PANDIRNYA SANG “PROFESOR”
Oleh : Robensjah Sjachran
SCNEWS.ID-BANJARMASIN. Ketika seorang mahasiswa saya bertanya: “Apakah unggahan Prof. Budi Santosa Purwokartiko di status facebooknya beberapa hari lalu yang viral itu dapat dijerat pasal ujaran kebencian dalam Undang Undang ? Wah, pertanyaan berat nih. Saya balik tanya, tahukah anda, apa kata undang-undang tentang ujaran kebencian ? Seperti hapal di luar kepala si mahasiswa menjawab: Pasal 28 ayat (2) UU ITE jo Pasal 156 dan/atau Pasal 157 KUHP yang pada intinya menyebut barang siapa yang dengan sengaja menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan berdasarkan SARA, menurut Pasal 45 ayat (2) UU ITE dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 M.
Waduh, mengerikan ya. Sontak saya teringat dengan ujaran sobat saya, IBG Dharma Putra, dalam tulisannya “Dialog” di portal SCNews 27 Oktober 2021: “Mulut tak bertelinga menjadi semakin pandir karena tak berisi hati sehingga bicaranya yang dipenuhi keakuan, seolah berhak memonopoli kebenaran, diucapkan tanpa perasaan hormat serta penghargaan pada sesama. Dan ujung dari semuanya adalah hilangnya rasa nyaman pada kehidupan bersama. Entah ke mana arah sentilan sobat kita, saya tidak tahu, namun seakan dapat menerka apa yang ada dalam benak sang profesor, itulah kiranya mendekati gambaran yang terjadi kini akibat ulah sang profesor. Tak hanya perihal “manusia gurun” yang menjadi sorotan publik, dia juga berujar tentang ajaran bukan muhrim tidak boleh bersentuhan dikatakannya “ajaran manusia ganas” lantaran menentang tata krama pergaulan universal (Twitter Ndaktahu sebagaimana dikutip RiauOnline).
Sungguh, saya nggak paham tentang ujaran kebencian (hate speech); itu ranah para akademikus dan pengadil yudisial. Namun demikian, sebisanya saya coba jawab dari perspektif mendasar dalam kehidupan. Manusia sebagai homo homini socius sebagian besar hidupnya melibatkan interaksi tak terhingga dengan manusia lainnya, terkecuali dia adalah salah satu dari sekelompok pemuda dalam riwayat Ashabul Kahfi yang tertidur hingga 309 tahun. Aksi dan reaksi dilakukan orang yang satu terhadap lainnya dapat terjadi sebagai “fakta biasa” dan dapat pula sebagai sebuah “fakta hukum”. Fakta hukum adalah fakta yang diatur oleh hukum. Fakta (factus) terjadi karena adanya interaksi di antara warga masyarakat, dan apabila kemudian dikualifikasi oleh hukum sebagai suatu peristiwa/perbuatan hukum, maka kelanjutannya adalah menimbulkan akibat hukum bagi mereka, dan konsekuensi adanya akibat hukum oleh Profesor (yang ini bukan pandir tapi sudah tingkat begawan) Satjipto Rahardjo dikatakan akan “menggerakkan hukum”.
Fakta dapat terjadi karena “peristiwa” dan karena “tindakan manusia”. Peristiwa adalah fakta yang terjadi di luar campur tangan manusia, misalnya seseorang wafat, sedangkan tindakan manusia adalah fakta yang terjadi karena dikendalikan manusia; dan oleh karena dalam hukum fakta dapat dibedakan antara fakta biasa dan fakta hukum, peristiwa juga dapat berupa “peristiwa biasa” dan “peristiwa hukum”; demikian pula ada tindakan manusia berupa “tindakan biasa” dan “tindakan hukum”. Jadi, suatu tindakan hukum akan berakibat hukum, yang akan menggerakkan (norma) hukum, sedangkan tindakan biasa hanya menggerakan norma sosial lainnya.
