PUJIAN ITU TIDAK PENTING ?
“Saya membayangkan dan akhirnya mendapat bukti, bahwa berpikir kritis, produktif dan positif adalah jalan menuju kebahagiaan, jalan sorga kehidupan yang berisikan kemampuan berbagi, kepedulian serta keadilan. Ketiga hal yang jika berhasil dikumpulkan untuk saling menguatkan, akan menjelma menjadi wisdom, sebuah kearifan.”
Oleh : IBG Dharma Putra
SCNEWS.ID-BANJARMASIN. Dalam tulisan sebelumnya, yang berjudul, Pernyataan Cerdas Presiden, saya sebenar benarnya tak ingin memuji presiden. Memuji seorang presiden adalah pekerjaan yang tak terlalu penting sekaligus tidak berguna, apalagi pujian terhadap presiden Jokowi, yang sudah kebal pujian karena sudah sangat sering dipuji. Saya juga sebenar benarnya tidak ingin menulis tentang kecerdasan seorang presiden karena seorang presiden, sudah sangat pasti serta terbukti memiliki kecerdasan tingkat dewa, kalau tidak begitu, pastilah tidak akan pernah terpilih menjadi presiden. Artinya, saya sebenar benarnya merasa bahwa saya tidak ingin serta tidak perlu menulis sesuatu yang sudah pasti.
Tulisan berjudul, Pernyataan Cerdas Presiden, pada hakekatnya mengajak untuk menyikapi pernyataan seseorang secara kritis, produktif dan positif, dengan meninggalkan cara cara berpikir negatif. Cara berpikir negatif membuat kita selalu akan menyalahkan orang lain, menghakiminya dan merasa hanya diri kitalah yang benar sehingga jika suatu ketika kita berbuat salah, itu berarti hanyalah kekhilafan sesaat yang wajib dimaafkan. Sebuah karakter egois, jumawa yang akan membuat kita tidak bisa adil menyikapi kehidupan ini, sehingga hidup kita akan diwarnai oleh iri hati, dengki, dendam kesumat dan yang pasti akan berujung pada ketidak bahagiaan.
Saya membayangkan dan akhirnya mendapat bukti, bahwa berpikir kritis, produktif dan positif adalah jalan menuju kebahagiaan, jalan sorga kehidupan yang berisikan kemampuan berbagi, kepedulian serta keadilan. Ketiga hal yang jika berhasil dikumpulkan untuk saling menguatkan, akan menjelma menjadi wisdom, sebuah kearifan. Berarti kearifan akan muncul jika dibiasakan tak berpikir negatif, mengeser semua pikiran negatif kearah pemikiran positif, produktif serta kritis. Perenungan dan bukti tersebut bisa saya dapatkan karena diwaktu belakangan ini, saya beruntung, mempunyai banyak kesempatan untuk merenung dalam kesendirian. Saya benar benar menikmati kesendirian dan keberuntungan saat sendiri, sehingga saya menuliskan dalam catatan saya, potongan kalimat yang berbunyi, “ jangan keluhkan kesendirianmu karena itulah saatmu hanya berdua dengan tuhanmu “.
Menggeser pikiran negatif menuju kritis, membuat kita tak terpengaruh lagi pada segala macam model pemikiran yang masuk ke telinga serta benak kita. Pada awalnya kita memerlukan pemikiran positif untuk bisa produktif, dan segala pikiran negatif membuat kita layu kehilangan semangat hidup serta ingin menarik diri dari pergaulan kemanusiaan, tetapi pada akhirnya kelam serta terangnya opini yang berseliweran disekitar kita sudah tidak penting lagi, karena kedua duanya dapat memberi hikmah pembelajaran dalam menyempurnakan kehidupan. Dan sorga kehidupan tak perlu dicari karena secara spontan kita sudah berada didalamnya.
