MENIKMATI “KENIKMATAN” (SERI SECANGKIR KOPI SERIBU INSPIRASI)
(Syaifudin)
SCNEWS.ID-BANJARMASIN. Sahabat secangkir kopi seribu inspirasi, sekilas terlintas, bahwa mana ada sesuatu yang nikmat itu terasa tidak enak saat menikmatinya, sehingga saat dinarasikan “menikmati kenikmatan” dianggap sebagai sesuatu yang tidak perlu lagi dibahas. Oleh karena itu ijinkan saya bertutur tentang sesuatu yang barangkali dianggap tidak perlu dibahas, namun saya tulis untuk menjadi renungan hanya bagi kita yang “maqomnya” terkadang masih belum bisa menikmati sesuatu yang sebenarnya dinilai nikmat.
Begitulah pada dimensi kehidupan sekedar memehuni selera makan atau minum, saat kita lapar atau berselera untuk memakan atau menyantap hidangan yang menggoda “lidah” kita, semua sudah terbayang lezatnya mesti kita belum menyantapnya, dan saat menyantapnyapun kita merasakan sensasi “kenikmatan itu”. Namun apa yang terjadi sebelum menyantap makanan lezat yang tersaji itu, tiba-tiba sakit gigi kita kumat, atau lidah dan bibir pecah karena sariawan ?. Lantas apakah makanan yang lezat dan nikmat itu masih terasa nikmat saat kita menikmatinya ?
Dari urusan memakan makanan yang lezat (nikmat) ini saja sudah bisa menjadi contoh sederhana, adanya suatu kondisi “sakit” tertentu pada mulut kita saja, maka hidangan yang lezat itu sudah tidak bisa kita menikmati kenikmatannya. Hal ini menyadarkan kita bahwa untuk menikmati suatu yang kita anggap nikmatpun perlu adanya kondisi sistem yang terkoneksi dan mempengaruhi dalam menimbulkan kenikmatan itu.
Bayangkan dan coba merasakannya pula adanya kondisi sebaliknya, yaitu saat kita lapar terbayang makanan lezat yang sesuai dengan selera kita, namun saat itu yang tersedia cuma makanan biasa yang sebenarnya tidak sesuai dengan selera kita, lantas kemudian kita menyantapnya dengan kondisi tidak sakit gigi dan sariawan. Apakah makanan itu terasa nikmat ? atau kita coba membandingkan dengan kondisi yang diatas, mana yang lebih terasa nikmat ?
Sahabat ! begitulah dalam pandangan saya kalau kita mau merasakan nikmatnya perbuatan baik dalam bentuk ibadah, baik itu ibadah yang bersifat “horizontal” seperti ibadah sosial, ibadah kepada makhluk dan ibadah kepada alam. Maupun juga ibadah yang bersifat “vertikal” seperti ibadah yang diwajibakan seperti sholat, puasa dan haji dan lain-lainnya atau ibadah lainnya yang bersifat sunnah seperti memberikan infaq dan sedekah dalam berbagai bentuk dan wujudnya.
Pertama-tama kita meyakini semua perbuatan baik dalam bentuk ibadah ini adalah menu jiwa dan rohani kita yang lezat, namun apakah saat kita melaksanakannya (baca : menyantapnya) merasakan lezatnya, sehingga membuat kita “ketagihan” untuk terus menyantapnya ? Manakala kita belum merasakan nikmatnya ibadah tersebut, berarti ada sistem “pengrasa” jiwa dan qalbu kita yang sedang sakit, sehingga saat masuk ke jiwa dan qalbu, kita tidak dapat merasakan nikmatnya ibadah tersebut.
Sistem “pengrasa” yang saya maksudkan tersebut adalah apa yang kita sebut “hati”, oleh karena itu manakala hati kita ini sakit, maka kita tidak bisa merasakan nikmatnya ibadah yang sebenarnya nikmat tersebut. Oleh karena itu, maka untuk bisa merasakan nikmatnya ibadah tidak ada cara lain, selain menyehatkan dan menjaga kesehatan hati kita secara terus menerus.
Lantas apa saja yang membuat hati kita itu sakit atau yang disebut penyakit hati itu ? diantara penyakit hati itu adalah TAKABBUR (SOMBONG, MERASA HEBAT, BENAR, PINTAR), RIYA’ (PAMER DALAM BERIBADAH UNTUK MENDAPATKAN PUJIAN), UJUB (BANGGA DIRI YANG BERLEBIH), SUM’AH (MEMBICARAKAN AMALNYA KEPADA ORANG LAIN), HASAD (IRI DAN DENGKI PADA NIKMAT ORANG LAIN), TAQTIR (KIKIR HARTA DAN TENAGA) dan ANGAN-ANGAN (MEMENTINGKAN DIRI SENDIRI DAN MENINGGALKAN IBADAH).
Sahabat ! selama kita belum bisa mengendalikan dan mengobati penyakit hati tersebut, maka sudah bisa dipastikan kita tidak dapat menikmati nikmatnya perbuatan baik dan atau ibadah. Oleh karena itu menjadi penting bagi kita untuk terus berusaha merawat dan menyehatkan hati kita tersebut.
Upaya apa yang bisa kita lakukan untuk menyehatkan, menjaga dan merawat hati tersebut ? apabila gejala penyakit hati kita sudah parah, seperti tertutup oleh “kabut hitam”, maka kita perlu “mengoperasinya” lewat “taubatan nasuha”, apabila sakit hati kita seperti tertutup kabut yang “samar-samar”, maka perbanyaklah melakukan zikir sebagai menu harian sehari-hari, dan apabila sudah pada kondisi kadang tertutup kabut buram dan kadang jernih, maka tambahkan sebanyaak-banyaknya dengan menu “sholawat” kepada Rasulullah.
Sahabat, menu taubatan nasuha, zikir dan sholawat tersebut dilakukan dengan mengkaji ilmunya (karena itu tuntutlah ilmunya pada sumber dan guru yang bersanad) dan kemudian berdoalah agar kita selalu diberi hati yang bersih, sehingga insyaallah kita selalu dapat merasakan nikmatnya ibadah dan perbuatan baik pada qalbu kita, yang membuat kita asyik atau ketagihan melakukannya.
Salam secangkir kopi seribu inspirasi.