OBITUARY: PROF.DR. CONNY R. SEMIAWAN
Hikmah apa yang dapat dipetik dari tulisan ini? Pertama, ketika seseorang memasuki usia paruh baya, menurut teori Erik Erikson, seseorang berada dalam perkembangan generativity. Periode ini adalah saat seseorang tidak hanya memikirkan kepentingan diri sendiri, tetapi lebih dari itu, ia memikirkan dan menyiapkan generasi muda agar siap melanjutkan tongkat estafet bagi calon penggantinya. Prof. Conny telah berperan mulus dan tulus melampaui masanya. Kedua, sudah selayaknya, seorang pemimpin membukakan peluang sebesar-besarnya kepada generasi penerusnya dengan terus memberikan dukungan dan bantuan sesuai dengan yang diperlukannya. Prof. Conny telah melakukannya dengan piawai, ini amat terasa, saat beliau memberikan pendampingan ketika penulis menjadi Kapuskurbuk. Ketiga, seseorang perlu consistent, responsible, dan accountable dalam melaksanakan pengabdiannya kepada nusa dan bangsa, bukan apa yang didapatkan, tetapi lebih pada apa yang bisa diberikan. Sebab ketika seseorang telah tiada, yang dikenang bukan hartanya tetapi warisan ilmu dan pandangan hidupnya yang consistent, responsible, dan accountable.
Oleh Tjipto Sumadi*
SCNEWS.ID-JAKARTA. Tulisan ini didedikasikan untuk Ibunda yang Amat Terpelajar Prof. Dr. Conny R. Semiawan. Seorang pribadi yang amat bersahaja, berpenampilan selalu menarik, berujar selalu santun, dan berpendapat selalu berlandaskan akademik-keilmuan. Itulah kesan sepanjang penulis mengenal beliau.
Tulisan ini tidak akan mengisahkan perjalanan hidup Prof. Dr. Conny R. Semiawan, karena pemaparan tentang kesuksesan beliau telah banyak beredar di mass media cetak dan elektronik, bahkan di media sosial praktis. Tulisan ini hanya bermaksud mengilustrasikan fragmen kehidupan Prof. Conny, sepanjang yang penulis kenal dan alami secara pribadi.
Sejak Prof. Conny R. Semiawan dilantik menjadi Rektor IKIP Jakarta, dan berkiprah di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) inilah, awal penulis mengenal beliau. Diawali pada moment kegiatan Pelatihan Dasar Kepemimpinan Senat Mahasiswa Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (SM FPIPS IKIP Jakarta), kebetulan penulis sebagai Ketua Pelaksana, maka panitia memohon agar beliau berkenan untuk membuka acara tersebut. Bermula dari sinilah percakapan berbasis akademis dimulai. Srawung Akademik, begitulah Prof, Conny menyebutnya, terus berkembang pada kegiatan Pekan Kartini II SM FPIPS IKIP Jakarta. Pada moment ini penulis bersama Madhoeratnawati menjadi sekretaris, dan berhasil menghadirkan beberapa Menteri ke kampus, yang juga merupakan kolega dari Prof. Conny.
Rasa kedekatan dengan Prof. Conny kian lekat, ketika tahun 1987, penulis terpilih sebagai Mahasiswa Teladan I di IKIP Jakarta. Sepulang dari mengikuti Upacara Kenegaraan Perayaan Hari Kemerdekaan RI di Istana Merdeka dan berbagai lembaga tinggi penyelenggara negara lainnya, penulis menghadap Rektor, Prof. Conny. Dalam kesempatan ini, terjadi dialog singkat, “Apa rencana kamu selanjutnya Tjipto?” Penulis menyampaikan bahwa telah mendapatkan rekomendasi dari Mendikbud (Pak Fuad Hasan) untuk menjadi dosen di FKIP Universitas Cenderawasih Papua. Spontan Prof. Conny menyampaikan; “Kalau mau jadi dosen di sini (IKIP Jakarta) saja”. Seraya meminta penulis untuk segera mengurus administrasinya melalui Kasubbag Kepegawaian. Begitulah cara Prof. Conny melapangkan jalan terhadap semua mahasiswa yang menurut beliau memiliki potensi untuk mengabdikan diri, memajukan, dan berkontribusi dalam dunia pendidikan di negeri ini. Penulis berkeyakinan pula, begitulah cara Prof. Conny membukakan jalan masa depan bagi sejawat muda lainnya, seperti kepada Dr. Nusa Putra (alm), Prof. Dr. Hafidz Abbas, dan juga Prof. Dr. Komarudin, MSi., yang kini menjadi Rektor UNJ.
Secara pribadi, ucapan terima kasih atas kesempatan yang diluangkan kepada penulis inilah yang terus dioptimalkan sedemikian rupa, sehingga terbentuk rasa tanggung jawab akademik di dalam jiwa. Hasil binaan dan motivasi Prof. Conny terus tertanam di lubuk sanubari, hingga akhirnya penulis dapat meraih Peserta Terbaik dalam Prajabatan sebagai PNS dan dua kali terpilih sebagai Dosen Terbaik Pilihan Mahasiswa (1991 dan 2019). Di sisi lain, pada sebuah kegiatan Pengembangan Kurikulum Diploma III di Perguruan Tinggi, yang diselenggarakan oleh Kemdikbud (Depdikbud) di Hotel Indonesia, kembali Prof. Conny memberikan kesempatan kepada penulis, dengan mengenalkannya kepada seorang akademisi dari Georgia University USA; yaitu Prof. Dr. Paul van Der Veur. Perkenalan ini pun berlanjut dengan melakukan penelitian tentang kiprah Ernest Douwes Dekker atau Dr. Setiabudi atau Multatuli selama di Indonesia. Penelitian ini menghasilkan buku yang berjudul The Lion and The Gadfly.
Ternyata tuah atau keberuntungan dari Prof. Conny belum berhenti. Prof. Conny yang pernah menjabat sebagai Kepala Pusat Pengembangan Kurikulum, Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pun melimpah ke penulis. Penulis pun mengikuti jejak beliau menjadi Kepala Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Badan Penelitian dan Pengembangan. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Bahkan beberapa tahun sebelumnya penulis pun pernah menjadi Wakil Rektor Universitas Negeri Jakarta, di era periode kedua kepemimpinan Prof. Dr. Sutjipto sebagai Rektor UNJ.
Hikmah apa yang dapat dipetik dari tulisan ini? Pertama, ketika seseorang memasuki usia paruh baya, menurut teori Erik Erikson, seseorang berada dalam perkembangan generativity. Periode ini adalah saat seseorang tidak hanya memikirkan kepentingan diri sendiri, tetapi lebih dari itu, ia memikirkan dan menyiapkan generasi muda agar siap melanjutkan tongkat estafet bagi calon penggantinya. Prof. Conny telah berperan mulus dan tulus melampaui masanya. Kedua, sudah selayaknya, seorang pemimpin membukakan peluang sebesar-besarnya kepada generasi penerusnya dengan terus memberikan dukungan dan bantuan sesuai dengan yang diperlukannya. Prof. Conny telah melakukannya dengan piawai, ini amat terasa, saat beliau memberikan pendampingan ketika penulis menjadi Kapuskurbuk. Ketiga, seseorang perlu consistent, responsible, dan accountable dalam melaksanakan pengabdiannya kepada nusa dan bangsa, bukan apa yang didapatkan, tetapi lebih pada apa yang bisa diberikan. Sebab ketika seseorang telah tiada, yang dikenang bukan hartanya tetapi warisan ilmu dan pandangan hidupnya yang consistent, responsible, dan accountable.
Terima kasih Prof. Conny R. Semiawan yang telah menjadi panutan bagi generasi muda dan masa depan bangsa. Wahai Ibunda Prof. Conny R. Semiawan… tenanglah engkau di sisi-Nya, karena baktimu pada nusa, bangsa, dan negara telah melampaui zamanmu dan akan terus menjadi sumber mata air keilmuan yang tak pernah surut di musim kering, tak kan lapuk di musim hujan, dan tak kan lekang di musim panas.
Semoga bermanfaat.
Salam Wisdom Indonesia
*) Mahasiswa Teladan Nasional 1987
Dosen Universitas Negeri Jakarta
Tulisan yang Luar biasa… sangat inspiratif dan menjadi pelita bagi yang merasakan langsung