PERUBAHAN DAN KEBERLANJUTAN
Oleh : IBG Dharma Putra
SCNEWS.ID-BANJARMASIN. Saya sendiri binggung tentang dua istilah politik tentang perubahan dan keberlanjutan, karena secara prinsip didalam keberlanjutnya itu pastilah ada perubahan dan perubahan itu pastilah dilakukan untuk keberlanjutan. Tanpa perubahan tak akan ada keberlanjutan dan keberlanjutan adalah perubahan itu sendiri. Tetapi itulah politik, yang selalu serta wajib membuat kebiggungan karena jika tak begitu tak tampak pengaruh politiknya.
Secara jujur perubahan adalah bahasa dari para tokoh yang tidak puas dan keberlanjutan adalah suara dari yang puas. Di arena politik, puas ataupun tidak puas, sangat tergantung dari politik dagang sapi yaitu cara membagi kekuasaan secara pas kepada semua yang terlibat dan terlihat di arena politik itu. Politik secara konsepsi memang ideal, menjadikan kepentingan masyarakat banyak sebagai kepentingan negara tetapi secara operasional pada hakekatnya sebuah kerakusan dalam berbagi kekuasaan.
Perubahan itu mutlak perlu jika ingin lestari karena kewajiban beradaptasi pada situasi yang selalu berubah sehingga berubah secara konsisten sangat dianjurkan serta bukan berubah ubah yang sebenarnya inkonsisten. Yang terpenting disadari supaya berubah berujung pada perbaikan adalah jangan mengubah kalau tidak tahu latar belakang, tujuan dan proses dibuatnya sesuatu yang hendak diubah tersebut.
Perubahan menjadi lebih baik, secara spiritual dinamakan beruntung dan keberuntungan adalah sebuah perubahan dengan niat dan dasar perbaikan serta bukan sekedar berubah untuk berbeda dengan sebelumnya saja. Berubah untuk sekedar beda ( waton suloyo ) adalah kecelakaan sejarah akibat ambisi berkuasa semata.
Perubahan juga ada dalam keberlanjutan karena keberlanjutan tak berarti tetap seperti semula tetapi menjadi lebih baik ( beruntung ) bahwa hari ini lebih baik dari kemarin dan besok lebih baik dari hari ini. Keberlanjutan itu pada prinsipnya sebuah triple track strategy, yang berisi learn, relearn dan unlearn. Sempunakan yang kurang baik, lanjutkan yang sudah baik dan hentikan yang tidak baik.
Sejujurnya, yang terasakan adalah bahwa jargon perubahan digunakan untuk mendulang suara masyarakat yang tidak puas terhadap kinerja pemerintahan sekarang, sebaliknya jargon keberlanjutan untuk menghimpun suara masyarakat yang puas. Mereka memilih jargon berdasarkan prediksi jumlah anggota masyarakat yang puas maupun tidak puas dan dalam memprediksi memang seharusnya objektif berdasarkan kenyataan dan tidak subjektif dipengaruhi oleh kepuasan ataupun ketidak puasan diri kita sendiri. Lazimnya, yang objektiflah yang berpotensi lebih besar untuk menang.
Artinya, kemenangan keberlanjutan akan bisa diharapkan jika mayoritas masyarakat dibuat dan dipertahankan tetap puas dengan kinerja pemerintah sebaliknya perubahan diharapkan menang jika mayoritas masyarakat merasakan ketidak puasan dan ketidak puasan tersebut semakin membesar menjelang pemilihan presiden. Sehingga wajar berbagai strategi, taktik maupun kiat akan diupayakan oleh masing masing pihak.
Keriuhan politik akan terjadi sebagai akibatnya dan bukan tak mungkin muncul berbagai kekuatan neokolonialisme untuk ikut ambil bagian untuk mencari keuntungan. Seperti memancing di air keruh, mereka sebenarnya sudah tahu, bahwa bangsa ini sangat ramah pada orang asing terapi mudah diadu domba dengan sesama bangsanya sendiri. Adu domba tentunya memerlukan perbedaan dan perbedaan SARA diantara sesama anak bangsa sangat mungkin digunakan.
Untuk itulah, ajang pemilihan presiden kali ini harus disambut dengan kepala dingin, disertai kesadaran bahwa menggunakan strategi, taktik dan kiat bernuansa SARA adalah kebodohan yang paling bodoh, karena bukan membuat sejahtera tetapi bahkan membuat kembali terjajah. Begitu pentingkah jabatan presiden, sampai merelakan bangsa terjajah lagi.
Sadarlah wahai anak bangsa, kita memang berbeda tetapi tetap satu juga. Perubahan dan keberlanjutan pada hakekatnya sama saja untuk menjadikan anak bangsa di nusantara tercinta ini menjadi bangsa yang beruntung. Dalam pemilihan presiden berubah atau berlanjut bukanlah revolusi antara benar melawan salah, tetapi hanyalah konstenstasi antara dua kandidat yang tidak diketahui mana yang benar dan mana yang salahnya.
Pada akhirnya kondisi nyata akan tetap sama, yang akan berbeda hanya politisi dan tokoh politik yang berkuasa saja. Dan kita semua tahu, bahwa tokoh politik itu, sama saja, sehingga sangat mungkin akan membuat kecewa.
Banjarmasin
02062023
Semoga tulisan opini pian bisa dicetak jd buku
Semoga tulisan opini pian bisa dicetak jd buku dan menjadi rukukan dalam berfikir