MAHASISWA KITA ADALAH ANAK ZAMAN, BUKAN ANAK KITA (BAGIAN 2 SERI RENUNGAN “ADA APA DENGAN PENDIDIKAN HUKUM DAN ALUMNI HUKUM”)

“Menjadi pengajar hampir 30 tahun telah mengalami berbagai fase,  memberikan banyak pengalaman dalam kehidupan, moment Bersama Prof.Hamdhani Tenggara (alm) adalah moment hidup yang tidak pernah saya lupakan selama hayat masih dikandung badan, karena beliau adalah dosen pembimbing dan sekaligus pembimbing yang mengantar dan mengawal saya menjadi dosen di Fakultas Hukum ULM.  Satu nasihat (petuah) beliau yang sangat relevan adalah  sebagaimana yang saya tulis menjadi judul dalam renungan kali ini.

Oleh : Syaifudin*

SCNEWS.ID-Banjarmasin. Suatu keniscayaan yang tidak dapat terbantahkan dalam kehidupan ini adalah “perubahan”, sehingga sering dikatakan  “tidak ada yang abadi di dunia, kecuali perubahan itu sendiri”. Dengan perubahan ini menjadikan setiap waktu punya cerita sendiri yang kemudian “waktu waktu” itu oleh ahli social dikelompokan menjadi cerita yang terkotak pada “generasi-generasi” dengan ciri dan karakternya masing-masing-masing, yang kemudian dikenal dengan “generation theory”.

Secara sederhana “teori generasi ini” adalah teori yang menggolongkan generasi dengan didasarkan kepada tahun kelahirannya. Dari sinilah muncul istilah  “Baby Boomer Generation” untuk tahun kelahiran 1946 sd 1954, “Generation Jones” untuk tahun kelahiran 1955 sd 1965, “Generation X” untuk tahun kelahiran 1966 sd 1976 “Generation Y” atau “Milleneal Generation” untuk tahun kelahiran 1977 sd 1994, dan “Generation Z” untuk kelahiran tahun 1994 sd 2012. Disamping itu terdapat pendapat pengelompokan lain, seperti generasi X adalah yang lahir tahun 1930-1980 , genenasi Y adalah yang lahir tahun 1980-1995 dan generasi Z yang lahir tahun 1995-2010.

Saya tidak membahas karakteristek pemikiran dan perilaku pada setiap generasi yang disebutkan di atas, yang terhadap hal ini kita masing-masing bisa merasakannya dan telah mengalaminya, akan tetapi saya akan mengkaitkannya dengan petuah atau nasihat Prof.Hamdhani Tenggara tersebut yang menurut pemahaman saya dan selalu beliau tanamkan ke diri saya saat melihat perilaku mahasiswa di kampus, bahwa “mahasiswa anak zaman” dan mestinya  “pada zaman yang memang berubah, tapi kita mesti mempertahankan nilai-nilai “moralitas” dan “spritualitas” yang menjadi prinsip dalam hidup kita”.

Prof. Hamdhani Tenggara & Keluarga semasa beliau aktif mengajar di FH ULM (dukomentasi Rachmadi Usama)

Dengan dasar pemikiran inilah kemudian saya mengembangkan dan mengambil jalan sebagai “pengajar” yang menggabungkan antara “intelektual, moral dan  spiritual” dalam memberikan pengajaran ilmu hukum. Lahirlah kemudian yang saya sebut sebagai konsep Pendidikan hukum yang holistic dengan menempatkan nilai-nilai moralitas dan spritualitas, yang diselaraskan dengan tiga lapisan ilmu hukum, yaitu dogmatig hukum, teori hukum dan filsafat hukum.

Lantas bagaimana implementasinya ? secara sederhana metode ini dilakukan dengan memberikan materi aturan hukum, menjelaskan toeri hukumnya dan kemudian menyampaikan dasar-dasar filosofisnya dalam kajian filsafat hukum.

Oleh karena itu medan magnet berfikir dalam menerapkan hukum harus berproses dari norma hukum ke teori hukum dan filsafat hukum, sehingga pada setiap kasus hukum harus ditunjukan normanya, teorinya (asas-asas), landasan moral dan sritualnya. Dan kalau dalam proses ini ditemukan adanya praktek hukum yang berbeda dengan teori dan landasan moral spritualnya, maka praktek itu harus dinyatakan “salah”, bukan dengan “menjustifikasinya” sebagai suatu kebenaran dan praktek sebagai pembenarannya.

Dalam konteks ini seorang pengajar mesti memberikan contoh atau teladan dengan menselaraskan antara “kata” dengan “perbuatan”, karena seorang guru (dosen) menurut Tjipto Sumadi (dosen UNJ) adalah “bukan sekedar transfer of knowledge tetapi juga transformation of values. Beranjak dari sinilah nilai-nilai moral dan spiritual insyaallah saya pegang dan amalkan, namun dalam posisi sebagai “manusia” kita perlu hidup dan menghidupi orang lain, maka istilah Fahri Muhammad (sesepuh media), bahwa “listrik tidak bisa dibayar dengan pahala”, maka adanya gaji atau bayaran dalam mengemban profesi adalah wajar, sepanjang nilainya “wajar, dan perlu dicatat, bahwa dalam mengemban profesi “uang bukanlah tujuan” tapi sebagai konsekwensi dari penghargaan orang atas pelayanan profesi tersebut.

Lantas bagaimana dengan kondisi pengajaran Ilmu Hukum kita sekarang ini ? dan bagaimana pula pengamalan lulusan yang mengemban profesi mereka masing-masing pada realitas kehidupan mereka ?

Foto keluarga Prof. Hamdhani Tenggara (koleksi keluarga sekarang)

Saya bersyukur pernah Bersama Prof. Hamdhani Tenggara (alm), karena beliau tidak saja sebagai guru, tapi juga sahabat dan orang tua yang telah membimbing dengan tulus, insyaallah segala nasihat tersebut akan diamalkan sesuai harapan beliau agar “sebagai anak zaman yang tetap berpegang pada nilai-nilai moralitas dan spritualitas”. Yayasan Banua Media Utama yang bergerak dibidang social untuk membentengi moral dan spiritual Generasi sekarang dari dampak negative teknologi informasi kami dirikan sebagai dedikasi atas nasihat beliau tersebut. Alfatihah ….. (Bersambung).

SALAM WISDOM SPRITUAL

*Alumni Mawadan87, Founder Jurist Solution, Dewan Redaksi dutatv dan dutatv.com, Dewan Redaksi scnews.id, Pendiri Yayasan Banua Media Utama, Pengajar Luar Biasa di Pascasarjana UIN Antasari

Terbaru

spot_img

Related Stories

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini