MAKAN SIANG DI NEGERI KINCIR ANGIN

Dalam konteks ini, ternyata masyarakat Jerman telah menerapkan ajaran tentang makan yang termaktub dalam kitab suci; makan dan minumlah namun jangan berlebihan, sungguh Tuhan tidak suka yang berlebihan, karena berlebihan itu adalah perbuatan yang menyesatkan. Mungkin benar, dengan uang yang dimilikinya seseorang dapat membeli apa yang disukai dan diinginkan, namun hendaknya tetap disesuaikan dengan keperluan dan kebutuhan, tidak berlebihan. Bukankah telah digariskan, tidaklah beriman seseorang, manakala ia dalam keadaan kenyang, sementara tetangganya sedang kelaparan.

Oleh Tjipto Sumadi*

Ternyata menonton tayangan kuliner dari mancanegara itu penting, setidaknya menjadi bekal saat kita mendapatkan tugas ke mancanegara. Sayangnya, karena kesibukan dan seolah terbatasnya waktu, tidak sempat melihat tayangan dimaksud. Dapat dinyatakan bahwa di setiap negara memiliki pola table manner yang berbeda-beda. Ada baiknya, sebelum menjalani tugas atau melancong ke berbagai negara, kita mempelajari secara highlight, jenis makanan apa yang ada di negara yang akan dituju.

Pada tulisan kali ini, akan berkisah tentang makan di siang Belanda. Tidak dimaksudkan untuk memamerkan, tetapi lebih pada berbagi pengalaman, betapa, kami yang terlahir dari keluarga terbatas, harus makan di kelas atas, sehingga agak terasa tidak bebas.

Cerita ini dimulai dari setibanya kami berempat; saya dan isteri, dan sahabat saya yang juga bersama isterinya. Setiba kami di Schiphol, Amsterdam, kami disambut oleh staf yang sudah disiapkan oleh pihak kedutaan RI, yang waktu itu Duta Besar RI untuk Belanda dijabat oleh Ibu Retno Marsudi. Sebelum kami menuju kantor kedutaan RI, kami singgah di kedai di sekitar Schiphol, untuk sarapan. Semua berjalan lancar, karena makanan masih bersifat internasional, tentu buat saya cukup roti padat saja. Sebab biasanya, sarapan nasi uduk atau nasi goreng, atau kebiasaan waktu kost; mie instan.

Di kedutaan, kami diterima Ibu Retno Marsudi, dan kami menyampaikan maksud kedatangan kami di negeri Kincir Angin ini. Dalam perbincangan bersama Ibu Retno, beliau banyak memberikan masukan tentang penyelenggaraan pendidikan di negeri kita. Komentar saya saat itu adalah; Gagasan Ibu ini sangat bagus, saya pikir, Ibu amat layak menjadi seorang menteri. Subhanallah, beberapa bulan berikutnya ucapan saya terbukti, beliau menjadi Menteri Luar Negeri RI; bahkan dua periode. Usai perbincangan, lalu kami diantarkan ke Volendam oleh staf kedutaan. Sambil window shopping, kami melihat foto-foto yang dipajang di rumah foto. Sangat menarik, banyak sekali foto tokoh-tokoh pemimpin Indonesia dan tentu warga Indonesia yang dipajang di sana. Ada beberapa foto wajah presiden RI, namun saya tidak dapat memastikan, apakah foto-foto itu dibuat sebelum beliau-beliau menjadi pemimpin RI atau setelah menjadi presiden.

Volendam adalah daerah yang lebih rendah dari permukaan laut, sehingga jika kita hendak menuju ke sini, kita merasakan jalan menanjak sedemikian rupa sehingga berada di atas permukaan laut. Sementara jika kita berada di atas “dam”, yaitu antara daratan dan laut, maka akan tampak bahwa kita sedang berada di atas atap rumah yang berada di sekitar Volendam ini.

Tibalah saatnya makan siang, semua yang ditawarkan oleh pendamping kami Mr. Christian, kami iyakan saja. Rupanya, ini merupakan “kesalahan besar”, karena, ternyata yang kami iyakan adalah, benar-benar makanan besar yang tanpa nasi. Ada first appetizer, ada second appetizer, lalu main menu, dan dessert. Begitu banyak dan besarnya makanan yang disajikan, sehingga kami tidak sanggup untuk menghabiskannya. Beruntung kami tidak sedang makan di Jerman. Konon kalau di Jerman, makanan yang sudah dipesan tidak boleh tersisa. Jika tersisa kami akan dikenakan denda, karena aturan yang berlaku di kalangan mereka adalah; money is yours but resources belong to the society. Tentu ini sebuah pembelajaran yang sangat berharga, buat kami berempat.

Dalam konteks ini, ternyata masyarakat Jerman telah menerapkan ajaran tentang makan yang termaktub dalam kitab suci; makan dan minumlah namun jangan berlebihan, sungguh Tuhan tidak suka yang berlebihan, karena berlebihan itu adalah perbuatan yang menyesatkan. Mungkin benar, dengan uang yang dimilikinya seseorang dapat membeli apa yang disukai dan diinginkan, namun hendaknya tetap disesuaikan dengan keperluan dan kebutuhan, tidak berlebihan. Bukankah telah digariskan, tidaklah beriman seseorang, manakala ia dalam keadaan kenyang, sementara tetangganya sedang kelaparan. Semoga tulisan ini mengingatkan kita semua, untuk tidak berlebihan dan sebaliknya bersedia berbagi kepada yang kekurangan.

Semoga bermanfaat.

Salam Wisdom Indonesia

 

*) Mahasiswa Teladan Nasional 1987

    Dosen Universitas Negeri Jakarta

Terbaru

spot_img

Related Stories

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini