
PREJUDICE: Prasangka
Oleh Tjipto Sumadi
SCNEWS.ID-JAKARTA. Tahun pesta demokrasi memang masih cukup lama, akan tetapi hampir setiap hari ada pemberitaan tentang siapa yang kelak akan meneruskan tapuk kepemimpinan nasional. Berita yang berseliweran di televisi, tik-tok, youtube, Instagram, tweeter, bahkan percakapan di warung kopi, atau angkutan umum pun tak lepas dari pembahasan topik ini. Memang bukan hal yang salah, membahas masa depan kepemimpinan nasional, yang penting proporsional dan tidak saling “menuding”. Berbeda pendapat merupakan fakta lumrah yang terjadi di negara “demokrasi”. Mohon maaf kata demokrasi diberi tanda petik, karena memang ada pendapat bahwa negara dengan ciri-ciri tertentu, demokrasinya diberi “topi”, sebagai penghargaan khusus.
Tulisan ini tidak akan mengurai tentang demokrasi yang dimaknai dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Namun demikian, tidak jarang pada praktiknya di beberapa negara tertentu “demokrasi” dipelesetkan menjadi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk “pejabat”. Praktik pelesetan demokrasi ini tentu tidak akan terlihat dengan kentara, sebab semua diselimuti praktik yang dicitrakan sebagai sesuatu yang baik. Misal di suatu negeri tidak ada “mark up” anggaran, tetapi yang ada hanya “penyesuaian biaya”, atau yang terjadi bukan “korupsi” tetapi hanya “mal-administrasi”. Semua praduga atau prasangka itu disebut prejudice.
Secara psikologis, prejudice dimaknai sebagai penilaian, sikap, keyakinan, atau pendapat seseorang sebelum mendapatkan pengalaman atau informasi yang memadai untuk mencapai kesimpulan yang mantap, lengkap, dan komprehensif. Meskipun secara akar bahasa, prejudice dapat dipersamakan dengan kata prasangka atau praduga. Prasangka yang muncul dalam diri seseorang boleh jadi diawali oleh persepsi, informasi, imajinasi, atau bahkan “halusinasi” yang diciptakan sendiri oleh orang itu, di dalam benaknya.
Prasangka dapat bersifat positif maupun negatif. Untuk itu, sangat memungkinkan seseorang dapat yakin tanpa melihat bukti atau boleh jadi hanya “bukti” yang dibuat seolah menjadi barang bukti (meskipun sebetulnya hanya hoax). Prasangka pada hahikatnya tidak hanya ditujukan kepada prilaku sesama manusia saja, tetapi dapat pula diprasangkakan kepada yang bukan manusia, seperti hewan atau tanaman. Jika telah menyatu dalam jiwa dan raga manusia, sesungguhnya, antara sikap (attitude) dengan prasangka (prejudice) saling tumpang tindih. Tidak mudah menentukan mana yang lebih dulu muncul dalam diri seseorang, apakah prasangka atau sikap. Tentu ini memerlukan penelitian dan pembuktian lebih mendalam.
Dalam pandangan religi, prasangka diambil dari terminologi dzon. Dzon dapat dilakukan atau dapat pula dihindari, sebab “sebagian dari dzon atau prasangka itu adalah dosa.” Oleh karena itu, sebelum prasangka negatif merasuk lebih dalam ke lubuk hati atau bahkan sampai ke ubun-ubun, ada baiknya duduk bersama untuk saling membahas kebenaran informasi yang memicu munculnya prasangka negatif tersebut. Sebab menurut da’i sejuta umat: “Jika engkau titip ucapan, pastikan akan bertambah, tetapi bila engkau titip uang, boleh jadi ia akan berkurang”.
Wallahu’alam bishowab, semoga bermanfaat.
*) Dosen Universitas Negeri Jakarta
Demokrasi yg di beri “topi” He3x.. Antara prejudice dan accept ya Prof..