PERANG (SERI OPINI IBG DHARMA PUTRA)

PERANG

Seorang yang mencintai perdamaian, bukan hanya wajib memiliki keberanian belaka tetapi juga kesabaran, kepedulian dan kasih sayang. Kombinasi nilai yang dibutuhkan sehingga dia tidak pernah merasa gagal serta selalu ingin mencoba lagi, sampai tiba di tujuannya, untuk menciptakan perdamaian abadi.

Oleh : IBG Dharma Putra

SCNEWS.ID-BANJARMASIN. Saat membuka salah satu WA Grup di telepon seluler, terdengar pemberian informasi tentang proses evakuasi Warga Negara Indonesia dari Afganistan oleh Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Retno Marsudi. Kesan saya, kondisi di Afganistan, dipenuhi ketidak jelasan karena adanya kekosongan pemerintahan.Kekacauan masih potensial terjadi, sehingga amat rawan bagi kaum hawa dan anak anak.

Mungkin bukan kesan yang sepenuhnya benar, karena informasi lain, dari pengamat di media televisi nasional, bahwa pemerintahan segera diumumkan dan secara de facto, Taliban yang berkuasa serta berupaya menunjukkan profil yang berbeda dari sebelumnya.

Beberapa perintah strategis disertai beberapa pemberian amnesti dilakukan sehingga kesan yang dibuat lawan tentang Taliban yang kejam serta barbar, telah dicoba dihilangkan. Kesan baru yang dicitrakan adalah menghormati hak sipil, ramah, sepantasnya pejuang kebenaran yang penyayang serta penuh kasih serta akan mampu memberi keadilan bagi setiap orang.

Dua kesan yang berbeda, menyiratkan adanya pro kontra terhadap Taliban di Afganistan. Dan kesan tersebut, seolah menjadi kenyataan tak terbantahkan, karena adanya perang. Pro dan kontra adalah awal dari perpecahan dan bisa mencapai puncaknya, dalam bentuk perang.

Perang selalu punya sisi mengerikan sekaligus bodoh yang disertai frustrasi pada jalan buntu, tapi sekaligus bersisi heroik, penuh keberanian dan kejantanan. Seolah keberanian, hanya bisa ditunjukkan dengan berperang. Dan berdamai, tidak pernah disadari sebagai perbuatan amat berani serta memerlukan nyali jauh lebih besar dibanding berperang.

Jika berperang, cuma memerlukan keberanian fisik semata, berdamai memerlukan keberanian paripurna. Bukan hanya fisik,tetapi juga sosial, moral dan spiritual. Bukankah berdamai, amat sering menjadi sumber pengancaman secara fisik, penghinaan secara sosial, sebagai orang penakut dan pengecut, sehingga secara moral harus berpikir berulang untuk berkata bahwa, pilihan berdamai adalah benar dan berperang merupakan pilihan salah.

Semua kerugian moral dan sosial tersebut rela ditanggungnya, karena cinta damai, Dan itulah hakekat dari keberanian spiritual,yaitu memilih untuk ajeg pada keputusan berdamai walau keputusan tersebut merugikannya.

Sebenarnya,keberanian fisik, hanya diperlukan untuk mengawali perang, karena dalam proses selanjutnya, perangpun membutuhkan berani yang paripurna. Berperang bukan sekedar adu pasukan, yang mengandalkan jumlah tapi juga jaringan negara sahabat pemasok keperluan perang, termasuk persenjataan serta jaringan negara berideologi serupa sebagai pemberi dukungan propaganda dan banyak keperluan lainnya.

Tetapi sebesar apapun keberanian beperang masih jauh berada dibawah hirarki keberanian berdamai. Sebenarnya, tak diperlukan adanya keberanian berperang. Setiap manusia, cukup memiliki keberanian berdamai karena didalam keberanian berdamai terkandung keberanian berperang, yang disampaikan secara santun dengan penuh keramahan.

Seorang yang mencintai perdamaian, bukan hanya wajib memiliki keberanian belaka tetapi juga kesabaran, kepedulian dan kasih sayang. Kombinasi nilai yang dibutuhkan sehingga dia tidak pernah merasa gagal serta selalu ingin mencoba lagi, sampai tiba di tujuannya, untuk menciptakan perdamaian abadi.

Kepedulian untuk menjaga komunikasi dengan sabar yang didasari oleh atensi serta empati, sangat diperlukan karena sangat sulit untuk mengubah karakter, apalagi karakter seorang lelaki yang berideologi mantap, mendasar dan berakar, meyakini pendapatnya serta rela mati untuk melihat pendapatnya terlaksana.

Pemahaman radikal maupun liberal, sangatlah susah dibuat toleran, bahkan sedikitpun tidak hendak berpindah posisi, dengan sama sama surut sedikit dari pendapatnya untuk memulai dialog. Dengan kombinasi nilai yang dipunyai, diharapkan seberapapun jengkelnya, dia tetap menjaga dialog perdamaian. Dalam sempitnya wawasan, kedua pihak harus tetap disayangi.

Ideologi yang menekankan dirinya pada religi tanpa peduli spiritualitas memang terkadang menjadi kaku serta dogmatis namun keduanya sebenarnya tetaplah satu sehingga penguatan pada sisi spiritualitas akan sangat membantu terciptanya perdamaian.

Pandemi kali ini, dapat dibaca serta dimaknai sebagai himbauan untuk mengisi religi dengan spiritualitasnya. Tanpa spiritualitas, religi amat mungkin terjerumus kedalam permainan kotor, kepentingan politik dan bisnis.

Kehendak mengedepankan toleransi,berdamai tentunya akan selalu menuai provokasi radikal dan liberal karena suratannya memang begitu, tapi kerumitanpun bisa ditimbulkan oleh para petualang dan pengikut ekstrim tengah, yang suka mencari untung dengan memancing di air keruh.

Pada kondisi seperi itu, bersyukurlah bangsa Indonesia, menempatkan tiga nilai luhur yaitu, kemerdekaan, keadilan sosial dan perdamaian abadi sebagai tujuannya berbangsa. Dengan demikian menjadi kewajiban dari setiap orang Indonesia, menjaga komitmen tersebut melalui pemahaman serta pengamalan Panca Sila.

Bersyukurlah bangsaku janganlah keliru untuk meniru nilai nilai yang bukan milikmu. Bersama menjaga kesepakatan itu, sepenuh kalbu dan menghidari berseteru untuk hal yang tak perlu. Cari kesamaan bukan perbedaan karena beda itu takdir sekaligus eksistensi personal didalam persaman kita sebagai manusia.

Cukuplah berani berdamai tidak perlu lagi ada berani berperang. Merdeka !!!

Banjarmasin
Bulan Agustus
Pk 21.21, tanggal 21, tahun 21, diabad ke 21

Terbaru

spot_img

Related Stories

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini