NASAB MOERDIONO
Oleh : IBG Dharma Putra
SCNEWS.ID-BANJARMASIN. Ada seorang lelaki, bernama Moerdiono, lelaki tampan dengan segudang prestasi yang bisa membuat kagum. Seorang jenderal berdisiplin, loyalis yang setia serta pembantu efektif bagi atasannya, Presiden Soeharto.
Di masanya sebagai Menteri Sekreraris Negara, Moerdiono turut berperan dalam pengambilan keputusan penting, salah satu perannya adalah fasilitasi komunikasi presiden dengan lembaga negara lainnya. Dengan bicaranya yang tenang, terukur, dan diplomatis, disampaikannya pesan pemerintah secara jelas tanpa menimbulkan ketegangan ataupun kontroversi.
Ada lelaki lain, generasi muda masa kini, ikut demo darurat indonesia, ditangkap dan konon diperlakukan kasar oleh oknum aparat yang menangkapnya. Didepan banyak orang, tampak tenang, berbicara berhati hati, formal, dengan nuansa profesional dan tidak mudah terpancing emosi. Isi bicaranya tentang masa depan anak muda, bangsa dan negaranya. Cara bicara dan wajah yang mirip Moerdiono. Tak heran karena dia ternyata memang putranya.
Putra yang membanggakan Moerdiono, bahkan namanyapun sering terlupa tapi sosoknya yang setia pada perjuangan ayahandanya, meraih cita cita proklamasi, sangat menginspirasi anak bangsanya. Pemuda harapan sekaligus kader pemimpin bangsa. Diakui tanpa harus berteriak.
Anak muda mandiri, berjuang tanpa membawa bawa nama ayah, untuk mendapat perlakuan istimewa, bahkan sekedar agar tidak dipukuli. Dia tampil biasa, dengan sifat dan sikap baik, cendrung luhur sehingga mengundang empati seluruh bangsanya.
Sikap keturunan yang bisa dijadikan teladan. Keteladanan yang seharusnya bisa diterapkan untuk menghadapi keributan nasab para habib yang sedang terjadi di negeri tercinta. Ksatria, tak diwarnai teriakan caci karena makianlah yang menjadi dasar keraguan. Ragu karena adanya sifat dan sikap yang jauh berbeda dari leluhurnya.
Sifat leluhur yang digambarkan oleh salah seorang panutan, perlu saya sisipkan dalam tulisan ini, meliputi jujur, lemah lembut, suka menyantuni anak yatim serta fakir miskin, meyanyangi sesama bahkan pada orang yang tidak seiman, tidak pernah meminta-minta. Keturunannya seharusnya mirip, bukan malah berbeda dengan sifat buruk, suka berbohong, caci maki, dan memeras umat.
Masyarakat mungkin tidak ragu dan selanjutnya tak terlalu memasalahkan sikap dan prilaku luhur tersebut diteladani dalam keseharian, seperti putra Moerdiono, yang menggambarkan buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.
Nasi telah menjadi bubur, saatnya sekarang untuk berdialog terbuka berdasarkan kebenaran ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam dunia ilmiah, persentuhan panca indra hanya hasilkan opini sedang kebenaran akan didapat melalui perbenturan dialogis dalam otak, yang tentunya menyertakan saksi dan bukti sebagai dasarnya.
Tidak diperlukan testimoni tanpa dasar, apalagi persekusi. Hanya diperlukan suasana dialogis terbuka dan bersifat ilmiah tanpa caci, saling tuding tidak berkesudahan, karena salah satu simpulan akhirnya adalah sebuah kondisi tetap bersaudara, dari manapun, siapapun nasabnya.
Banjarmasin
09092024