“MUNAJAT DI PUNCAK GUNUNG” (SERI PAHIT MANISNYA KEHIDUPAN DALAM SECANGKIR KOPI BAGIAN 15)
SCNEWS.ID-BANJARMASIN. Suasana semakin malam di Puncak Gunung Kiram sebagai Kawasan Wisata, pada malam minggu di Puncak Kiram Park ini masih terlihat ada puluhan orang yang bertahan di Reflika Perahu Nabi Nuh, mereka asik dengan pembicaraan dan perenungan masing-masing, ada semacam “ritual” yang yang menjadi wajib bagi mereka saat berwisata, apalagi kalau bukan ritual berfoto dan berswafoto. Ada jejak digital yang merangkai setiap langkah kehidupan masayarakat di era digital ini, bahkan saking banyak dan menyebarnya jejak digiltal bertebaran, maka ada jutaan foto dan video di upload ke media social dengan berbagai flatform aplikasi pada setiap harinya, laksana banjir atau bahkan tsumani foto, video yang berisi informasi diberbagai belahan dunia yang melanda manusia di era abad digital ini, oleh karena itu meninggalkan jejak digital pada setiap saat atau moment kehidupan akan sangat mudah dilacak dimanapun dan kapanpun.
Saking asyiknya Darel dan Santi mengobrol tentang masa lalu dan diskusi masalah yang mereka hadapi, terdapat dua pasang mata yang terkadang memperhatikan mereka, dua pasang mata ini bergerak berputar di Kawasan Puncak Kiram melihat pemandangan ke berbagai arah, barat, timur, utara dan selatan, seakan terus mencari nuansa alam yang berbeda pada setiap sudut pandang mereka. Tidak jelas apa yang mereka bicarakan selama berputar tersebut, namun perhatian mereka juga tertuju pada Darel dan Santi.
Dua pasang mata ini tidak lain adalah Wisnu dan Andini, dua sahabat Darel satu Angkatan di Fakultas Hukum, keduanya aktivis kampus yang terkenal kritis, disamping kegiatan pencinta alam yang mereka lakuni. APERJU adalah nama kelompok pencinta alam mereka, sebagai kependekan dari “awal perjuangan”, maksudnya kelompok ini menjadikan alam sebagai starting perjuangan hidup, karena menyatu dengan alam telah memberikan semangat kemurnian anak muda untuk mengukir idealism hidupnya. Tidak jarang mereka terlibat dalam berbagai aksi demonstrasi untuk menantang sesuatu kebijakan yang mereka anggap tidak adil terhadap alam dan masyarakat pada umumnya.
Karakter anak muda, darah muda, idealism yang murni telah melekat pada kehidupan mereka, terkadang tingkah polah mereka memperjuangkan dan menyuarakan sesuatu, bisa saja dianggap ekspresinya berlebihan, karena terkadang demostrasi yang mereka lakukan mengganggu pengguna fasilitas umum masyarakat lainnya. Namun demikian kalau diperhatikan inti dan spirit yang mereka perjuangkan adalah sesuatu yang patut diberikan penghargaan, sebagai kepedulian teerhadap apa yang terjadi dalam masyarakat yang mereka anggap ada ketidak adilan tersebut. Oleh karena itu tinggal bagaimana menanamkan nilai-nilai dan kebenaran lain yang juga ada pada setiap kebijakan yang mesti juga dihormati, nilai dan kebenaran lain itulah yang terkadang mereka abaikan, lantaran memakai kacamata kuda dalam melihat kebenaran yang mereka yakini, jadi persoalan yang mendasar di era mereka ini adalah bagaimana juga menanamkan nilai-nilai untuk menghargai adanya kebenaran lain yang diyakini oleh orang lain.
Secara perlahan dan berhati-hati mereka mendekati Darel dan Santi agar gerakan mereka tidak diketahui oleh dua sahabatnya yang lagi asyik ngobrol tersebut, dengan maksud untuk memberikan “kejutan” saat mereka dekat, dengan jarak yang semakin dekat mereka kompak mengucapkan salam “assalamualaikum…” kata Wisnu dan Andini, dan tentu mengagetkan Darel dan Santi, “Alaikum salam warahmatullah hibarakatuh” jawab Darel dan Santi, “Wah ! apa kalian menguping pembicaraan kami berdua”, “kaga lah, kami ehem aja” goda mereka”, “ehem gimana, jangan berfikir macam-macam ya kalian berdua ini” tegas Santi sambal berdiri”.
