MASJID DUNGAN DI KARAKOL, KYRGYSTAN
Oleh: Robensjah Sjachran
SCNEWS.ID- KYRGYSTAN. “Si vis pacem, para bellum“. Jika mendambakan perdamaian, bersiaplah menghadapi perang (If you wish for peace, prepare for war). Adagium ini bukan hanya dikenal puluhan atau ratusan tahun lalu, tapi menurut Wikipedia ide pokoknya sudah ditemukan pada Undang Undang VIII (Νόμοι 4) Plato 347 SM dan Epaminondas 5 Cornelius Nepos; artinya berperang sudah dikenal ribuan tahun lalu, bahkan sejak zaman Neolitikum atau zaman Batu yang diperkirakan sejak 2000 tahun Sebelum Masehi. Perang atau yang oleh Wikipedia diistilahkan sebagai aksi fisik bersenjata dan non fisik yang intens antara negara, pemerintah atau kondisi permusuhan dengan menggunakan kekerasan antara dua atau lebih kelompok manusia untuk melakukan dominasi di wilayah yang dipertentangkan, telah menjadi momok bagi makhluk, bukan hanya umat manusia, apapun dan di manapun.
Manusia adalah makhluk sosial yang hidupnya selalu berkelompok (homo homini socius) yang alasannya tidak lain sebagai modus survival, agar dapat bertahan hidup melawan ganasnya alam, buasnya khewan, dan kejamnya manusia. Akan tetapi sebaliknya, hidup berkelompok dapat juga membawa malapetaka, karena kuatnya identitas kelompok dapat memicu kekerasan terhadap sesama manusia dengan memaksakan kehendak mereka, yang membawa konsekuensi mengerikan, dan saking hebatnya kerusakan yang timbul dapat saja tak terperikan. Manusia yang satu memangsa manusia lainnya. “Homo homini lupus”, ujar Plautus (254 SM – 184 SM), manusia adalah serigalanya manusia. Manusia yang seharusnya menjadi manusia sosial, diantaranya dapat menjadi “serigala” yang memakan atau menerkam sesamanya.
Parahnya lagi, apabila pemangsa manusia itu adalah sekelompok manusia dalam skala luas berbentuk suku, golongan, daerah, bahkan negara, dengan menggunakan alat pemusnah massal (Weapons of Mass Destruction – WMDs) senjata kimia seperti gas “saraf” dan “mustard”, senjata biologis seperti antraks, cacar, tipes, apalagi nuklir.
Disparitas, silang sengketa, konflik, hingga kesumat, yang akhirnya berujung peperangan tak terhindarkan akibat ambisi pribadi penguasa untuk tetap berkuasa atau keinginan memperluas wilayah kekuasaan, beda ideologi, beda kepentingan, perampasan sumber daya alam, sampai kepada penindasan karena beda keyakinan. Akhirnya ……puluhan, ratusan, ribuan, bahkan bukan tidak mungkin jutaan manusia tercabut nyawanya akibat beda keyakinan, atau karena kehendak yang berlawanan.
Sepanjang sejarah, peperangan yang memakan korban jiwa terbanyak adalah Perang Dunia II (PD2). Perang global (1939 – 1945) ini dipicu oleh invasi Jerman ke Polandia tahun 1939; namun sejarawan lain mengatakan juga menjadi pemicunya adalah beberapa peperangan antar negara sebelumnya yang berdekatan waktunya seperti perang Sino – Jepang 1937 – 1945, invasi Italia ke Abisinia/Ethiopia 1935 – 1937, serbuan Jepang ke Manchuria Agustus 1939 (perang Jepang – Uni Soviet). Korban jiwa total dalam PD2 berjumlah antara 50 juta hingga 70 juta jiwa. Banyak yang menduga korban jiwa terbanyak akibat perang setelah PD2 adalah PD1 1914 – 1918 yang berakibat kematian 18 juta jiwa, atau Perang Saudara Rusia tahun 1917 – 1922 sebanyak 9 juta jiwa, atau Perang Saudara Tiongkok (Kuomintang – Komunis) tahun 1927 sebanyak 8 juta jiwa. Menurut Borgen Project, organisasi nirlaba yang berupaya mengatasi kemiskinan akibat perang, Pemberontakan Dungan atau Pemberontakan Tongzhi Hui 1862 – 1877 di Tiongkok Barat adalah lebih besar jumlah korban jiwanya, yaitu 20 juta yang sebagian besar korban meninggal akibat kelaparan ketika migrasi suku Hui yang Muslim, dan berkonflik dengan warga Han yang mayoritas, merasa ditindas oleh penguasa Dinasti Qing yang berasal dari kelompok etnis Manchu (berasal dari Tiongkok Timur). Orang-orang warga Tiongkok yang bermigrasi ke negara yang berbatasan itu adalah orang-orang suku Hui yang oleh orang Rusia disebut orang Dungan, terbanyak bermukim di kota Karakol, Kyrgyzstan selain ke kota-kota wilayah Kazakhstan yang saat itu dikuasai oleh Kekaisaran Rusia.
Nah, dua hari pada bulan lalu saya berada di kota Karakol, masuk melalui wilayah Kazakhstan melintas batas negara di lembah Karkara. Kota keempat terbesar di Kyrgyzstan ini berpenduduk sekitar 70 ribu jiwa, terletak tak jauh dari danau Issyk Kul dan berada di ketinggian 1.690 mdpl; sekadar perbandingan Baturaden, Banyumas 980 mdpl, kota Gayo Lues 1.000 mdpl, Lembang 1.300 mdpl. Karakol terkesan terpencil, bagaimana tidak, ia berada di bagian timur Kyrgyzstan, tak jauh dengan perbatasan Kazakhstan dan Tiongkok, 150 km lagi atau 3 jam perjalanan darat sudah sampai ke Urumqi, ibu kota daerah otonom Xinjiang di bagian barat Tiongkok. Bagi saya, kesan keterpencilan Karakol malahan menjadi bagian dari pesonanya. Namun kota ini sebenarnya sangat mudah diakses dari ibu kota Bishkek, dan dari wilayah lain Kyrgyzstan maupun Kazakhstan. Sepanjang perjalanan dari Desa Saty melintas batas di daerah Kegen (masih dalam wilayah Almaty, Kazakhstan) hingga sampai Karakol melalui kota Tup (Kyrgyzstan) lanskap menakjubkan dengan pemandangan pegunungan Tian Shan yang tertutup salju, padang rumput yang di sana sini kadang ada Yurt (asal dari bahasa Turki yang artinya tenda berbentuk bundar portable berselimut kulit atau bahan flanel), sungai jernih, lembah, ngarai (canyon) dan danau yang diselingi dengan penggembala berkuda menggiring ternak domba, atau terkadang segerombolan kuda jinak, pemandangan alam terasa damai, amatlah menakjubkan.
Karakol sebagai pintu gerbang utama menuju keberagaman budaya, sejarah, dan alam luas yang terbuka. Kyrgyzstan, negeri para pengembara yang terletak di Asia Tengah ini, menjadi bagian penting jalur perdagangan dunia sejak dahulu yang dilakoni oleh nomaden, pedagang, pengelana, prajurit, maupun biarawan. Sebagai bagian dari Silk Road, budaya Kyrgyzstan dipengaruhi oleh suku bangsa Tiongkok, Mongol, Slavia, Persia, Turki, Timur Tengah, dan bangsa Barat lainnya, karenanya aneka makanan di Karakol umumnya juga dipengaruhi masakan citarasa Turki, Rusia, dan Tiongkok, dengan gaya hidup nomadennya yang berhubungan dengan daging domba, sapi, yak, dan kuda. Selain makanan, Karakol juga dikenal luas pelintas alam yang pada waktu berkunjung di musim dingin pada November suatu tahun hingga Maret tahun berikut dengan olahraga ski, snowboarding, snowshoeing, snowmobiling, paralayang, dan banyak lagi.
Di kota Karakol inilah komunitas Dungan di masa awalnya memperkenalkan kepada warga tempatan shalat berjamaah…. dan untuk itu perlu masjid. Maka, tahun 1907 dibangunlah Masjid Dungan yang terbuat dari kayu atas inisiatif Haji Ibrahim, muslim keturunan Tionghoa pemimpin orang Dungan yang menetap di Karakol. Haji Ibrahim mengundang arsitek ahli perkayuan Zhou Si, yang khusus didatangkan oleh Haji Ibrahim dari Beijing dengan 20 orang anak buahnya. Web Destination Karakol menulis Masjid Dungan dibangun tanpa satu paku pun, bagian-bagian kayunya – kayu cemara , elm , dan kenari – yang rumit saling menempel seperti potongan puzzle. Warga tempatan antusias membantu pembangunan masjid yang tidak biasa ini, yaitu bangunan bergaya kuil khas Buddha Tiongkok, yang menghindari penggunaan paku besi tapi mengandalkan takik dan lekukan, panjang 27 meter lebar 15 meter. Kini masjid Dungan atau kadang disebut Masjid Ibrahim itu menjadi landmark ikonik kota Karakol yang wajib dikunjungi. Berikut foto-foto penulis di Karakol, Kyrgyzstan. Bens Mei 2024