RAJA
Oleh : IBG Dharma Putra
SCNEWS.ID-BANJARMASIN. Istilah Raja dipakai sebagai sebutan bagi orang berkuasa terhadap orang lain, istilah yang bisa membawa imagi kepada keberadaan kerajaan dengan segala tradisi dan seremoni megahnya, sekaligus dengan nuansa buruk kuasa mutlak, totaliter dan kezaliman yang menyertainya.
Bayangan pemerintahan oleh raja zalim, dapat membawa pikiran pada pragmatisme politik dan kebenaran yang diajarkan oleh dua orang filsuf hebat yaitu Niccolò Machiavelli dan Friedrich Nietzsche. Dua pandangan filosofis yang sering dipojokan, disalah artikan dan dianggap buruk, padahal sebenar benarnya secara sangat jujur menyoroti keseharian kehidupan manusia.
Niccolò Machiavelli adalah seorang filsuf Italia yang dikenal karena pandangan pragmatis dan realistis tentang politik, dengan melihat politik secara realistis dan tidak dibatasi oleh moralitas tradisional dalam kerangka mempertahankan kekuasaan dan stabilitas sebagai inti politik.
Ditulisnya karya berjudul “Il Principe”, tentang tujuan menghalalkan cara, karena kenyataan benturan virtu ( bajik ) dengan fortuna ( nasib ) dan penguasa yang baik harus bisa membuat harmonisasi seimbang kedua hal tersebut. Dalam kondisi tersebut, agama akan menjadi alat politik sangat effektif. Agama dimanfaatkan tanpa terikat oleh aturan moral keagamaan.
Pandangan politik pragmatis, serasa mendapat dukungan Friedrich Nietzsche, filsuf Jerman, memiliki pandangan yang unik dan kontroversial tentang konsep kebenaran, memandangnya tak absolut atau objektif, melainkan konstruksi yang dihasilkan dari perspektif manusia, kekuasaan, dan bahasa.
Menurut Nietzsche, kebenaran dibuat manusia dalam bentuk ilusi platonik dipengaruhi agama, untuk mempertahankan kekuasaan. Kebenaran dipahaminya sebagai serangkaian interpretasi atau perspektif yang berbeda, tergantung pada konteks sosial, budaya, dan sejarah, bahwa benar dan salah dipengaruhi oleh kekuasaan, hasrat, dan kepentingan manusia.
Dua pandangan jujur filsuf itu, wajib dipahami karena sering sering terjadi dan dilakukan oleh yang punya kuasa, bak raja yang dapat berbuat sesuka hatinya, karena benar salah ditentukan olehnya dengan dukungan para penjilatnya.
Pandangan jujur, tidak rumit, sekaligus memberi pencerahan akan adanya jalan keluar sangat mudah dalam menyelesaikannya, karena Raja adalah penguasa totaliter yang hanya bisa dihentikan kuasanya jika terbunuh mati. Jika Raja mati, kuasa dan para penjilatnyapun mati sendiri. Artinya jika ada aroma seperti itu, serangan dan segala perlawanan, wajib secara langsung ditujukan kepada Raja.
Banjarmasin
11092024