RAHWANA (“SERI OPINI IBG DHARMA PUTRA”)
“… saya ingin tuliskan bahwa epos Ramayana jika dipandang sebagai cerita percintaan, melahirkan tafsir dari saya, bahwa Rahwana dengan cintanya yang tulus terbunuh oleh keegoisan cinta Rama dan kebodohan Sinta. Dan Rama kehilangan Sinta karena keraguan serta kesombongan kaumnya. Karena lebih memilih citra dibandingkan dengan cintanya”.
Oleh IBG Dharma Putra
SCNEWS.ID-Banjarmasin. Dalam epos Ramayana, Rahwana adalah raksasa yang menjadi raja disebuah negeri bernama Alengka. Membayangkan raksasa, yang terlintas dibenak adalah besar, jahat, buruk rupa, sangat kejam dan semua konotasi negatif lain.
Jahatnya Rahwana adalah kejahatan yang maha dasyat karena raksasa ini digambarkan sebagai raja dari sebuah negeri yang besar dan kuat. Dengan tentara yang hebat, selalu menang dan menaklukan lawan lawannya. Bala tentara yang disegani sekaligus ditakuti.
Rahwana tidak hanya jahat tapi juga tak terkalahkan sehingga diberi padanan nama dasa muka, dengan konotasi sakti, hebat dan tidak terkalahkan. Konotasi berbeda tentang dasa muka karena dibalik konotasi serba hebat itu, bermuka sepuluh berarti jauh lebih jelek, lebih licik serta lebih jahat dibandingkan dengan bermuka dua.
Bisalah dibayangkan kejelekan, kelicikan serta kejahatan Rahwana itu, sebuah sifat antagonis berllipat lima dari jeleknya orang bermuka dua. Jelek itu diubah didepannya karena ketakutan yang sangat. Ketakutan sebagai pembuktian tidak langsung terhadap kesaktian dan maha kejamnya Rahwana.
Banyak bacaan, cerita dari mulut ke mulut, yang bercerita tentang sisi antagonis sang raksasa. Begitu banyak jahat dan cacat moral padanya, sampai terlupakan bahwa sebenarnya Rahwana mempunyai sisi protagonis pada sifatnya sebagai seorang pecinta.
Sebagai seorang pecinta, Rahwana memiliki cinta yang dahsyat, dengan cinta amat fokus, tidak terbagi, tak pernah berhenti dan tidak peduli kondisi sekaligus merupakan cintanya yang abadi terhadap seorang perempuan, bernama Dewi Sinta.
Rahwana sebenarnya mempunyai tiga orang adik kandung berkarakter unik dan memilih untuk setia pada keunikan pandangan hidup masing masing. Adiknya tersebut adalah Kumbakarna, Sarpakanaka dan Wibisana.
Kumbakarna dikenal sampai akhir hayatnya sebagai si pembela tanah air, Sarpakanaka yang loyal kepada saudara dan Wibisana yang arif bijaksana serta selalu tidak pernah ragu untuk memilih kebenaran.
Berbagai karakter unik itu, sebanarnya pantas ditulis, diidolakan atau diteladani. Pada saatnya nanti ketiga tokoh ini perlu dikenalkan dalam cerita tersendiri sebagai bahan inspirasi.
Kali ini, sebaiknya kita fokus belajar cinta kepada Rahwana, dengan cinta yang amat tulus terhadap Sinta. Cinta tulus, walaupun belum bisa dikatakan ikhlas, karena masih ingin memiliki Sinta, hanya untuk dirinya tanpa peduli rasa cinta Sinta kepadanya.
Saking egoisnya cinta tulus itu, Rahwana bahkan rela menculik Sinta untuk ditawan dalam istana megahnya dengan maksud merayu sehingga Sinta mau dikuasai sendirian. Sebuah keegoisan yang selalu melekat pada cinta, bersama sama dengan kepedulian, dan juga kecemburuan. Saking menyatunya cinta dengan keegoisan maka tindakan Rahwana akan dapat diperdebatkan benar salahnya, baik buruknya, layak tidaknya, sampai di akhir zaman nantinya.
Rahwana adalah lelaki sejati yang secara jantan menyatakan cinta dan memperjuangkan cintanya dengan penuh ketulusan, disertai dengan rasa sayang yang penuh kasih. Rahwana adalah contoh ideal seorang pecinta yang berani berjuang demi cintanya.
Sebuah perjuangan cinta yang bertepuk sebelah tangan karena Sinta lebih memilih Rama. Bisa dibayangkan, betapa hebatnya sakit hati serta cemburu yang dideritanya, karena disisihkan serta tidak dipedulikan. Dan dalam kondisi seburuk itu, kecintaan dahsyat seorang Rahwana tetap terbukti dan dia tetap mencintai Sinta dengan sepenuh hatinya.