Norma hukum diperlukan masyarakat karena kaidah sosial lainnya tidak dapat diandalkan untuk tertibnya pergaulan hidup dalam bermasyarakat. Barang siapa mengambil sandal ketika ba’da Jum’at, berdosa. Hukumannya nanti di al-yaum al-akhirah. Jangan kentut di muka umum, tidak elok, kurang ajar. Orang yang melanggar hukum dan merugikan orang lain tidak hanya melanggar undang-undang, tapi juga bertentangan dengan tata susila, kepatutan, ketelitian dan sikap hati-hati, yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat.
Rumusan norma hukum yang disebut si mahasiswa tadi seolah-olah sedang tidur, yang akan bangun ketika ada sesuatu yang menggerakkannya. Satjipto mengibaratkan peraturan hukum dan fakta hukum itu bagai pistol dengan picunya, yang begitu picu ditarik, maka meletuslah senjata itu. Aturan hukum itu bermuatan kenyataan normatif tentang apa yang seyogyanya dilakukan. Kenyataan normatif ada di wilayah das sollen, bukan fakta hukum yang ada di wilayah das sein. Hukum tidak mengatur apa yang terjadi (das sein), hukum hanya berurusan dengan apa yang seharusnya terjadi (das sollen). Apa yang terjadi adalah suatu fakta, yang apabila telah ada rumusannya dalam peraturan dan memenuhi kriteria, menjadi fakta hukum. Orang tidur adalah fakta biasa, akan tetapi akan menjadi fakta hukum saat petugas jaga tertidur ketika pencuri memasuki kantor yang seharusnya dapat dicegahnya karena ada norma hukum yang mengatur tentang tugas dan sanksi atas kelalaian dalam bertugas.. Fakta orang tidur (das sein) untuk menjadi fakta hukum memerlukan norma hukum yang mengaturnya. Dari contoh di atas ada kalanya sollen memerlukan sein, dan terkadang dapat juga sein memerlukan sollen.
Profesor sebagai jabatan akademik tertinggi, di negara kita diangkat oleh pemerintah atas usulan perguruan tinggi. Beda dengan profesor di Eropa, UK, Aussie, NZ, atau Amerika, di mana pengangkatan profesor sepenuhnya menjadi otoritas perguruan tinggi. Kesamaannya adalah sama-sama dianggap “pakar” (human expert), kemampuan membaca dan memahami suatu masalah dianggap superior dibanding orang biasa. Bagi saya, seorang profesor adalah orang yang berintegritas dan berperilaku baik, dan sependapat dengan penulis Yongki Gigih Prasisko yang memberi kriteria dari sikap tokoh el Profesor dalam film La Casa de Papel (Money Heist). Sosok profesor harus berfikir komprehensif, karena harus dapat melihat atau menilai sesuatu dari berbagai perspektif; idealis, karena wajib berpegang teguh kepada cita-cita; kritis, karena dituntut untuk memaknai dan mengevaluasi fakta dalam masyarakat; etis, selalu menjaga kata-kata, sikap, dan gaya bahasanya; anti kekerasan, karena rencana-rencana yang disusun sebisa mungkin menghindari adanya korban. Lebih-lebih manakala sang profesor menjabat sebagai Rektor, sudah barang tentu tuntutan kriteria dan kualifikasi jati dirinya meningkat berlipat-lipat yang seakan tidak ada seorang pun dapat seratus persen mewujudkan semua kualifikasi profesional. Selain berpengalaman luas, memiliki keterampilan interpersonal yang kuat, seorang rektor juga dituntut memiliki kepemimpinan yang unggul, dan memiliki kemampuan mengambil keputusan yang luar biasa.
Nah, bagaimana dengan sikap sang profesor kita ? Andalah yang berhak menilai, bukan saya. Pada akhirnya, pengadil yudisial akan bekerja mulai dari melihat dan memeriksa: apakah fakta biasa sebagai kejadian konkret adalah sebuah fakta hukum atau bukan; yang kemudian dicarinya: adakah norma hukum yang mengaturnya, yang apabila unsur-unsur dalam fakta biasa yang telah ditranslate menjadi fakta hukum itu terpenuhi, dan hukumnya telah ditemukan, maka bekerjalah hukum sesuai dengan yang sudah digariskan. BEN