Moralitas yang Mencederai Hukum
Oleh: Robensjah Sjachran
SCNEWS.ID-BANJARMASIN. Miris membaca berita-berita terakhir di media sosial. Berita “Penembakan Bos Rental Mobil” yang ternyata pelakunya oknum anggota TNI-AL, “Informasi Jenderal Bintang Tiga yang terkesan membela anak buah yang katanya dikeroyok, kill or to be killed”, “Sekjen PDIP yang meletakkan berkas nun jauh di sana yang katanya berisi rahasia korupsi pejabat negara”, jangan-jangan ingin dijadikan alat tawar menawar, di mana berita-berita itu belum menuntaskan keterkejutan kita dari berita-berita penemuan uang yang diduga hasil jual beli hukum Rp 1 T plus puluhan kilo emas di rumah mantan pejabat MA yang menunjukkan bobroknya peradilan kita, juga berita vonis 6,5 tahun yang tak sebanding dengan pelaku yang merugikan Negara Rp 300 T. Sudah separah inikah negara kita ?
Beberapa waktu lalu, ketika menemui teman di Frankfurt, Jerman, saya sempatkan ke Universitas Heidelberg (berdiri 6,5 abad lalu) untuk melihat-lihat barangkali menemukan catatan tercecer filsuf Jerman Friedrich Hegel (pernah berkuliah di sana) yang konon pemikirannya mempengaruhi Marx & Engels, sekaligus mengunjungi reruntuhan Kastil Heidelberg. Di pintu masuk gedung baru Universitas Heidelberg yang sangat bergengsi itu terpampang tulisan di bawah patung perunggu Dewi Athena: “Dem lebendigen Geist”; Kepada jiwa yang hidup, atau Untuk semangat yang hidup, frasa yang biasa digunakan di kampus memberikan semangat di lingkungan akademis untuk pemikiran intelektual yang dinamis dan kritis terus berkembang.
Hukum dan moralitas adalah dua entitas yang memiliki hubungan erat dalam membentuk tatanan masyarakat yang beradab. Hukum sering kali dilihat sebagai pengejawantahan moralitas, sebuah sarana yang digunakan untuk menegakkan nilai-nilai yang dianggap baik dan benar oleh masyarakat. Namun, dalam praktiknya, tidak semua moralitas yang dijadikan dasar hukum berkontribusi pada keadilan. Ada kalanya moralitas yang diterapkan justru mencederai hukum, merusak esensinya sebagai instrumen keadilan yang netral dan universal. Bahkan, meskipun hukum telah dirancang untuk mengikuti semangat zaman atau Dem lebendigen Geist, moralitas yang salah atau dipaksakan tetap dapat melemahkan integritas hukum itu sendiri.
Dalam teori hukum klasik, moralitas dianggap sebagai landasan utama bagi hukum. Pemikir seperti Immanuel Kant dan Thomas Aquinas menegaskan bahwa hukum yang baik harus selaras dengan prinsip-prinsip moral yang universal, seperti keadilan, kejujuran, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Moralitas memberikan legitimasi bagi hukum, membuatnya lebih dari sekadar aturan yang dipaksakan oleh otoritas.
Namun, tidak semua moralitas bersifat universal. Moralitas sering kali dipengaruhi oleh konteks sosial, budaya, dan politik tertentu, sehingga dapat berbeda dari satu tempat ke tempat lain dan dari satu zaman ke zaman berikutnya. Ketika hukum dirancang berdasarkan moralitas yang partikularisme atau sempit, ia dapat kehilangan fungsinya sebagai instrumen keadilan yang objektif.
Moralitas yang mencederai hukum adalah moralitas yang dipaksakan oleh kelompok tertentu tanpa memperhatikan prinsip-prinsip keadilan yang universal. Moralitas semacam ini dapat muncul dalam beberapa bentuk. “Moralitas ideologis” misalnya, adalah moralitas yang dibangun atas dasar kepentingan politik atau ideologi tertentu. Dalam sistem hukum yang dipengaruhi oleh moralitas ideologis, hukum cenderung menjadi alat untuk mempertahankan kekuasaan atau menekan kelompok tertentu. Dalam banyak kasus, semangat jiwa korsa (esprit de corps) sering kali dipengaruhi oleh moralitas ideologis berbentuk nasionalisme yang berpotensi melahirkan loyalitas buta. Ada juga “Moralitas Religius yang Dogmatis”, yang dapat menjadi landasan yang baik bagi hukum jika diambil dari nilai-nilai universal seperti kasih sayang, keadilan, dan perdamaian. Namun, ketika moralitas religius diterapkan secara dogmatis dan tanpa kompromi, ia dapat mencederai hukum dengan cara membatasi kebebasan individu dan menciptakan diskriminasi terhadap kelompok yang berbeda keyakinan. Ada pula “Moralitas Mayoritarianisme”, yang didasarkan pada pandangan mayoritas masyarakat tanpa memperhatikan hak-hak minoritas. Hukum yang dibangun berdasarkan moralitas mayoritarianisme cenderung mencederai prinsip keadilan karena tidak melindungi semua warga negara secara setara. Dalam kasus ini, hukum menjadi alat penindasan terhadap kelompok minoritas.
Konsep Dem lebendigen Geist, atau semangat yang hidup, merujuk pada gagasan bahwa hukum harus bersifat dinamis dan berkembang sesuai dengan perubahan zaman. Hukum tidak boleh kaku, melainkan harus mampu merespons kebutuhan masyarakat yang terus berubah. Menurut pemikiran Hegel, hukum merupakan hasil dari perkembangan sejarah dan budaya suatu masyarakat. Oleh karena itu, hukum harus selalu diperbarui agar tetap relevan dengan konteks sosial yang ada. Prinsip ini sangat penting untuk menjaga agar hukum tetap hidup dan tidak tertinggal oleh perkembangan zaman.
Namun, meskipun hukum telah mengikuti Dem lebendigen Geist, hal ini tidak serta-merta menjamin bahwa hukum tersebut akan adil. Jika moralitas yang menjadi dasar hukum adalah moralitas yang mencederai—seperti moralitas ideologis, dogmatis, atau mayoritarianisme—maka hukum yang dihasilkan tetap tidak akan mampu menciptakan keadilan. Dengan kata lain, dinamisme hukum tidak cukup jika tidak didasarkan pada moralitas yang benar dan universal. Moralitas yang salah dapat mencederai hukum, bahkan ketika hukum dirancang untuk mengikuti perkembangan zaman, misalnya hukum yang menekan kebebasan berpendapat.
Moralitas seharusnya menjadi dasar yang memperkuat hukum, bukan mencederainya. Namun, ketika moralitas yang digunakan adalah moralitas yang sempit, ideologis, atau dogmatis, hukum kehilangan fungsinya sebagai instrumen keadilan yang netral dan universal. Meskipun hukum telah mengikuti Dem lebendigen Geist—semangat yang hidup dan dinamis—ia tetap bisa gagal menciptakan keadilan jika didasarkan pada moralitas yang salah.
Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa moralitas yang mendasari pembentukan hukum adalah moralitas yang benar-benar bersifat universal, tidak mencederai hak-hak individu, dan berlandaskan hak asasi manusia, mampu menjaga keseimbangan antara dinamisme hukum dan prinsip-prinsip keadilan yang tak tergoyahkan. Hanya dengan cara inilah hukum dapat benar-benar berfungsi sebagai penjaga keadilan dan ketertiban dalam masyarakat. Ben