Rahwana tahu bahwa hanya cinta yang wajib diperjuangkan di dunia, bahkan dengan taruhan nyawa sekalipun. Dan Rahwana telah melakukan semua perjuangan cinta itu walaupun dengan bumbu kesialan karena tak diimbagi oleh perjuangan yang sama oleh Sinta.
Adanya kesialan dari penyikapan tidak adil serta tak pedulinya Sinta, seharusnya membuat Rahwana mulai ragu dan bertanya, terhadap sikapnya itu. Tetapi ternyata, dia memilih diam, tak sedikitpun bertanya serta tetap memutuskan untuk mempertahankan ketulusan cintanya. Itulah kedahsyatan cinta.
Pilihan diam dan tetap bertahan dapat dipahami karena ketulusan cinta membuatnya tak ingin berdebat dan bertanya detail. Karena bagi ketulusan, cukuplah dengan mencintai saja dan tidak harus dicintai.
Disanalah peran kealfaan Sinta, dalam kegilaan cinta Rahwana, karena Sinta tak membuat tanda tegas bagi penolakannya. Sinta seperti kebanyakan perempuan tak ingin tegas menolak perhatian lelaki.
Ketidak tegasan Sinta itu bersifat naluri tapi juga misteri, karena kebutuhan perhatian dan sebagai penjagaan bagi keselamatan dirinya selama dalam tahanan. Bahkan, bukannya tidak mungkin, ketidak tegasan itu karena Sinta menginginkan perlakuan khusus dan istimewa dari Rahwana.
Seandainya Sinta mengetahui ketulusan cinta Rahwana, ada kemungkinan yang teramat besar bahwa diapun akan mengetahui bahwa kejujuran penolakannya, tak akan mengurangi perlakuan khusus Rahwana untuk dirinya, bahkan dengan kejujuran Sinta bisa dicegah terjadinya perang besar yang menghancurkan dunia.
Sinta menuliskan pesan moralnya kepada seluruh perempuan penghuni dunia, secara terbalik, bahwa ketidak tegasan dan ketidak jujuran pernyataan cinta seorang perempuan terhadap lelakinya, dapat menjadi sumber kehancuran kehidupan. Ketidak tegasan Sinta saya tafsirkan sebagai kebodohan wawasan percintaan disertai dengan ketakutannya akan kehilangan nikmat dunia. Karenanya, Sinta mau diperangkap dalam jebakan egois citra Rama, yang bukan cinta atau setidaknya tak punya ketulusan cinta kepadanya. Sinta oleh berbagai alasan serta berbagai pembenaran, telah terlihat takut memilih ketulusan cinta Rahwana dan rela terjebak dalam formalitas cintanya bersama Rama.
Ketidak tulusan cinta Rama kepada Sinta telah terbukti dengan sikap dan tindak Rama untuk tidak datang sendiri, secara langsung untuk menjemput dan membebaskan Sinta, secepatnya.
Rama selalu mengirim utusan dan sibuk meminta bantuan kesini dan meminta bantuan kesana untuk berperang melawan Rahwana, dalam upayanya merebut Sinta.
Bahkan disaat sudah dipastikan meraih kemenangan melawan Rahwana pun, Rama masih mengutus Hanoman untuk menjemput Shinta dari istana sang Rahwana dan tidak menjemputnya sendiri.
Sang Rama pun meragukan kesetiaan Sinta, padahal sudah ada Dewi Trijata yang bersaksi kepadanya, bahwa Sinta sangat setia kepada Rama. Dia lebih mempercayai pendapat umum tentang hubungan pria wanita dan lupa mempercayai pilihan cinta Sinta kepadanya.
Memang, dalam pandangan awam, terasa tidak mungkin Sinta tak terjamah oleh Rahwana dalam kurun waktu selama di tahanan. Dewi Sinta yang cantik, cerdas, bersuara unik, potensial terjatuh dalam pelukan Rahwana karena berbagai fasilitas duniawi yang didapatnya.
Tak terpikirkan oleh Rama bahwa Sinta telah terjerat cinta buta kepada Rama, sehingga kehilangan akal sehat, memilih setia dan menolak Rahwana, bahkan menolak hanya untuk menyapa ataupun bertemu.
Sebuah pilihan yang dilakukannya karena berharap Sang Rama akan berubah menjadi tulus kepadanya. Dan ketulusan itu berisi kepercayaan pada omongan Sinta tanpa peduli lagi pembicaraan versi yang lain.
Sinta belum tersadarkan juga, akan keegoisan Rama, walaupun masih harus diasingkan di hutan selama bertahun tahun atas perintah Rama.
Pengasingan dilakukan karena Sinta masih dianggap membuat malu dan membuat kuping Rama sangat sakit karena masih terdengar opini buruk tentang Sinta, bahkan setelah prosesi pembuktian kesucian Sinta.
Sinta membuktikan kesucian dirinya dengan melompat kedalam api, sesuai perintah Rama, dan ternyata Sinta tak terbakar sedikitpun, yang berarti tak ada bagian tubuh Sinta yang terjamah oleh Rahwana. Sama persis dengan pengakuan singkat Sinta melalui utusan Rama, yang berbunyi “ tak terjamah “
Dalam pengasingan itulah Sinta bertemu dengan Mpu Walmiki yang akhirnya menuliskan kisahnya dalam epos ramayana. Sinta tinggal di asrama milik Mpu Walmiki sampai akhirnya melahirkan 2 putra kembar.
Kedua putranya itu pun masih diragukan oleh Rama, sebagai anaknya, dengan pertanyaan yang sangat menyakitkan, “ Benarkah anak anak ini adalah anakku “. Sebuah tanya yang muncul karena Rama merasa berasal dari keluarga yang sangat terhormat, dan kehormatan yang secara bodoh juga diagung agungkan oleh Sinta.
Kebanggaan Sinta kepada kesombongan keluarga besar Rama, terkadang membuat jengkel orang disekitarnya tapi apa daya hal tersebut terjadi dan cinta serta kebanggaan buta meliputi Sinta
Tapi akhirnya, Sinta sadar juga, akan ketidak tulusan Rama sehingga bertindak benar untuk meninggalkan Rama, pergi ke rumah Dewi Pertiwi di kayangan tapi bukan menemui Rahwana, yang telah mati terbunuh oleh Rama.
Sinta tak memilih Rama dan disaat yang sama tidak juga memilih Rahwana, seperti pikiran yang selalu terbersit dibenaknya dikala dia mengalami kebinggungan dilematis.
Sebagai penutup tulisan, saya ingin tuliskan bahwa epos Ramayana jika dipandang sebagai cerita percintaan, melahirkan tafsir dari saya, bahwa Rahwana dengan cintanya yang tulus terbunuh oleh keegoisan cinta Rama dan kebodohan Sinta. Dan Rama kehilangan Sinta karena keraguan serta kesombongan kaumnya. Karena lebih memilih citra dibandingkan dengan cintanya.
Sikap Rama sebenarnya diakibatkan oleh terlalu menenggang pendapat umum hingga meragukan cinta, meragukan kesucian dan meragukan kesetiaan Sinta.
Sinta memperjuangkan cintanya kepada Rama sendirian sehingga menjadi lelah, sekaligus tersadarkan dari kebodohan dan ketakutan yang dideritanya.
Sinta adalah perempuan malang dan penuh derita, karena telah salah memilih. Sinta memilih Rama, pria yang tidak percaya kepadanya dan tidak memilih Rahwana yang tulus mencintainya.
Hakekatnya Rahwana mati sia sia karena cintanya bertepuk sebelah tangan. Tak banyak orang yang bisa meniru ketulusan Rahwana. Tak ada sedikit ragupun dalam cintanya kepada Sinta,,berbeda dengan keraguan cinta Rama.
Dan karena ketulusan cintanya itulah saya mengidolakan dan berpihak pada Rahwana serta bukan kepada Dewa Rama yang maha agung.
Rahwana adalah seorang idola ideal karena berjuang sampai akhir hayat untuk cintanya. Dibandingkan dengan Rama, walaupun agung dan terhormat tapi selalu meragu, hingga bisa berpotensi menduakan cinta dalam jangka lama.
Rahwana dijaminkan akan tetap mencinta tanpa memandang Sinta ternoda atau tidak, cantik atau tidak. Cinta Rahwana, diwarnai oleh rasa sayang, yang selalu sayang, selamanya.
Rahwana mungkin cuma berharap untuk selanjutnya cuma ada Rahwana dan Sinta saja. Rahwana hanya untuk Sinta dan Sinta hanya untuk Rahwana
Sebagai akhir pengembaraan tafsir asimetris terhadap epos Ramayana, terngiang kuat di telingga saya, sebuah pepatah yang diyakini oleh Rahwana. Pepatah itu berbunyi, “ menikah itu keberuntungan, tapi mencintai itu soal martabat “.
Begitulah saya memberi tafsir asimetris saya terhadap Rahwana, si pejuang cinta
Disempurnakan di hari senggang
10052021