PALU MK JADI FENOMENAL UNTUK BANGSA INDONESIA

Palu MK Jadi Fenomenal untuk Bangsa Indonesia

Oleh: B Halomoan Sianturi SH MH,

Advokat (Ketua DPC Peradi Jakarta Selatan)

SCNEWS.ID- JAKARTA. Mahkamah Konstitusi (MK) akan memutus Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) 2024, Senin (22/4/2024) mendatang. MK akan membuat putusan yang fenomenal untuk kepentingan bangsa dan negara Republik Indonesia dalam berdemokrasi yang jujur dan adil.

Sebab itu, Majelis Hakim MK harus menggunakan  hati nurani dan akal sehatnya dalam memutus perkara sengketa hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 yang saat ini berdasarkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) No 360 Tahun 2024 dimenangkan pasangan calon presiden-wakil presiden nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Dengan hati nurani dan akal sehat itulah maka Majelis Hakim MK harus bersikap objektif, independen, imparsial, jujur, adil dan berdasarkan alat bukti dan keyakinan yang lurus dan yang dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan YME.

Diketahui, gugatan PHPU 2024 diajukan pasangan capres-cawapres nomor urut 1, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, dan nomor urut 3, Ganjar Pranowo-Mahfud Md. Mereka menilai Pilpres 2024 diwarnai kecurangan yang bersifat terstruktur, sistematis dan masif (TSM). Mereka menuntut hasil Pilpres 2024 dibatalkan dan digelar pemungutan suara ulang.

Perkara Pilpres 2024 tersebut telah menyedot banyak para tokoh dari berbagai bidang, para ahli berbagai bidang, para akademisi, dan masyarakat luas pada umumnya. Perhatian tersebut tercermin dari banyaknya ‘amicus curiae” yang disampaikan ke MK, meskipun MK membatasi akhirnya memutuskan dengan hanya 14 amicus curiae yang akan dicermati dan mengkin akan menjadi masukan/bahan pertimbangan dalam membuat putusan.

Amicus curiae atau sahabat pengadilan juga disampaikan oleh Megawati Soekarnoputri, Presiden ke-5 RI yang juga Ketua Umum PDI Perjuangan, serta mantan Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah Din Syamsudin, dan Habib Rizieq Syihab. Mereka meminta MK menganulir hasil Pilpres 2024.

Majelis MK yang memeriksa dan memutus sengketa Pilpres 2024, selain mempertimbangkan apa yang disampaikan para pemohon, termohon, pihak terkait, alat bukti, ahli dan lainnya, ada yang menarik yang perlu menjadi perhatian dan semoga dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam membuat putusan nantinya, mengingat beberapa bulan lagi akan ada Pilkada 2024 secara serentak, dan Pilpres 2029, yaitu:

Pertama, etika. Mengenai etika ini ada yang menarik dan patut menjadi pertimbangan, sebagaimana disampaikan oleh ahli Romo Magnis Suseno. Beliau sampaikan, etika merupakan ajaran dan kenyakinan tentang baik dan tidak baik kualitas manusia sebagai manusia. Etika membedakan manusia dengan binatang. Binatang hanya kengikuti naluri alamiah, tapi manusia sadar jika naluri alamiah bisa diikuti bila baik atau tak baik.

Manusia tidak melanggar hukum dinilai baik secara etis, tetapi prinsip etika menuntut berbuat lebih. Agar manusia, jika tidak ada aturan hukum, harus tetap berbaik hati, jujur, adil dan bertanggung jawab. Jadi, prinsip etika seorang penguasa tidak cukup hanya tak melanggar hukum, tetapi dituntut lebih, yakni harus baik, jujur, bijaksana dan adil. Penguasa tertinggi juga dituntut etika yang tinggi.

Romo Magnis berpendapat, penguasa jika tidak bertindak atas dasar hukum dan hanya memakai kuasanya untuk menguntungkan kelompok, kawan dan keluarganya sendiri, maka motivasi masyarakat untuk menaati hukum akan hilang.

Rule of Law dan Rule by Law

Mana yang akan menjadi perhatian Majelis Hakim MK dalam memeriksa dan memutus perkara Pilpres 2024 tersebut? Apakah hanya mendasarkan pada suatu instrumen hukum yang bersumber pada undang-undang dan konstitusi yang berlaku untuk mencapai keadilan bagi masyarakat, atau justru hanya melihat “rule by law” semata untuk membuat atau menjaga stabilitas guna kepentingan penguasa dan pemerintah saja, dengan meninggalkan keadilan bagi masyarakat (kekuasaan pemerintah di atas hukum)?

Nila Setitik Rusak Susu Sebelanga

Dalam serangkaian sidang di MK, para ahli hukum tata negara dan ahli berbagai bidang ilmu sudah menyampaikan pendapat mereka. Terhadap kesaksian-kesaksian yang disampaikan dalam persidangan, yang didapat, didengar, dan dilihat dalam kehidupan masyarakat, kalaupun semua itu hanya dinilai/nilainya hanya setitik, mari kita lihat hari Senin, 22 April 2024, bagaimanakah MK akan berpandangan bahwa “nila setitik rusak susu sebelanga”?

Pertanyaan lainnya, apakah pelanggaran etika, hukum dan kepatutan/kewajaran dapat merusak demokrasi serta asas pemilu yang jujur dan adil? Atau sebaliknya, tidak dapat merusak?

Masihkah pasca-putusan MK kita dapat menyandang sebagai masyarakat timur, yang konon katanya sangat ramah dan penuh sopan santun dan beretika tinggi?

Final dan Mengikat

Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menyebutkan, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final.”

Frasa “putusannya bersifat final” menegaskan bahwa sifat putusan MK adalah langsung dapat dilaksanakan. Sebab, proses peradilan MK merupakan proses peradilan yang pertama dan terakhir. Dengan kata lain, setelah mendapat putusan, tidak ada lagi forum peradilan yang dapat ditempuh. Dengan demikian, putusan MK juga tidak dapat dan tidak ada peluang untuk diajukan upaya hukum dan upaya hukum luar biasa.

Tidak itu saja. Penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU No 8 Tahun 2011 tentang MK juga menyebutkan bahwa putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan MK mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding).

Mengikat berarti mengikat semua warga negara, sehingga semua warga negara, termasuk mereka yang bersengketa harus mematuhi putusan MK. Baik puas atau pun tidak puas. Semua warga negara terikat dengan putusan MK itu.

Sebab itu, sekali lagi, Majelis Hakim MK harus menggunakan akal sehat dan hati nuraninya dalam memutus perkara, karena putusannya akan menentukan masa depan bangsa ini, terutama untuk lima tahun ke depan. Sebagai negarawan dan wakil Tuhan di muka bumi ini, maka hakim-hakim MK tak boleh sembarangan dalam memutus perkara.

Amicus Curiae

Adapun “amicus curiae” merupakan salah satu mekanisme pembuktian, namun tidak termasuk ke dalam alat bukti yang diatur oleh hukum pidana Indonesia.

Dalam sistem hukum Indonesia, konsep “amicus curiae” diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan, “Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.

Pun, diatur dalam Pasal 14 ayat (4) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 yang menyatakan, pihak terkait yang berkepentingan tidak langsung, dan Pasal 180 KUHP ayat (1).

Apakah “amicus curiae” yang diajukan sejumlah pihak itu akan menjadi pertimbangan? Itu merupakan wewenang sepenuhnya Majelis Hakim MK.

Sementara itu, Putusan MK pada dasarnya memiliki tiga jenis amar putusan. Pertama, amar putusan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard), yang dijatuhkan apabila permohonan tidak memenuhi persyaratan. 

Kedua, amar putusan dikabulkan, yang berarti permohonan dinyatakan memiliki alasan hukum.

Ketiga, amar putusan ditolak, yang berarti permohonan tidak mempunyai alasan hukum.

Apakah permohonan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md, tidak dapat diterima, dikabulkan atau ditolak? Itu merupakan wewenang sepenuhnya Majelis Hakim MK.

Majelis Hakim MK, GBU (God Bless You), palumu menjadi fenomenal dan turut menentukan nasib bangsa dan negara ini.

Beberapa bulan lagi ada Pilkada Serentak, dan lima tahun ke depan ada Pilpres 2029. Maka gunakanlah hati nurani dan akal sehat kalian dalam memutus perkara PHPU 2024. Semoga!

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini