memungkinkan orang mewakili orang lain dalam tindakannya. Jadi jelas bahwa kuasa adalah bagian dari perwakilan (representation). Namun demikian, untuk mengupas lebih dalam, biarlah berbagai persoalan teori Perwakilan itu dibahas di kampus, tidak di sini.

Selamat Berpuasa Ramadan. Ben

Terbaru

spot_img

Related Stories

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini