LEGACY BERFIKIR “BERKATA JUJUR KALAU SALAH”
Saatnya legacy berfikir dalam tradisi di atas kita gaungkan lagi, agar benar-benar menjadi manusia yang berfikir benar, yang dalam tradisi ini “kesalahanpun akan kita akui sebagai sautu kesalahan”, sementara berfikir yang tanpa aturan “adanya kesalahan justeru ditutupi dengan kesalahan lain untuk pembenarannya”. Hal inilah yang pernah saya katakan dalam tulisan “kebenaran dan pembenaran” sesungguhnya kebenaran itu itu tidak perlu pembenaran, karena ia sudah secara logis menunjukan kebenarannya, akan tetapi pembenaran justeru terjadi saat kebenaran itu ditutupi
DUTATV.COM – SCNEWS.ID-BANJARMASIN. Sahabat Secangkir Kopi Seribu Inspirasi, sadar atau tidak sadar terdapat kegiatan “berfikir” yang kita lakunan setiap harinya, baik itu dalam rangka merespon suatu gejala social dan gejala alam maupun dalam mencerna suatu informasi yang masuk ke dalam benak kita, oleh karena itu tidaklah berlebihan kalau seorang filsuf Perancis yang bernama Rene Descartes (1596-1650) berkata “COGITU ERGO SUM” yang berarti “aku berfikir maka aku ada”. Oleh karena itulah justeru dengan berfikir maka kita merasakan keberadaan dan siapa kita dalam kehidupan ini.
Sahabat ! kita tidak dapat membayangkan bagaimana kalau kita berhenti berfikir atau telah “mati fikir”, maka saat itu kita telah kehilangan eksistensi kemanusiaan kita yang selalu ingin mengetahui berbagai macam gejala yang ada di kehidupan ini. Bahkan dalam tradisi keilmuan berfikir adalah kerangka kegiatan yang utama dalam menganalisa suatu permasalahan yang ingin diketahui atau yang ingin dipecahkan. Namun yang menjadi permasalahan apakah berfikir itu sebagai suatu kegiatan “otak” bisa kita lakukan sembarangan saja, bebas sebebasnya (baca tanpa aturan) atau kita mesti tunduk pada “hukum berfikir” yang didesain oleh otak kita sendiri sebagai suatu kegiatan berfikir yang dianggap “logis” dalam peradaban manusia yang beradab dan telah diberi akal oleh Yang Maha Kuasa.
Sahabat ! dalam tradisi berfikir akademis atau cara berfikir seorang ilmuan telah diwariskan secara turun temurun dalam peradaban manusia adanya “keteraturan” dalam berfkir tersebut sehingga siapapun yang melakukan aktivitas berfikir, maka mesti berfikir logis dengan akal fikiran dan nuraninya. Proses berfikir logis itu dapat diikuti dan ditelusuri secara logis pula dengan mengikuti bagaimana proses berfikirnya dimulai dari tahapan menangkap gejala, dan proses menganalisanya, sampai kepada “out put” berfikir yang kita sebut simpulannya. Tradisi berfikir yang seperti ini disebut berfikir secara “order of fact” dan atau secara “order of logic”. Secara sederhana berfikir yang pertama kita sebut sebagai keteraturan berfikir berdasarkan fakta dan yang kedua kita sebut keteraturan berfikir berdasarkan logika, yang kedua tradisi berfikir ini digunakan dalam melakukan pemecahan masalah dalam penelitian yang bersifat “empiris/kuantitatif/” dan penelitian yang bersifat “normative/kualitatif/”.
Sahabat ! berfikir berdasarkan “order of fact” selalu didasarkan pada adanya fakta dalam kehidupan kita dan dari fakta itu kita analisa korelasinya atau hubungan sebab akibatnya, sehingga kita mengabil suatu opini atau kesimpulan dari adanya fakta tersebut. Oleh karena itu cara berfikir seperti ini akan menghasilkan kebenaran berupa kesesuaian fakta dengan simpulan yang kita buat, tentu kebenaran atas fakta ini menjadi relatif tergantung dari cara dan sudut pandang mereka yang menafsirkan fakta tersebut. Dalam suatu yang disebut “oposisi binary” juga telah menunjukan kemungkinan pemaknaan ganda atau berbeda dari suatu fakta yang dimaknai oleh kita, yang istilah populernya tergantung sudut pandang dan ketelitian serta kedalaman wawasan kita dalam melakukan pemaknaan tersebut.
Sahabat ! begitu juga cara berfikir yang didasarkan kepada keteraturan dalam logika, maka proses alur berfikirnya mesti dilakukan secara logis, terstruktur dan sistmatis, yang penerapannya tergantung pada bidang keilmuan. Seperti dalam bidang ilmu hukum, maka berfikir secara “order of logic” selalu dimulai dengan tradisi berfikir “melingkar” untuk memperjelas suatu peristewa atau postulat atau menemukan hukum dari suatu kasus hukum, yang biasa disebut “hermeunitika”. Keteraturan berfikirnya ini dapat diikuti oleh kolega, yang berarti kita mesti dapat mengetahui metode penafsiran apa yang digunakan, teori atau asas apa yang dipakai dan nilai-nilai keadilan apa yang menjadi sandarannya, sehingga simpulan yang keluar dapat kita pahami wujudnya seperti itu.
Sahabat ! apapun simpulan dari cara berfikir tersebut di atas, akan selalu dapat kita pahami dan menegerti, tinggal masalah ketajaman, keluasan dan kedalamnnya, tetapi semua berfikir yang didasarkan atas kedua cara itu selalu melahirkan simpulan yang “logis”. Namun masalahnya dalam kehidupan kita bertutur terdapat cara berfikir dan hasil berfikir yang keluar dari dua tradisi tersebut, dengan pembenaran secara “pragmatis” pada bidang bidang tertentu yang dianggap sebagai suatu kekhususan untuk dimaklumkan, seperti “logika politik” untuk semata-mata mementingkan kepentingan pihak yang berfikir, jalan dan hasil fikirannya kelogisannya justeru terletak pada kepentingan dan cara fikir untuk mencapai apa yang ia inginkan. Proses dan hasil fikirannya sangat sulit kita terima secara logika dan Nurani, karena apapun gejala dan peristiwa apaun yang dianalisa dan dimaknainya beranjan dari fakta yang direkayasa dan pemaknaan yang mengarahkan kepada pembenaran dari fakta yang direkayasa tersebut. Sebagai salah satu contoh, hal ini bisa dilihat konten-konten yang beredar di media social saat adanya perhelatan politik.
Sahabat ! saatnya legacy berfikir dalam tradisi di atas kita gaungkan lagi, agar benar-benar menjadi manusia yang berfikir benar, yang dalam tradisi ini “kesalahanpun akan kita akui sebagai sautu kesalahan”, sementara berfikir yang tanpa aturan “adanya kesalahan justeru ditutupi dengan kesalahan lain untuk pembenarannya”. Hal inilah yang pernah saya katakan dalam tulisan “kebenaran dan pembenaran” sesungguhnya kebenaran itu itu tidak perlu pembenaran, karena ia sudah secara logis menunjukan kebenarannya, akan tetapi pembenaran justeru terjadi saat kebenaran itu ditutupi.
Semoga kita semua bisa meneruskan legacy tradisi berfikir yang benar, Ya Allah tunjukanlah kempada kami yang benar itu adalah benar dan berikan kekuatan kepada kami untuk menjalankannya, ya Allah tunjukanlah kepada kami yang salah itu salah dan berikanlah kekuatan kepada kami untuk menghindarinya… amin.
Salam Secangkir Kopi Seribu Inspirasi.