Tentunya perlu peneladanan, pembiasaan dan pembelajaran. Dan kali ini, harus saya akui secara jujur, bahwa teladan itu adalah bagian bagian positif dari ayahanda saya, bagian bagian positif dari bung karno, bagian bagian positif dari pak Harto, bagian bagian positif dari Gus Dur, bagian bagian positif dari pak Daoed Yoesoef dan bagian bagian positif dari semua orang yang pernah berinteraksi dengan saya, semua peistiwa yang pernah terjadi pada saya, sehingga saya bersetuju dengan potongan kalimat dari Rumi, yang berujar, “ lari dari apa yang menyakitimu akan semakin menyakitimu, janganlah berlari, menderitalah sampai kamu sembuh. Ketahuilah kelak lukamu ini, akan jadi obat untukmu “.
Manusia imajiner yang menjadi idola, terjadi spontan karena saya membaca hampir semua karyanya, khusus untuk ayahanda, karena saya menyaksikan hidupnya, sehingga saya menjadi bisa memahami dan tidak pernah punya alasan untuk menyalahkan sikap, perkataan serta tindakan mereka, apalagi mengadilinya. Saya katakan manusia imajiner karena saya cuma bisa memperhatikan sisi positif dari idola saya itu. Dan saya mendapat keuntungan berlipat lipat dari spontanitas itu.
Langkah pembiasaanlah yang saya rasakan sebagai tahapan yang terberat karena belum berhasil dilakukan secara paripurna dan konsisten sampai saat tulisan ini dibuat. Rasa marah karena perlakuan buruk serta ketidak adilan yang pernah menimpa, serta saya dapatkan dari orang orang yang seharusnya tidak begitu, cukup sulit untuk dilupakan. Dan hal seperti ini, sering mampu membuat kita berpikir dan menganalisa berlebihan, sampai pada sebuah penghakiman yang menyakiti orang lain dan diri kita sendiri. Hal seperti inilah, yang perlu dihentikan, sejak awal timbulnya, dan tidak dibiarkan mengotori pikiran kita. Pikiran negatif akan menjadi awal pemikiran atau cara berpikir yang negatif juga.
Semangat hidup dan optimisme , ternyata saya rasakan, sebagai salah satu aspek yang sangat kuat pengaruhnya, dalam menghilangkan pikiran negatif ini. Dan keduanya saya coba latihkan dengan latihan meningkatkan keberadaan, disiplin, etika serta kejujuran. Yang terpenting adalah menjaga agar kita tak sampai terkatagorikan sebagai kelompok manusia yang masuk tak genap, keluar tak ganjil. Saya punya cara khusus untuk melatihkan hal itu. Kita wajib ada jika ada dan memang tidak ada jika tidak ada. Kita warnai kehidupan sehingga ada dan tidak adanya kita menjadi jelas terlihat serta terasakan.
Selanjutnya saya mencoba melihat hakekat masalah, tentunya dengan banyak banyak membaca berbagai bentuk pemambahan wawasan seperti wawasan anggaran, budaya, lingkungan, digital (yang paling sedikit saya punya alias gaptek ) dalam berbagai bentuk buku yang santai maupun serius, fiksi atau non fiksi bahkan buku buku humor. Menyoroti dan menuntaskan masalah sesuai dengan hakekatnya merupakan dasar pemikiran produktif. Dikeseharian, hakekat dari masalah sangat perlu dipunyai sehingga kita menjadi tahu peristiwa yang tak jarang terjadi disekitar kita, seperti adanya orang ngomongnya ngalor ngidul tetapi sebenarnya kita sudah bisa menduga bahwa dia hendak minta duit. Atau adanya pesan WA yang berbuih buih menulis tentang penting beramal untuk mendapat sorga, padahal ujung ujungnya hanya ingin rekeningnya kita isikan. Seolah ada adagium baru, jika tangan kanan memberi, tangan kiri wajib meminta kemana mana.
Dengan semua pergeseran pemikiran tersebut, pada akhirnya reaksi kita terhadap peristiwa yang terjadi disekitar kita akan sangat faktual, rasional dan dengan kematangan sistimatika pikir disertai dengan adanya kerangka logika yang kuat. Mungkin kondisi inilah yang oleh sahabat baik saya, FX Eric Suroso, penghuni Pulau Natuna, dikatakannya sebagai menjadi Mpu, yang tak lagi terpengaruh oleh kondisi sekitar yang buruk atau baik, karena semua kondisi akan diolah menjadi hikmah.
Banjarmasin
24052022
