
PRASANGKA
“Gambar nyata
Hanya diolah rasa
Dijiwa jadi bercerita
Bisa duka juga gembira
Kapanpun semaunya dunia
Bicarapun tak sampai telinga
Suara duga jadikan prasangka”
Oleh : IBG Dharma Putra
SCNEWS.ID-BANJARMASIN. Sering terjadi, adanya letupan marah karena mendengar pembicaraan seseorang tentang kenyataan yang terjadi, tidak berkenan bagi seseorang lainnya. Kemarahan disertai alasan normatif disertai berbagai tabu serta malu, yang menjadi dasar kemarahan. Lebih sialnya, jika kemarahan berkobar, secara berulang, disetiap cerita atau salah bicara, yang membawa dan mengingatkan akan cerita lara yang pernah ada. Kemarahan kadang terjadi dengan cara berbeda, bukan disebabkan mendengarkan tetapi karena didengarkan. Semua bicara seolah tidak sampai masuk ketelinganya, apalagi sampai diproses dalam otak dibenaknya. Ngomong menjadi percuma, tersia sia, karena yang diajak ngomong, tetap tidak paham, belum paham, kurang paham, salam paham bahkan jadi berpaham salah.
Ada berbagai kesulitan, memberi penjelasan naratif tentang kejadian seperti itu, sehingga dipilih menjelaskannya dalam bentuk pengalan kata pendek terputus putus. Dengan harapan agar deretan kalimat efektif, dapat memberi gambaran lebih bebas disertai kemandirian makna pada setiap kejadian dimaksud. Deret kalimat tersebut dituliskan sebagai berikut :
Gambar nyata
Hanya diolah rasa
Dijiwa jadi bercerita
Bisa duka juga gembira
Kapanpun semaunya dunia
Bicarapun tak sampai telinga
Suara duga jadikan prasangka
Itulah kemacetan komunikasi sebagai akibat dari prasangka. Sering sering kebenaran yang tampak nyata, menjadi cerita pilu yang bermakna hina dina, serta sangat memojokkan, hanya karena kata tidak saling terpaut jiwa dan komunikasi jadi prasangka. Prasangka merupakan akibat dari ketidak sukaan, bahkan kebencian. Benci akan membuat penilaian negatif dan penyikapan salah terhadap sebuah kenyataan. Benci itu bisa bersifat sementara karena kemarahan dan rasa terpojokkan, tetapi bisa juga bersifat menetap karena perangkap stereotype yang menyesatkan.
Keberagaman merupakan risiko potensial terhadap terjadinya prasangka. Dimulai dari ketidak sepahaman, kesenjangan, akhirnya akan menimbulkan konflik sosial. Selanjutnya berkembang menjadi prasangka. Prasangka akan semakin kuat, jika ditemukan stereotype tertuju kelompok tertentu, sebagai pandangan yang berkembang dalam masyarakat. Pikiran mayoritas masyarakat yang bersifat negatif, merupakan kondisi subur, bagi tumbuh subur prasangka. Dalam kondisi tersebut, kambing hitam yang menjadi korban adalah pendatang ataupun minoritas. Prasangka tumbuh subur semakin besar jika konflik dan kesenjangan perbedaan memang ditiup, dipolitisasi, karena diniatkan untuk merebut kekuasaan.
Prasangka sangat menyakitkan dan sekaligus menganggu kedamaian kehidupan sehingga harus dikelola untuk semakin mengecil dengan dialog dan kesadaran, bahwa perbedaan itu merupakan takdir kehidupan. Cobalah untuk melihat persoalan dari berbagai aspek, pada polarisasi terbaik dan terburuknya, sehingga tidak mudah menjadi arena penghakiman. Jangan biasanya untuk menyalahkan orang lain, apalagi jika disertai dengan meminta minta kebijaksaaan bagi diri sendiri. Sadari bahwa manusia merupakan tempat salah dan khilaf, sehingga harus disediakan dada lapang dan jangkauan tangan lebar serta pikiran yang luas untuk memaafkan. Setelah dilihat dari sudut pandang yang terbaik dan terburuknya, prasangka bisa diredam dengan pengambilan hikmah dan diambil baiknya saja, terkadang harus dilihat niat baiknya walaupun hasilnya menyakitkan tetapi terkadang lihat akibat baik yang terjadi walaupun sebenarnya diawali niat buruk.
Prasangka juga akan dapat diredam jika menempatkan mulut pada tempat mulut itu diciptakan didepan, yang mengandung hikmah agar dia dipakai bicara didepan dan bukan dibelakang orang. Mulut yang berbicara dibelakang, tidak berbeda dengan lubang pantat,,dan harus diingat bahwa lubang yang satu itu, jauh lebih tak berguna dibandingkan pantat itik ataupun ayam, karena pantat itik masih memproduksi telor sebagai sumber protein manusia. Artinya, sebenar benarnya, hindarilah ngomong dibelakang karena sangat kotor dan memalukan.
Dengan tidak ngomong dibelakang, akan ada kecendrungan untuk tidak terlalu mau tahu dengan urusan orang lain dan jika wajib tahu karena berbagai hal yang masuk akal, melihat masalah akan bisa lebih adil, dalam dan tidak cepat menghakimi hanya karena pandangan sepintas belaka. Ada pepatah yang memberi pesan, jangan menilai sebuah buku hanya dengan melihat sampulnya saja. Ngomong didepan menjanjikan terjadinya perbenturan dialogis untuk mendapatkan kebenaran dan bukan sekedar perdebatan yang tak produktif, dengan risiko konflik berkepanjangan.
Prasangka hanya menimbulkan perpecahan, sehingga selayaknya tidak diniatkan untuk mencapai tujuan politik dalam bentuk kuasa semata. Jangan lakukan itu, karena terlalu berisiko dalam warisan keberagaman yang wajib dijaga bersama. Prasangka membuat sebagian besar persahabatan merupakan kekeliruan dan hampir semua cinta adalah kebodohan. Jangan biarkan negeri terindah di bumi ini, mengalami dusta demi dusta pada sepanjang sejarah hidupnya. Marilah nikmati rasa berbangsa, bersahabat dan mencintai tanpa prasangka.
Banjarmasin
29082022