MAMA BAY : PANTAI “BARTER” (SERI CATATAN TJIPTO SUMADI)

MAMA BAY: PANTAI “BARTER”

Dunia memang tidak hanya saja sejauh mata memandang, tetapi di balik yang dipandang masih banyak yang terbentang.

Oleh Tjipto Sumadi*

SCNEWS.ID-JAKARTA. Pembaca yang Budiman, suatu hari penulis melakukan perjalanan dari Tel Aviv menuju Mesir via darat, dan keluar melalui Taba Border. Perjalanan ini memakan waktu cukup lama dan panjang. Dalam perjalanan ini, ada yang menarik dan patut disajikan sebagai oleh-oleh perjalanan, sebab lokasi ini tidak banyak dikunjungi orang Indonesia. Lokasi ini bernama Mama Bay yang terletak di wilayah kekuasaan Mesir. Daerah ini termasuk wilayah yang dikembalikan oleh Israel seusai perang 6 hari di Dataran Tinggi Golan dan Semenanjung Sinai.

Berjemur di Pantai Mama Bay, Mesir
(Dok. Pribadi)

Memerlukan waktu perjalanan hampir 24 jam (via darat) dari Tel Aviv ke Mama Bay dengan melalui Sharm el Sheikh. Setelah keluar dari wilayah pendudukan Israel melalui perbatasan Taba, maka perjalanan pun mulai sepi. Di tepian laut merah, yang ada hanya hamparan pasir luas yang membentang tanpa penghuni atau pengunjung. Sesekali terdapat kompleks perumahan yang dijaga ketat oleh pasukan berseragam militer lengkap. Namun sejenak kemudian terlihat deretan rumah kosong yang ditinggalkan penghuninya. Dari fenomena ini, tampaknya memang wilayah ini tidak dihuni, atau setidaknya pernah dihuni oleh penduduk. Namun, mungkin karena situasi keamanan dan suplai bahan makanan serta air yang tidak mudah, mengakibatkan perumahan semi mewah itu pun ditinggalkan.

Keindahan Pantai Mama Bay, Mesir
(Dok. Pribadi)

Enam jam selepas dari perbatasan perlintasan Taba, mulai ada tanda-tanda kehidupan yang justru sangat mengejutkan. Betapa tidak, di daerah ini banyak sekali warga kulit putih yang lalu-lalang. Penampilannya bukan seperti wisatawan, tetapi lebih layak disebut sebagai penduduk yang menetap. Hal ini tergambarkan jelas dari penampilannya, bahwa mereka bukanlah penduduk asli Mesir. Sebab dari karakteristiknya pun tidak sama dengan keturunan bangsa Smith, justru mereka cenderung lebih dekat dengan Ras Kaukasoid.

Usai menunaikan makan siang dan sholat dzuhur – ashar, yang dijamak, penulis menuju ke pantai yang bernama Mama Bay. Dari percakapan dengan warga lokal, didapat informasi bahwa masyarakat “bule” atau kulit putih yang ada di Mama Bay ini adalah warga negara Rusia. Sense of curiosity penulis pun terus mengulik, mengapa warga negara Rusia begitu banyak tinggal disini? Ternyata ini adalah efek dari Perjanjian Camp David (1979) antara Mesir dan Israel. Untuk menjaga perdamaian tersebut maka pemerintah Mesir memiliki “political contract” dengan penguasa Rusia. Untuk itu, Rusia meminta wilayah pantai guna menempatkan “pasukan penjaga wilayah” bersama keluarganya. Jadi para “Bule Rusia” ini tinggal dan menetap sementara di sini. Setiap keluarga yang tinggal di Mama Bay, mendapatkan “Tour of Duty” dari Rusia dalam rentang waktu 6 bulan hingga 1 tahun per keluarga, bergantung pada kepentingan dan tugas yang diembannya.

Pantai Mama Bay, Mesir (Dok. Pribadi)

Reasonable jika, daerah Mama Bay ini seperti daerah wisata yang hiruk-pikuk dengan para “pelancong” mancanegara. Pemandangan ini tampak jelas di pantai yang banyak diisi oleh turis yang berjemur menggunakan bikini, layaknya di Kuta, Bali. Makanan yang tersedia di restoran pun bukan makanan khas Mesir, Arab, atau Asia Kecil, tetapi lebih bergaya Rusia, seperti Beef Stroganoff atau Pelmeni, yaitu hidangan nasional Rusia semacam dimsum.

Pembaca yang Budiman

Dunia memang tidak hanya saja sejauh mata memandang, tetapi di balik yang dipandang masih banyak yang terbentang.

Hikmah yang didapat dari perjalanan ini adalah, pertama, sesungguhnya manusia dilahirkan dengan jiwa kedamaian. Namun rasa angkara murka yang sering menggejolak untuk berkuasa, dapat melahirkan peperangan, lalu berusaha damai lagi. Mama Bay di Mesir, menyimpan kisah itu. Perang Enam Hari antara Mesir – Israel, telah memberikan kehidupan “baru” di tanah gersang (dalam arti denotatif), menjadi daerah yang “gersang” secara konotatif, yaitu daerah yang “seger dan merangsang” (di Mama Bay). Kedua, meskipun “political contract” yang dilakukan Mesir – Israel yang dimediasi oleh Jimmy Carter (AS), di atas kertas berhasil. Namun perjanjian Camp David ternyata tak dapat menolong Anwar Sadat dari penembakan oleh anggota parade di Kairo (1981). Bahkan perjanjian ini, tidak pula membebaskan Palestina dari cengkeraman Israel. Justru sebaliknya, seolah Palestina malah hanya berjuang “sendirian” melawan aneksasi yang dilakukan Israel terhadap tanah Palestina, hingga saat ini. Ketiga, fenomena Mama Bay mendorong kita untuk terus menjaga perdamaian dan kedamaian di negeri tercinta ini. Agar peristiwa “barter” penjagaan wilayah dengan kedamaian tidak terjadi. Meskipun itu dilakukan untuk dan atas nama pertumbuhan ekonomi, seperti dengan cara membangun pulau baru yang diperuntukkan bagi warga negara asing di negeri tercinta ini.

Semoga Bermanfaat.

Salam Wisdom Indonesia

*) Mahasiswa Teladan Nasional 1987

   Dosen Universitas Negeri Jakarta

Terbaru

spot_img

Related Stories

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini