SCNEWS – “Berlatihlah untuk berjalan di sepatu orang lain, tapi jangan pernah menghakimi wilayah niatnya, itu hak preoregatif TuhanNya”
Terkadang kita terjebak dalam banyak perhitungan saat akan melakukan kebaikan. Ada banyak pertimbangan terkait bagaimana orang lain akan melihat apa yang kita lakukan. Di era sosial media, dimana setiap orang seakan punya hak atas orang lain, sehingga begitu ringannya berkomentar atau bahkan menjadi juri atas pilihan hidup orang. Juri yang tidak diminta bahkan tidak diharapkan. Pada level tertentu bertindak bagai hakim, yang seakan punya standar benar salah atas orang lain.
Di sisi lain, era kebebasan juga membuat orang tidak waspada dan bijak. Rumah tidak lagi menjadi pelindung untuk penghuninya. Pasangan tidak lagi menjadi penutup kekurangan aib pasanganya. Semua bermula dari keinginan untuk menjadikan rumah dna kehidupan pribadi menjadi etalase tontonan bagi orang lain. Terbuka di akun-akun yang meski bersifat ‘privacy’ tetap saja berada di wilayah publik. Sehingga apa yang dipertontonkan jika tidak dipertimbangkan akan masuk wilayah pagar-pagar aturan publik.
Dua kondisi kacamata diri dan pendapat orang lain, satu sisi kadang saling menguntungkan, bagi mereka yang memang ingin meraup sesuatu dari kondisi tersebut. Apa saja yang menjadi targetnya, popularitas, eksistensi atau bahkan bisnis. Tidak ada yang salah, selagi dipahami konsekuensi atas pilihan-pilihan tersebut. Jangan smapai mengeluh dan merasa tersudut saat menerima resiko dari hal yang sebetulnya sudah melekat dengan pilihan tersebut.
Tetapi, pada setiap konsekuensi atas respon netizen, bukan juga diberikan permakluman seluas-luasnya. Pada perilaku diluar batas kemanusiaan dan hukum, maka apa yang dilakukan pun harus bersiap juga dengan konsekuensinya.
Intinya di dalam setiap pilihan apapun, pahami dulu resiko dan konsekuensinya. Bahwa selalu ada paket seperti itu, bukan berarti menghentikan kita untuk berbuat kebaikan.
Lakukan saja yang terbaik, dari yang bisa kita lakukan, untuk diri sendiri, orang-orang tersayang dan mereka yang pantas kita sayangi. Niatkan saja kebaikan dengan tulus, dan biarkan penilaian kualitas, dampak dan hasil, jadi urusan orang lain yang merasakan, terutama biar Tuhan yang menentukan nilai menjadi amal baik atau amal salah.
Berbagai kondisi dan resiko yang kita pahami, jangan menghalangi untuk menebarkan empati dan simpati pada orang lain. Asahlah dengan mencoba belajar berjalan di sepatu orang lain, tanpa harus menjadi hakim di wilayah niat orang lain. Sehingga kita akan selalu berpikiran positif kepada orang lain. Meski kita tetap harus mengasah insting waspada, sekedar sebagai alarm hati, bukan yang berlebihan sehingga mengunci diri dalam pikiran buruk.
Mari menjalani hidup dengan tenang, meluruskan pandangan, dan selalu berupaya bahagia pada hal-hal sederhana.
Sesekali kita menunduk untuk melembutkan hati. Tapi kadang perlu tengadah, untuk sekedar menerawang tanpa harus memaksa diri terbang tanpa sayap dan kekuatan yang cukup. Karena akan patah dan menyakitkan saat jatuh.
Besar dan kuatkan tiang dengan akarnya, jangan pasaknya, yang bisa menyebabkan goyang. Yang paling penting menguatkan pundak agar tegak melangkah, dengan pandangan sejajar agar tak tersandung yang bisa membawa musibah.
Semangat menyambut indahnya hari-hari di Bulan September yang sejuk.
DhyRozz