MEMBUKA PEMAHAMAN DALAM KEBINGUNGAN
DI ERA REVOLUSI INFORMASI
Oleh : Syaifudin
SCNEWS.ID-BANJARMASIN. Sahabat ! perkembangan yang terjadi dibidang informasi telah terjadi sedemikian “luar biasanya” dan dapat disebut sebagai “revolusi informasi” yang ditandai oleh berkembangnya teknologi informasi beserta perangkatnya yang dampaknya bisa laksana “pedang bermata dua”, satu sisi mencari dan menerima atau menemukan akses informasi semakin mudah, namun disisi lain menjadikan kita “kebingungan” diterpa berbagai macam dan versi informasi dari berbagai peristewa atau bahkan dari hanya dari satu peristewa.
Saya sudah lama mengenal teori “opisisi binary” yang mengelaborasi adanya perbedaan pemaknaan antara pemaknaan dari objek yang dimaknai yang tidak selalu sama atau bersifat tidak pasti, akan tetapi karena dulu akses informasi berupa pendapat diakses dari buku atau diskusi dengan beberapa kolega atau Koran atau Majalah, maka keberbedaan itu dapat dengan segera dikelompokan, persis seperti kita mencoba merumuskan suatu “definisi” dari berbagai pendapat terhadap apa yang didefinisikan.
Dari sumber yang masih terbatas tersebut, saya masih mudah memverifikasi suatu pernyataan kebenaran, baik itu dengan melihat pada fakta (empiris) dengan cara berfikir “order of fact”, maupun dengan mengikuti “cara” atau alur berfikirnya yang disebut “order of logic”, sehingga kita bisa memahami “dasar pemikiran” dari kebenaran tersebut. Walapun kemudian dengan menggunakan pendapat Thomas S Kuhn, kita kemudian mem “falsifikasi” lagi untuk menemukan kebenaran lainnya, dan begitulah cara berfikir keilmuan seterusnya yang terus berproses dari satu kebenaran kemudian diragukan lagi kebenarnnya dan menemukan kebenaran baru dan seterusnya.
Diera revolusi informasi sekarang saya menemukan adanya karakter yang berbeda, karena informasi yang masuk jumlahnya tak terbatas, disampaikan oleh orang yang juga tak terbatas, dibuat dan diolah bercampur aduk oleh orang-orang yang ahli dibidangnya dan orang-orang bukan ahli dibidangnya, dibuat berdasarkan fakta tapi opininya diluar konteks, dibuat fakta rekayasa dan opini yang liar, disebarkan secara meluas dan instan melalui berbagai flatform media social dan media online yang jumlahnya tak terbatas, disebarkan pula oleh orang-orang yang karakteristiknya “patut dihormati” baik karena Pendidikan, gelar dan jabatan fungsionalnya atau bahkan “ketokohannya”.
Pernyataan kebenaran tidak bisa lagi diikuti hanya dengan “order of fact” dan atau “order of logic”, karena pandangan kebenaran mereka disandarkan kepada “satu pernyataan akan benar, kalau disampaikan secara terus menerus dan oleh ketokohan pihak yang menulis, menyebarkan atau menyampaikannya”. Dari sinilah kita kehilangan verifikasi factual substansial dan “akal sehat” untuk menilai sebuah kebenaran dari suatu peristewa atau fenomena yang terjadi dalam masyarakat kita sekarang.
Lama-kelamaan dalam kebingungan itu akan bisa dimengerti, karena peran para buzzer dan influencer menjadi industry di era revolusi informasi sekarang, termasuk katagore buzzer yang tidak dibayar tapi mempunyai kepentingan atas rasa “simpati atau kebencian”, sehingga akhirnya kebenaran itu sendiri akan menjadi “barang dagangan” yang sadar atau tidak sadar telah menggiring pemikiran kita hanya pada satu sudut pandang (hanya menggunakan satu bidang tertentu saja) dan hanya tertuju pada satu titik pandang (hanya pada ojek tertentu saja) yang menjadi tujuan pihak-pihak penyampai “pesan”, yang ujung-ujungnya kita menjadi berfikiran sempit dan cenderung radikal serta melakukan “penghakiman”. Anehnya mereka menikmati “kesempitan berfikir” itu dan malah “merasa” bangga.
Salam secangkir kopi seribu inspirasi.