SCNEWS.ID-Banjarmasin. “Santi!”, celetuk Darel memecah keheningan dalam lamunan Santi, “aku ikut prihatin dalam kondisi ini dan sebagai sahabat aku berusaha membantu untuk menuntaskan hubungan kalian berdua”, “apalagi diposisiku, kita berteman sudah lama sejak SMA, begitu juga Hendra teman akrab aku sejak kita Kuliah”. “jujur aku awalnya menghawatirkan hubungan kalian”, “nah kenapa tidak disampaikan ke aku kekhawatiranmu itu” sela Santi. “maafkan aku ya Santi, aku memang tidak berani masuk ke hal yang sangat privat pada dirimu, takut kalau aku dianggap menghalangi kalau mengungkapkan kekawatiran itu”, “sementara aku lihat saat itu Hendra begitu bersemangat dan kamupun secara perlahan dan pasti telah “ditaklukannya””.
“Bagaimana aku tidak takluk, karena dia sangat gigih dan pandai menarik perhatianku, pernah saat aku meminta jaminan keseriusannya mencintaiku, dia kemudian menulis kalimat yang aku tahu kalimat diambil dari cerita yang menjadi legenda dunia, percakapan antara “Hamlet dan Ophelia” dalam karya Shakespeare “…Kau boleh ragukan bumi itu bundar, kau boleh ragukan api itu panas, Cuma satu yang kuminta jangan pernah ragukan cintaku…”. “Begitulah kelakuan Hendra, sedikit demi sedikit akhirnya dalam waktu 3 bulan akupun menerimanya sebagai kekasih”.
“Memang terdapat perbedaan prinsip hidup antara aku dan Hendra” kata Darel, “Dia selalu gigih mengejar kasih sayang orang lain, begitu kuat dan berambisi ia meraih kasih sayang tersebut, dan saat kasih sayang itu ia dapatkan, iapun seperti merasa berada dipuncak kegembiraan, dan selanjutnya “gairah” cintanya berturun secara perlahan dan Kembali “datar”. “Disinilah menjadikan Hendra sering dikenal bergonta-ganti pacar, akan tetapi dengan kamu Santi, ini termasuk yang paling lama bertahan, dan aku berdoa akan terus bertahan”, “tapi kan kemaren dia sudah mengakhirinya” sela Santi lagi menegaskan.
“Memang prinsip Hendra ini sangat berbeda dengan aku”, kata Darel dengan raut muka “bak filosof” kali ini cukup serius menyampaikan pendapatnya ke Santi. “bagi aku kasih sayang itu mesti bermula dari diri kita sendiri, dengan cara mengisi kasih sayang itu sebanyak-banyaknya, sampai pada satu titik seperti aku sendiri tidak mengharapkan kasih sayang dari orang lain, karena dalam diriku sudah penuh kasih sayang itu. Dengan kondisi diri yang penuh kasih sayang inilah, maka siapapun yang dekat dengan aku, ia akan merasakan limpahan kasih sayang itu”.
“Begitulah seperti yang aku pernah baca dalam serial silat, “orang yang mengharapkan kasih sayang orang lain itu, seperti sumur yang kering yang berharap adanya hujan. Tapi orang yang dalam dirininya penuh kasih sayang layaknya sumur yang sudah penuh dan bahkan melimpah mengalir kepada sumur-sumur lain yang ada didekatnya”. Hanya diri dan jiwa yang penuh kasih sayanglah, yang bisa memberikan kasih sayang dengan tulus, karena hakikatnya dirinya sendiri tidak mengharapkan adanya kasih sayang balik pada dirinya”.
“Nah, mantap prinsip itu Darel”, sela Santi, “tapi mengapa kamu sampai sekarang belum mendapatkan pacar” tanya Santi menegaskan. “akh itukah pertanyaannya” jawab Darel sambil tersipu malu, “memang sampai sekarang aku tidak punya pacar, tapikan bukan berarti aku tidak “laku” kan diantara teman mahasiswi di Kampus?” tegas Darel sambil Kembali menyeruput sisa kopi yang sudah dingin sekali, namun terasa panas, karena diskusi menarik berbalik arah kepada dirinya.