Sudah makin malam nih, azan sholat isya sudah terdengar lagi, mari kita sholat isya berjamaah, kata Andini, oh ya mana Hendra, “mata mereka semua melihat-lihat kesekeliling mencari Hendra, eh ternyata Hendra ada dibagian depan reflika Perahu Nabi Nuh, “hayoo panggil Hendra”, kata Darel pada Santi, “lho kenapa saya disuruh memanggilnya”, sela Santi, “oh sudah biar Wisnu yang panggil”. Wisnupun bergerak ke-arah depan, “oh ya yang batal wudhu silahkan wudhu dulu ya”, tegas Darel mengingatkan. Setelah kumpul semua, iqomat di daulat ke Hendra dan Imam didaulat ke Darel lagi.
Hembusan angin derai suara daun pepohonan yang tertimpa angin, suara binatang malam yang terdengar merdu bersahutan, lima orang sahabat ini sholat berjamaah, layaknya 5 cahaya terang karena sholatnya tersebut, ada satu titik cahaya yang lebih terang didepan, sedangkan di belakangnya kedap-kedip cahaya lainnya. Alam dan seluruh isinya, dunia dan seluruh penghuninya, semesta dengan gugusan planet dan bintangnya, hakikatnya semua bergerak berdiri, ruku dan sujud kepada satu kekuatan Yang Maha Perkasa dan Maha Penguasa, sebagaimana layaknya juga lima anak muda tersebut.
Doa-doa yang mereka panjatkan dan mohonkan kepada Allah, mejadi rahasia pribadi mereka masing-masing, begitu khusus berdoa seperti layaknya doa-doa orang yang berada di depan Baitullah, ada air mata menetes, ada raut muka yang penuh penyesalan, ada mimic wajah yang bersyukur Bahagia dan tidak sedikit pula terus tersungkur sujud di atas sajadahnya. Kekuatan doa adalah kekuatan yang tidak akan pernah pudar, dan semakin terus berdoa, maka semakin kuat kekuatan itu, karena pada setiap doa terkandung energi berserah kepada Allah yang maha mengatur dan maha tahu apa yang terbaik bagi hidup hambaNya tersebut. Kesadaran yang menggerakan untuk terus berdoa dalam menjalani kehidupan, adalah pertanda mereka yang tidak akan berputus asa dari rahmat Allah, karena Allah berfirman “…Tidak ada yang berputus asa dari rahmat Tuhannya, kecuali orang yang sesat”. (Al-Hijr :56).
Begitulah Darel, Santi, Hendra, Andini dan Wisnu semuanya berdoa dalam mengiringi setiap Langkah dan ikhtiarnya dalam meraih apa yang dicita-citakan dalam hidupnya, dan yang unik pada saat-saat disuasana Alam terbuka seperti ini doa mereka terlihat sangat khusu, dari adanya Susana berada ditengah alam terbuka dan pasti merasakan betapa kecilnya manusia dihadapan Tuhannya dan saat inilah maka manusia itu merasa tidak berdaya dan lemah dihadapan Yang Maha Kuasa.
Setelah sholat isya tersebut, terlihat Darel dan empat sahabatnya merapikan barang-barang yang dibawanya untuk segera turun dari Puncak Gunung Kiram tersebut, kesyahduan terlihat di wajah Darela, ada semacam kelegaan juga saat dirinya dapat menceritakan sebagian kehidupan masa lalunya kepada Santi, walapun belum semuanya diceritakan, dan Santipun sebenarnya masih menunggu ceritanya selanjutnya dari Darel, namun dalam fikirannya terlalu larut malam berada di Puncak Gunung juga tidak baik bagi mereka dan bisa berbahaya nantinya turun ke bawah. (Bersambung).