POSISI WISDOM DIANTARA FIKIR DAN SHARE
“apakah mereka yang menshare sudah memikirkan isi atau substansi materi yang di share tersebut ?”, atau apakah materi yang di share itu merupakan bidang keahliannya ? atau “kalaupun bukan keahliannya, apakah sudah mencek dan mempelajari materi yang di share tersebut ?
Oleh : Syaifudin
SCNEWS.ID-SURABAYA. Sahabat ! melihat dan mengamati kehidupan masyarakat kita sekarang ini sebenarnya sama dengan mengamati perilaku kehidupan sosial kita sendiri dalam kehidupan keseharian, oleh karena itu secara subjektif tidak terlepas dari cara pandang kita yang mengamati, walaupun kita berusaha secara objektif melukiskannya dengan cara yang seobjektif mungkin, atau paling tidak objektivitas dimana posisi kita berada dalam berbagai kelompok group dimana kita ikut di dalamnya. Begitulah saat saya melihat dan memperhatikan share konten dan atau status yang masuk ke smart phone saya saat melakukan perjalanan Banjarmasin-Surabaya dan Malang, maka muncullah inspirasi menulis POSISI WISDOM DIANTARA FIKIR DAN SHARE.
Sahabat ! pertanyaan dalam hati yang sering saya lontarkan saat menerima share konten tersebut adalah “apakah mereka yang menshare sudah memikirkan isi atau substansi materi yang di share tersebut ?”, atau apakah materi yang di share itu merupakan bidang keahliannya ? atau “kalaupun bukan keahliannya, apakah sudah mencek dan mempelajari materi yang di share tersebut ?
Isue selanjutnya adalah menyangkut substansi konten yang di share itu, apakah hasil buah fikirnya atau orang lain ? atau apakah materi yang dishare itu berasal dari sumber yang jelas dan bisa dipertanggungjawabkan ? atau apakah materi yang di share itu pendapat orang lain yang sudah diolahnya kembali ?
Dari berbagai pertanyaan tersebut itulah sahabat bisa mengamati juga ke smart phonenya pada dua sisi, pertama sisi konten share yang masuk dan muncul di layar smart phone kita dan kedua pada posisi menshare konten.
Dalam hal ini kita lihat dan perhatikan :
- apakah lebih banyak pada posisi menerima konten dari pada menshare konten?
- pada posisi menerima konten, apakah kita membacanya atau melewatkannya atau membacanya saja atau kembali mensharekannya, atau memikirkan dan mengkajinya kemudian mensharekannya atau cukup hanya untuk kita saja ?
- pada posisi menshare konten, apakah hasil pemikiran kita, atau apakah sekedar meneruskan konten yang sudah masuk, atau mengkaji dan memikirkannya terlebih dahulu sebelum meneruskan, atau mengolah kembali kontan yang bersumber dari konten yang masuk itu?
Sekarang mari kita jawab, apakah kita termasuk orang yang lebih banyak menerima konten dan sekedar membaca, atau tidak membaca ? atau apakah kita termasuk orang yang lebih banyak meneruskan konten tanpa memikirkannya, atau mengolahnya kembali atau membuat sendiri konten itu ?
Sahabat ! gejala yang saya tangkap dari pergaulan sosial dengan berbagai flatform media sosial tersebut, umumnya mereka lebih banyak meneruskan konten yang masuk di smart phonenya ketimbang memikirkan dan mengolah sendiri konten tersebut. Hal ini terlihat pada indikator pesan konten yang ditulis orang lain atau konten yang meminta untuk disebarkan begitu saja atau setelah dishare kemudian dihapus.
Lantas apa yang mendorong seseorang meneruskan konten dan tidak memikirkannya terlebih dahulu ?
Di era teknologi informasi sekarang ini sesungguhnya kita di “boom” oleh informasi yang begitu banyak dan beragam serta akses untuk mengetahui informasi pengetahuan yang begitu mudah dan praktis, sehingga dengan banyaknya informasi tersebut tiba-tiba kita merasa serba tahu tentang apa saja dalam bidang-bidang kehidupan ini. Oleh karena itu jangan heran tiba-tiba teman kita merasa lebih tahu tentang ekonomi, tentang hukum, tentang budaya, tentang kesehatan, tentang agama dan seterusnya, padahal informasi yang didapatkannya terkadang tidak utuh karena tidak mengkajinya secara utuh dan mendalam, payahnya lagi kalau sudah berpendapat seolah-olah tidak boleh ada perbedaan pendapat dengan pendapatnya tersebut.
Sangat mungkin juga akibat banyaknya informasi “dipermukaan” yang ia terima tersebut telah menjadikan kita kebingungan untuk menentukan mana informasi yang benar dan yang tidak benar, sehingga saringannya berdasarkan kualitas pemahaman pribadi kita atau disandarkan pada hal-hal yang bersifat formal, seperti oleh tokoh siapa, oleh tokoh dari kelompok mana, oleh tokoh agama apa, oleh tokoh aliran mana dan seterusnya yang kalau kemudian satu aliran atau kekagumannya, maka informasi itu diterimanya sebagai suatu kebenaran, tanpa melihat, memikirkan dan mengkaji lagi substansi apa yang disampaikan dalam informasi tersebut.
Kondisi ini didukung pula oleh sifat ingin tahu kita pada konten-konten yang bombastis jadilah kemudian pemenuhan hasrat itu oleh pembuat konten medsos dengan menampilkan bungkus-bungkus “vulgar” dan “kasar” agar memancing orang untuk mengklik atau membacanya, walaupun terkadang antara judul dengan isi tidak sesuai, bagi mereka memang tidak mementingkan isi atau substansi melainkan bagaimana orang tertarik pada konten yang mereka posting dan sebarkan tersebut.
Sahabat ! semua gejala itu ada pada masyarakat kita sekarang dan kita bagian di dalamnya, lalu pilihannya apakah hidup akan bernilai pada “peradaban” yang berorientasi pada pola hubungan yang telah mengenyampingkan substansi, hidup yang nampak hanya indah dipermukaan, hidup dengan gegap gempita kevulgaran dan kekasaran demi sebuah popularitas (viral), hidup yang hanya pandai menshare tanpa susah susah mau berfikir dan menggali lebih dalam ilmu pengetahuan, hidup yang hanya akan dirasakan bermakna kalau telah di like dan di read oleh banyak nitizen.
Jaman memang berubah, namun saat aspek bungkus, aspek formal atau aspek pencitraan dengan mengenyampingkan isi, materiel (batin) atau citra diri yang sesungguhnya telah membawa ke “galauan” hidup, terasa kosong, dan tidak bermakna, maka saat itulah kita mesti kembali pada pendekatan wisdom dengan melihat “isi” ketimbang hanya “bungkus”, “melihat batiniah ketimbang lahiriah”, “melihat kemuliaan ketimbang kepopuleran” yang menjadi pilihan untuk kita kembali kepada keutuhan jati diri kemanusiaan yang beradab.
Salam Secangkir Kopi Seribusatu Inspirasi.