Memang setahu Santi terdapat beberapa teman wanitanya yang titip salam dengan Darel yang kelihatannya tertarik dan bahkan ada kaka kelas Angkatan yang melakukan pendekatan kepada Darel yang jekas-jelas menaksirnya, tetapi Darel belum menentukan pilihannya. Nah kata-kata menetukan pilihan inilah inti dari prinsip kasih sayang yang Darel sebutkan tadi.
“Oh ya Darel, ternyata dengan kasih sayang yang engkau berikan atau dalam arti kebaikan mu pada setiap orang yang ada didekatmu, termasuk aku”, kata Santi “telah menjadikan kami enak berteman denganmu, kamu tidak egois dan selalu memperhatikan dan menolong kami”, “dengan kecerdasan telah membimbing kami diskusi pelajaran mata kuliah, dengan wawasanmu itu telah memberi solusi saat kami bermasalah”.
“Begini ya Santi, aku sesungguhnya bukan pasif saja menerima reaksi positif terhadap para teman, khususnya teman perempuan yang memberikan “feedback” nya kepadaku, tapi aku masih menunggu adanya seseorang yang juga tetap konsisten memberikan kasih sayangnya kepadaku dan saat hatiku mantap, maka nantinya toh aku juga akan menentukan pilihan”, “ada semacam trauma masa SMA juga yang menjadi pelajaran”, “eh!!! Entar-entar ajalah cerita di SMA ini kusampaikan”, tegas Darel agak tersipu.
Begitulah apa yang diucapkan Darel kepada Santi saat menjelaskan awal keraguan dan sifat Hendra yang dikenalnya, namun jauh dilubuk hati yang dalam terdapat secercah harapan sebenarnya juga ditumpukan kepada Santi, namun hal ini belum pernah terungkapkan, atau bahkan masih tersembunyi rapat dalam hati dan doanya. Darel begitu yakin akan prinsip hidup yang didasari atas keimanan, karena soal pasangan atau jodoh sepenuhnya menjadi “kompetensi dan rahasia Ilahi”, sedangkan bagi hambaNya disuruh untuk “berikhtiar” dengan usaha maksimal yang ia bisa.
“Its Ok Darel” Tanks ya atas obrolannya” kata Santi, nanti kita sambung lagi, “sama-sama Santi” jawab Darel sambil tersenyum lebar, “oh ya bagaimana kalau kita ke villa dulu untuk persiapan menuju puncak gunung itu”, “setuju” jawab darel”, “kita pamitan dulu dengan Paman Dino” kali ini aku yang traktir kata Santi”, “akh masa cewek yang bayar, aku dong yang traktir” kata Darel, Akhirnya mereka teribat “pertengkaran kecil” untuk menentukan siapa yang bayar, namun akhirnya setelah didengar Paman Dino, “Paman kali ini punya usul, bagaimana kalau paman sarankan tidak usah dibayar sekarang, besok aja sekalian mau pulang, karena paman ada yang mau disampaikan juga kepada Santi, Darel dan si.. si… si.. itu Hendra” kata paman sambil tersenyum”, tapi Paman… udahlah Nak Santi ikuti aja apa kata Paman” ucap paman sambil berharap agar Santi menerima sarannya. “Santipun tidak mampu lagi menolak usul Paman Dino ini, karena entah kenapa ada semacam “wibawa” saat Paman Dino ini berucap yang membuatnya tidak mampu menolak.
Merekapun Kembali memasuk jalan arah Villa yang rimbun pepohonan, suasana tempat Wisata Alam semakin ramai, Paman Dino pun larut dalam kesibukan meracik kopi yang bibirnya refleks kumat-kamit mengucapkan Sholawat. (Bersambung….)