MENGENAL TPPU (SERI ARTIKEL HUKUM ROBENSJAH SJACHRAN)

MENGENAL TPPU
Oleh: Robensjah Sjachran

SCNEWS.ID-BANJARMASIN. TPPU adalah inisialisasi Tindak Pidana Pencucian Uang. Tindak Pidana terjemahan dari bahasa Belanda: strafbaar feit. Tindak pidana juga disamakan dengan “delik” yang berasal dari bahasa Latin: delictum (pelanggaran hukum). Sayangnya dalam KUHP tinggalan Belanda maupun KUHP berdasarkan UU No. 1/2023 yang berlakunya nanti awal Januari 2026, tidak dijelaskan secara eksplisit apa itu strafbaar feit atau tindak pidana. Akibatnya bertebaran pendapat para ahli dengan pengertian masing-masing. Untuk alasan praktis, tindak pidana dapat diartikan sebagai suatu perbuatan yang diancam pidana oleh ketentuan hukum pidana. Dalam literatur maupun perundang-undangan, istilah tindak pidana banyak padanannya, misalnya peristiwa pidana, perbuatan pidana, pelanggaran pidana, perbuatan yang dapat dihukum, atau perbuatan yang boleh dihukum. Pencucian Uang ? Nah ini agak sulit mengartikan karena UU yang ada mengartikannya sangat normatif: “Pencucian Uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini” (UU No. 8/2010); namun makna gramatikalnya adalah dari terjemahan bahasa Inggris: money laundering. Sederhananya, pencucian uang adalah proses penyembunyian atau penyamaran dengan berbagai upaya atas asal usul harta kekayaan yang diduga berasal dari uang kotor (dirty money). Dengan kata lain, TPPU adalah proses ilegal untuk membuat uang “kotor” tampak sah, bukan diperoleh secara tidak sah, sehingga dapat dipidana. Jadi, kosakata “pencucian uang” sudah menjadi laras bahasa atau model bahasa yang sering disebut orang sebagai Bahasa Hukum sebagaimana halnya “kawin lari”, “surat di bawah tangan”, “beban pembuktian terbalik”, “organ perseroan”, dan lainnya.

Pada awalnya pencucian uang tidak dianggap sebagai suatu kejahatan. Tujuan utama para penjahat melakukan pencucian uang ketika itu adalah agar kejahatan yang mereka lakukan tidak tercium oleh pihak yang berwajib untuk menghindari konsekwensi tuntutan hukum atas perbuatan yang digolongkan sebagai sebuah kejahatan seperti korupsi, perdagangan narkotika, prostitusi, perjudian, pembunuhan, penyelundupan minuman keras, yang dalam konteks tindak pidana pencucian uang kini tergolong sebagai kejahatan asal (predicate crime). Bagi penjahat, mudah menghasilkan uang yang banyak dari hasil kejahatan, akan tetapi sulit untuk menyimpannya (agar tidak terbongkar kejahatan yang dilakukannya). Gangster Al Capone, yang malang melintang melakukan kejahatan di Amerika, khususnya di Chicago, adalah pelaku kejahatan yang oleh otoritas federal Amerika Serikat didakwa dengan tuduhan penggelapan pajak, dan pada 17 Oktober 1931 dijatuhi hukuman 11 tahun penjara ditambah denda $ 80.000 karena penghindaran pajak; jadi, dakwaan kepada Al Capone ketika itu bukan karena kejahatan konvensional seperti perjudian, perdagangan narkotika, prostitusi, pembunuhan, atau penyelundupan minuman keras. Di Amerika Serikat, istilah money laundering dalam konteks pengadilan atau hukum baru digunakan dalam perkara United States v $ 4.255.625.39 (1982) 551 F. Supp. 314. yang mengenakan denda pencucian uang hasil penjualan kokain di kota Cali, Kolombia, dan uangnya disimpan di Capital Bank, Miami, Florida. Di sana, sebelum tahun 1986, tindakan pencucian uang bukan merupakan tindak pidana. Pemerintah Amerika Serikat mulai mengkualifikasi pencucian uang sebagai suatu tindak pidana dengan mengeluarkan Money Laundering Central Act of 1986, yang kemudian diikuti dengan The Annunzio Wylie Act. dan Money Laundering Suppression Act. (1994). Di negara kita, kriminalisasi pencucian uang dimulai dengan terbitnya UU No. 15/ 2002 tentang TPPU yang diubah dengan UU No. 25/2003, kemudian diganti oleh UU No. 8/2010. Artinya, negara kita baru mengenal TPPU itu pada tahun 2002, atau tepatnya sejak diundangkannya UU No. 15/2002 itu pada 17 April 2002. Kriminalisasi yang dimaksud jangan diartikan sebagaimana yang disampaikan media massa yang sudah mengalami “neologisme”, akan tetapi bermakna sebagai objek studi hukum pidana materiil (substantive criminal law) yang membahas penentuan suatu perbuatan sebagai tindak pidana (perbuatan pidana atau kejahatan) yang diancam dengan sanksi pidana tertentu.

Globalisasi ekonomi yang berkelindan dengan kecanggihan sistem digital informasi, teknologi, dan komunikasi, telah memacu kemajuan dan kesejahteraan nasional dan transnasional. Akan tetapi pada sisi lain globalisasi ekonomi juga telah memicu kejahatan ekonomi dalam dimensi baru, yaitu dari yang semula berupa kejahatan konvensional (conventional crimes) yang bersifat tradisional, menjadi kejahatan nonkonvensional (non-conventional crimes) yang mendunia, termasuk kejahatan pencucian uang (money laundering crime). Munculnya berbagai bentuk kejahatan dalam dimensi baru sebagai problem sosial, akhir-akhir ini, menunjukkan bahwa kejahatan telah berkembang. Kejahatan transnasional, antara lain perdagangan manusia dan penyelundupan manusia, korupsi dan pencucian uang; kejahatan kehutanan dan satwa liar, kejahatan perikanan, perdagangan ilegal benda cagar budaya; dan narkotika serta obat-obatan terlarang dan prekursornya, merupakan suatu bentuk kejahatan yang menimbulkan ancaman serius bagi keamanan dan kemakmuran global mengingat sifatnya yang melibatkan berbagai negara.

Pencucian uang (money laundering) adalah salah satu kejahatan terorganisasi (organized crime) yang bertujuan menghasilkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Pencucian uang pada hakikatya adalah kejahatan lanjutan (follow up crime) dari kejahatan asalnya (predicate offence/core crime). Pencucian uang adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan proses yang digunakan untuk menunjukkan bagaimana mengkonversi uang yang berasal dari kejahatan atau diperoleh karena suatu tindak pidana untuk kemudian diproses sedemikian rupa hingga seolah-olah tampak menjadi uang yang diperoleh secara legal.

Proses menyamarkan atau menyembunyikan asal kekayaan haram itu dilakukan dengan cara uang hasil kejahatan dibelikan aset yang nanti pada saatnya dijual kembali, atau dapat pula dijadikan modal usaha dengan mendirikan badan usaha, atau memindahkannya dari rekening yang satu ke rekening lainnya. Akibatnya, saat suatu tindak pidana dapat dideteksi, tantangan utama penegak hukum adalah aspek pembuktian, dan tantangan menjadi lebih besar pada kejahatan white collar karena pelaku selalu berusaha menjauhkan bukti-bukti. Oleh sebab itu undang-undang telah menetapkan pihak Pelapor yang dibebani tugas sebagai gatekeeper, penjaga gerbang yang memantau atau mengontrol akses keluar masuk gerbang, untuk menerapkan prinsip mengenali Pengguna Jasa yang ditetapkan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Pelapor itu adalah: a. Penyedia Jasa Keuangan (bank; perusahaan pembiayaan; perusahaan asuransi dan perusahaan pialang asuransi; dana pensiun lembaga keuangan; perusahaan efek; manajer investasi; kustodian; wali amanat; perposan sebagai penyedia jasa giro; pedagang valuta asing; penyelenggara alat pembayaran menggunakan kartu; penyelenggara e-money dan/atau e-wallet; koperasi yang melakukan kegiatan simpan pinjam; pegadaian; perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan berjangka komoditi; atau penyelenggara kegiatan usaha pengiriman uang; b. Penyedia Barang dan/atau Jasa lain (perusahaan properti/agen properti; pedagang kendaraan bermotor; pedagang permata dan perhiasan/logam mulia; pedagang barang seni dan antik; atau balai lelang; advokat; notaris; pejabat pembuat akta tanah; akuntan; akuntan publik; dan perencana keuangan).

Pelapor sebagai gatekeeper memiliki peran penting untuk mendeteksi secara dini memberikan laporan kepada lembaga intelijen keuangan adanya transaksi keuangan mencurigakan. Transaksi yang mencurigakan itu dapat berupa: a. Transaksi Keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola Transaksi dari Pengguna Jasa yang bersangkutan; b. Transaksi Keuangan oleh Pengguna Jasa yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan Transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Pihak Pelapor sesuai dengan ketentuan undang-undang; c. Transaksi Keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana; atau d. Transaksi Keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh Pihak Pelapor karena melibatkan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.

Proses pencucian uang umumnya melalui tiga tahap; Pertama, tahap Penempatan (Placement), dana kotor dimasukkan ke bank, terkadang diikuti permintaan kredit yang nanti dibayar dengan uang kotor tadi; penyelundupan uang tunai; membiayai suatu usaha; membeli barang berharga (mobil mewah, emas, berlian); Kedua, tahap Transfer (Layering), memisahkan hasil tindak pidana dari sumbernya dengan tujuan menyamarkan atau menghilangkan jejak sumber dana; Ketiga, tahap pemanfaatan harta kekayaan (Integration), uang yang tampaknya sah (karena telah terintegrasi ke dalam sistem keuangan) dikembalikan kepada penjahat untuk digunakan bagi tujuan apapun. Demikianlah sekilas info TPPU. Ben

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini